127. Kegilaan di Antara Mereka 2
127. Kegilaan di Antara Mereka 2
Dengan mata kuningnya yang sangat tajam, monster berwarna hitam mengilat itu memerhatikan para bidadari yang masih waspada. Mereka memang sengaja melihat keadaan terlebih dahulu. Kacia sudah menduga kalau benda bulat tadi adalah telur ular raksasa, walau dia tidak tahu jenisnya. Sesuai usul Kacia, mereka memilih untuk mengamati terlebih dahulu. Menyerang langsung adalah sesuatu yang sembrono. Bisa saja monster itu menyemburkan bisa.
"Heiii!!! Kenapa bengong begitu! Ini saatnya kita menyerang!" pekik Zita, kemudian maju sambil tertawa-tawa.
Tak ada yang berusaha mencegah.
Monster itu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi layaknya ular kobra. Dari kepalanya muncul kobaran api berwarna biru. Ia pun membuka mulutnya lebar-lebar, mempertunjukkan taring-taringnya yang panjang dan tajam, lantas menyemburkan api yang juga berwarna biru.
Zita berhasil menangkis semburan api itu dengan perisainya, tetapi dia terdorong mundur sampai terjungkal dan berguling-guling. Api dari si ular juga menyambar apa pun yang disekitar, menyebar dan berubah menjadi merah menyala.
"Bawa mereka keluar, Et! Kabur sejauh-jauhnya dari sini!" pekik Lois, kemudian menghindari semburan ular.
Etria melingkarkan kedua tangannya ke perut Rava dan Gilang, segera kabur keluar dari gedung yang sudah memanas itu. Bidadari itu terus berlari, menjauh dari lahan parkir yang penuh dengan mobil dan motor, sebelum akhirnya sampai di luar area gedung.
Mereka terpaksa mengamati dari jalanan di depan gedung besar tersebut. Api tampak sudah menyembur keluar lewat gerbang-gerbang yang ada. Para bidadari pun melompat untuk meninggalkan bangunan itu. Namun, baju Lyra, Lois, dan Kacia terkena api. Mereka pun harus mengibas-ngibaskannya terlebih dahulu sampai api itu mati.
Ular raksasa itu keluar dari bangunan, mendesis keras sambil menjulur-julurkan lidahnya, kemudian, menyemburkan api kepada Zita yang berada di dekat deretan mobil-mobil. Zita berhasil mengelak. Api dari ular itu pun meledakkan mobil-mobil yang ada di sana, membuat api yang begitu membumbung tinggi.
Rava berpikir keras. Kalau monster itu dibiarkan. Maka api akan semakin menyebar ke bangunan lain. Semburan api itu juga membuat para bidadari kesulitan menyerang. Jadi, jalan satu-satunya adalah membuat monster itu tidak bisa menyemburkan api lagi.
Begitu melihat mulut sang monster menutup, Rava mengaktifkan beberapa kemampuan bidadari sekaligus. Kacia melesatkan anak panahnya yang berubah menjadi rangkaian pita, langsung menjerat moncong si monster, membuatnya menggeliat-geliat liar. Setelah itu, Lyra mengaktifkan kemampuan pedang cahayanya, memberikan sabetan-sabetan telak ke tubuh sang monster. Lois memanjangkan pedangnya sampai menusuk kepala monster itu. Medora pun ikut berpartisipasi dengan menggunakan kemampuan ribuan cakarannya. Dalam waktu beberapa detik, luka-luka cakaran sudah memenuhi leher si monster.
Dan yang terakhir, Kacia membuat hujan pita yang merajami tubuh sang musuh. Monster itu menggeliat makin kencang, tetapi belum juga tumbang, padahal tubuhnya sudah penuh dengan cairan hitam dari luka-luka.
"Sepertinya, seranganku tidak mengenai otaknya," decak Lois, yang sosoknya kini sudah menjadi dua.
"Ngiiik! Ngiiik! Ngiiik!"
Tiba-tiba saja, Medora muncul di udara, menembakkan proyektil-proyektil bulunya kepada si monster. Si monster pun makin kelabakan. Dia mengibaskan ekornya kepada para bidadari. Untungnya, mereka semua bisa menghindar.
"Yo, Rava!" panggil Janu yang berlari dari kejauhan, melambaikan tangannya. "Sori, telat!"
Rava menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mas. Kedatangan Mas Janu sama Mireon sangat membantu kami."
"Buset ...." Janu meringis saat melihat kobaran-kobaran api raksasa yang menjadi latar belakang pertarungan. "Edan banget."
Para bidadari terus memberikan serangan dari berbagai penjuru. Bahkan Medora sudah menggunakan cakar pelumpuhnya. Namun, monster itu tak kunjung tumbang.
"Hei! Kalau memang mau membantu, keluarkan kemampuanmu, orang sinting!" umpat Lois kepada Zita yang memang bertarung dengan gerakan asal-asalan, terkadang malah cuma diam dan mengamati.
"Iya, iya." Zita melemparkan perisainya, yang langsung menghantam kepala si monster. Namun, setelah itu perisai Zita justru terbang entah ke mana. Mendapat pandangan tajam dari Lois, Zita pun cuma cengengesan dan mengangkat bahu.
Dan akhirnya, jeratan di moncong si monster pun terlepas. Dia pun menyemburkan api kembali.
Tidak ada yang menyadari kalau perisai Zita terbang memutar, kemudian menukik ke arah Etria. Bidadari itu tak bisa berbuat apa-apa saat perisai itu menyambarnya dari belakang.
"Etria!" seru Rava ketika sadar bidadarinya itu tersungkur. Bidadari lain terlalu fokus melawan monster. Pandangan mereka juga sudah terhalang dinding api yang membumbung tinggi. Bidadari-bidadari itu tidak bisa melihat tuan mereka.
Satu tangan terjulur kepada Gilang yang sedang kebingungan. Namun, tangan lain berhasil menangkap tangan itu. Ya, Janu baru saja menggagalkan usaha Aiden yang mau menculik Gilang.
"Sialan!" Etria bangkit dengan wajah kesal. Ia sudah akan menghampiri Aiden, tetapi perisai Zita keburu menghantam perutnya.
Sementara Etria berkutat melindungi diri dari serangan perisai Zita, Aiden menendang perut Janu. Pegangan Janu di tangan Aiden pun terlepas. Namun, Janu tetap berhasil menjaga keseimbangan, langsung mengepalkan kedua tangan ke depan, berpose seperti petinju.
Aiden mengamati kaki Janu sekilas. "Wow, kelihatannya kamu memang betulan petinju."
Rava pun melindungi Gilang ke belakang punggungnya.
Janu memberikan kombinasi pukulannya. Dimulai dengan jab, dilanjut dengan pukulan silang, kemudian melancarkan hook. Namun, Aiden bisa menghindari semua pukulan itu, langsung melancarkan tendangan ke kepala Janu.
Janu menunduk untuk menghindar, kembali memberikan kombinasi pukulan, tetapi kali ini berbeda. Dia menambahkannya dengan uppercut ke dagu dan rusuk Aiden. Aiden memang bisa menghindar dan menangkis, tetapi dia terlihat kewalahan.
"Teknikmu memang sudah bagus, tetapi power dan kecepatanmu tidak seberapa. Jadi, aku masih bisa melawanmu," ucap Aiden, mengelak satu pukulan hook musuhnya itu dengan cara menunduk. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jaketnya.
Janu yang sudah ngos-ngosan tak bisa mengelak saat pentungan portabel besi menghantam pelipisnya, langsung membuka luka yang mengucurkan darah.
"Mungkin karena merokok dan kebanyakan minum?" Aiden menendang Janu yang sudah sempoyongan. Kemudian, Aiden menendang Janu tepat di bagian kemaluannya. Janu pun langsung berlutut sambil memegangi bagian tersebut. "Kalau staminamu masih ada, kamu bisa lebih berkonsentrasi, sehingga sanggup menghindari seranganku. Aku sebenarnya tidak menduga momen emas ini datang lebih cepat."
Aiden memandangi senjatanya yang bisa memendek dan memanjang itu sejenak, kemudian mementungkannya ke kepala Janu. Janu pun langsung ambruk dengan kepala berlumur darah. Tak peduli, Aiden kembali memukuli kepala Janu beberapa kali. Darah dari kepala Janu pun makin banyak menyerap di paving trotoar.
Sekarang, Aiden menghadap kepada Rava. Rava langsung celingukan. Dia tidak bisa melihat bidadari yang lain karena dinding api sudah benar-benar mengelilingi arena pertarungan. Ia telah berteriak kepada para bidadari sedari tadi, tetapi suaranya kalah dari gemuruh api yang makin menggila. Saat menoleh kepada Etria pun, harapannya langsung pupus. Etria sudah terkapar tak sadarkan diri dengan jarak yang sangat jauh darinya.
Rava mati-matian berpikir keras untuk bisa keluar dari situasi ini. Aiden sudah berjalan ke arahnya sambil mengayun-ayunkan pentungan. Rava pun menarik tubuh Gilang untuk merapat kepadanya. Bocah cilik itu cuma bisa mengintip dari balik punggung Rava.
"Arggghhh!!!" Akhirnya, Rava nekat menerjang maju.
Namun, dengan satu sabetan di kepala, Aiden sudah bisa menjatuhkan Rava. Tersungkur di trotoar, Rava memegangi kepalanya yang berlumur darah. Ia berusaha bangkit dengan segera, tetapi nyeri dan sensasi melayang di kepalanya itu tak tertahankan.
Tersenyum begitu lebar, Aiden mendekati Gilang, yang langsung jatuh terduduk, mencucurkan air mata dan gemetaran.