A Song of the Angels' Souls

119. Berita Buruk



119. Berita Buruk

Herman memutar gas sepeda motornya dengan maksimal. Mulutnya terus berdecak sedari tadi. Ia merasa kendaraannya itu tidak cukup cepat membelah angin malam.     

Dia lengah. Dia mengira Dini tidak akan terkena dampak dari semua ini. Bagaimanapun, Dini sudah tidak ada hubungannya lagi dengan para bidadari karena Bagas sudah tidak menjadi tuan dan kemungkinan besar malah sudah tewas. Namun, Herman lupa. Orang yang dihadapinnya adalah A.G, psikopat yang tindak-tanduknya tidak bisa diprediksi.     

Herman baru saja mendapatkan pesan dari nomor ponsel orang yang mengawasi rumah persembunyian Dini. Alih-alih mendapat pemberitahuan bahwa semuanya baik-baik saja seperti biasa, dirinya malah dikirimi foto-foto yang mengerikan: si pengawas yang tergeletak penuh darah, anak Bagas yang menangis, serta Bagas dan Dini yang kondisinya begitu mengenaskan.     

Aiden menyatukan suami istri itu sedemikian rupa, tentunya dengan cara keji tak bermoral.     

Entah dengan metode apa Aiden bisa mengetahui rumah itu.     

Begitu sampai di rumah persembunyian Dini, Herman memakirkan motornya sembarangan, kemudian bergabung dengan kerumunan orang yang sudah begitu banyak. Mereka melongok-longokkan kepala untuk mengetahui apa yang terjadi. Beberapa personel polisi pun memerintahkan orang-orang itu mundur, sementara beberapa anggota lain memasang garis kuning.     

"Katanya ini kerjaan A.G," ujar salah seorang pria yang ikut berkerumun.     

Wanita di sebelah pria itu sedikit menggigil. "Iih, serem banget. Sampe orang di depan rumah ini juga kena."     

Ya, selain rumah persembunyian Dini itu, rumah yang diperiksa polisi juga adalah rumah di depannya. Rumah yang digunakan orang suruhan Herman untuk mengawasi persembunyian Dini.     

Herman pun meremas keningnya, mundur dengan tubuh yang seolah kehilangan energi. Dia pun mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Rava.     

***     

"Jadi, akhir-akhir ini perbuatan kalian terhadap Rava itu makin mengkhawatirkan," ucap ibu Rava dengan berkacak pinggang, berdiri di depan empat bidadari yang duduk di sofa panjang.     

Kacia memain-mainkan roknya sambil menunduk. Lyra bersedekap sambil membuang muka. Etria memangkukan dagunya dengan kedua tangan. Bagian bawah mulutnya ditarik ke belakang. Lois terlihat sangat santai, seperti tidak sedang diomeli. Sementara itu, Mireon yang duduk terpisah tengah menyedot minuman ringan.     

"Pokoknya, nggak boleh rebutan. Rumah ini jauh lebih kecil dari sebelumnya. Kamarnya cuma ada tiga. Rava tidur sendiri. Dua lainnya diisi tiga-tiga, termasuk Ibu," lanjut sang ibunda. "Kalian ini wanita baik-baik, kan? Jagalah kehormatan kalian. Ibu sih percaya Rava nggak bakal ngapa-ngapain, tapi kan nggak elok juga kalau kalian ngotot tidur dengan Rava."     

Rava menggaruk rambutnya. Belum lama mereka tiba rumah kontrakan yang baru itu, sudah ada keributan yang terjadi karena keempat bidadari itu ingin tidur satu kamar dengan Rava. Sebuah situasi yang menurut Rava sangatlah absurd.     

Mendengar nada dering, Rava mengeluarkan ponselnya. Ada pesan dari Herman. Isinya sangat singkat dan padat, tetapi sudah cukup membuat degup jantung Rava melonjak berkali-kali lipat.     

Bagas dan istrinya dibunuh A.G. Anak mereka hilang.     

Tangan Rava seperti kehilangan energi. Ponselnya pun nyaris jatuh. Ia lalu melirik Kacia, yang masih khidmat mendengar omelan sang ibunda.     

***     

Keluar dari pintu belakang, Rava merapatkan jaketnya, melindungi dirinya dari angin malam yang menusuk. Ia langsung disambut halaman yang jauh lebih kecil dari rumah kontrakan terdahulu. Hanya cukup untuk menjemur pakaian dan bagian bawahnya sudah dilapisi semen.     

Tak cuma itu, dia juga melihat bidadari bertubuh mungilnya. Kacia tengah berdiri di tengah halaman itu, memandang bulan purnama yang bersinar terang.     

"Belum bisa tidur, Rav?" tanya sang bidadari, masih membelakangi tuannya.     

"Belum, Kacia." Rava menjejeri sang bidadari. "Biasanya, kalau keluar malem-malem begini, kamu bakal naik ke atap."     

"Atap rumah ini kelihatannya agak ringkih."     

Biasanya, kalau berdua saja dengan Kacia seperti ini, Rava masih merasa canggung. Namun, kali ini tidak. Barangkali itu karena dia sudah menguatkan tekadnya.     

"Kamu ingat saat kita bertemu pertama kali, Rava?" tanya Kacia lagi, merentangkan senyum tipisnya. "Waktu itu, kamu sangat hebat. Kamu kelihatan punya tekad kuat untuk membebaskanku dari tuanku yang terdahulu."     

Yang terbentuk di mulut Rava justru sebuah senyum getir. "Tapi, pada akhirnya yang berperan besar adalah para bidadari, yang melumpuhkanmu terlebih dahulu. Terus, aku sebenarnya nggak ngapa-ngapain buat ngebujuk tuanmu yang dulu itu. Aku cuma marah-marah nggak jelas, tapi mas Stefan yang menekan Fino buat ngelepasin kontraknya."     

"Tapi, barangkali karena melihat tekadmu, mereka jadi lebih termotivasi membebaskanku."     

Rava terdiam. Pandangannya lurus terhujam ke pagar tembok yang dipenuhi lumut. Beberapa menit berpikir dalam kesunyian, akhirnya dia berucap lirih, "Setelah kabar kematian pak Bagas, aku jadi berpikir panjang, Kacia. Aku bisa menjadi korban selanjutnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya."     

Kacia menurunkan kepalanya untuk menatap lantai beton. "Seperti yang sudah pernah kubilang, aku akan melindungimu, Rava."     

Tiba-tiba saja, Rava meraih kedua tangan Kacia. Kacia pun sedikit berjengit, pipinya juga mulai dihiasi rona merah, jelas sekali tidak menduga Rava akan melakukan hal seperti itu.     

Degup jantung Rava memang mulai merangkak naik. Wajahnya juga seperti disambar hawa panas. Namun, kali ini pikirannya begitu jernih. Ia tahu apa yang ingin dikatakannya.     

"Karena mungkin aku bisa mati besok, aku jadi merasa harus mengungkapkan perasaanku secepatnya." Rava menarik napas begitu panjang, menelan ludah, baru kemudian melanjutkan ucapannya, "Bahkan sejak pertama bertemu dirimu, aku sudah merasakan sesuatu, Kacia. Dan rasa itu terus berkembang seiring berjalannya waktu. Melihat senyum kamu, merasakan kehangatanmu, menerima perhatian kamu ...."     

"Cukup Rava, jangan teruskan lagi," sela Kacia dengan suara yang mulai parau.     

Rava memang tidak meneruskan ucapannya. Namun, dia tetap memegangi kedua lengan Kacia, mengarahkan tubuh bidadari itu untuk menghadapnya. Mata mereka pun bertemu. Kacia memandang wajah tuannya itu dengan mata yang sudah dilapisi cairan bening.     

Rava menarik bidadarinya. Hanya dalam sedetik, bibir mereka sudah bertaut. Kacia pun membelalakkan matanya. Ia bisa merasakan kehangatan bibir Rava di bibirnya. Awalnya, Kacia akan melawan. Akan tetapi, pada akhirnya dia memilih untuk pasrah. Ia memejamkan mata, mulai meneteskan air mata. Rava pun sama saja. Ujung matanya mulai mengalirkan cairan bening.     

Keadaan itu bertahan untuk beberapa menit. Sampai akhirnya, Rava melepaskan kecupannya.     

Kacia berjalan mundur, mulai terisak. Air matanya makin banyak membasahi pipi. "Kamu tahu, kan? Kita tidak mungkin bisa bersatu. Aku sudah bertekad bulat untuk kembali ke duniaku dan aku tidak bisa membawamu."     

Rava mengusap air matanya, menghadap ke arah lain. "Aku tahu, Kacia. Tapi, dengan semua yang terjadi, aku merasa harus benar-benar mengungkapkannya, sebelum semuanya terlambat."     

Kacia pun berlari meninggalkan tuannya itu. Terus menyeka air matanya, ia memasuki kamar yang juga dihuni Etria dan ibu Rava. Etria yang masih duduk dengan memeluk bonekanya pun terhenyak saat melihat Kacia masuk dengan berlinang air mata. Sementara itu, ibu Rava tetap tertidur pulas.     

Kacia melemparkan dirinya ke kasur, berbaring dengan memunggungi Etria.     

Etria pun mengecek temannya itu. "Ada apa, Kacia?"     

Kacia tak menjawab, hanya terisak pelan. Etria pun ikut berbaring, memeluk perut bidadari mungil itu dari belakang.     

"Apa pun yang terjadi. Aku ada di sisimu, Kacia," ucap Etria lirih.     

Kacia mati-matian menahan isakannya agar tidak terdengar oleh yang lain. Perkataan Rava tadi seperti pedang yang menembus hatinya, menyarangkan rasa sakit yang tak terkira. Rasa sakit yang entah bisa disembuhkan atau tidak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.