A Song of the Angels' Souls

113. Bentrokan Melodi



113. Bentrokan Melodi

"Stef, pakai yang nomor satu," desah Ione, merujuk kepada kemampuan pembekunya. Kemudian, ia menuntun kekasihnya itu agak menjauh dari arena pertarungan. "Sebentar ya Mireon, aku mengantar tuanku dulu."     

Mireon menunggu dengan masih memasang kuda-kudanya.     

Keadaan memang kurang menguntungkan karena tidak ada yang menemani Stefan, tetapi Ione tidak punya pilihan lain. Kalau kabur sekarang, belum tentu ada kesempatan bertemu Mireon sebagus ini.     

Sambil berjalan menghampiri Mireon, Ione menempelkan serulingnya ke mulut. Di saat yang hampir bersamaan, senar-senar hitam muncul di kapak Mireon, disusul dengan tongkat penggesek di tangan kirinya.     

Bidadari berbusana hitam itu pun menempelkan ujung atas kapaknya ke leher. "Ngiiik!"     

Ione baru melantunkan beberapa nada saat Mireon menembakkan satu proyektil. Dengan sigap, Ione menangkis proyektil itu dengan serulingnya.     

Alih-alih terpental jauh, proyektil yang ditembakkan Mireon justru jatuh dengan begitu pelan. Ternyata itu bukan sesuatu yang keras, melainkan bulu berwarna hitam. Bulu yang sejenis dengan apa yang ada di busana Mireon.     

Mireon pun bergerak, maju-mundur, ke kanan dan ke kiri, merendahkan tubuhnya dan melompat, semuanya dilakukan demi bisa menembak Ione dari berbagai sudut. Ione pun berlari maju, terus menghindar dan menangkis dengan serulingnya.     

Sampai akhirnya, jarak mereka sudah begitu dekat. Mireon melompat, melepaskan kapak-biolanya dari leher, kemudian mengayunkannya secara vertikal. Krak! Ione sedikit mundur. Kapak itu pun hanya menghujam aspal, menimbulkan retakan yang cukup dalam.     

Ione pun segera menahan kapak itu dengan kakinya. "Aku mohon, dengarkan aku dulu. Pertarungan ini terlalu absurd dan tidak ada gunanya! Lebih baik kita bersatu!"     

Tak menjawab, Mireon menarik keras kapaknya, lantas berputar sambil mengayunkannya lagi, sekarang secara horizontal. Ione langsung membungkuk, sekaligus menendang kaki sang musuh. Mireon pun tumbang, tetapi dia balas menendang dengan kedua kakinya. Ione yang sedang mendatangi Mireon pun sedikit terhuyung mundur, terkena tendangan itu di dadanya.     

Mireon berguling ke belakang untuk bangkit, langsung memasang pose siap menyerang kembali.     

"Dari pertarungan yang singkat ini, aku tahu kemampuanmu itu di atas rata-rata," ucap Ione dengan nada serius. "Aku tahu semua petarung hebat di pemilihan ratu ini. Aku hanya berpura-pura belum mengenal mereka. Tapi, kenapa aku tidak tahu tentang dirimu? Siapa kamu sebenarnya?"     

Alih-alih menjawab, Mireon justru maju untuk menyerang lagi. Namun, ketika akan mengayunkan kapaknya, dia justru berhenti. Mulutnya pun agar terbuka, matanya agak membelalak, tertuju ke tempat tadi Stefan berdiri.     

"Tuanmu mana?" tanyanya pelan.     

"Eh?" Ione langsung menoleh kepada tuannya itu. Ya, Stefan tak ada di sana. Meski sedang bertarung, Ione selalu mengawasi dengan sering melirik tuannya itu. Sedetik yang lalu, Ione masih bisa melihat Stefan.     

Mireon pun mengedarkan pandangannya. "Tuanku juga tidak ada."     

Urat-urat di wajah Ione mulai menegang. Dia sangat percaya diri dengan kemampuan pengawasannya, tetapi sekarang dia dikalahkan oleh seorang manusia.     

***     

"Apa yang kamu inginkan dariku, A.G?" tanya Stefan yang diikat di jok belakang sebuah mobil. Nada bicaranya begitu tajam.     

"Dari dulu aku tidak menyukai panggilan itu. Panggil saja aku Aiden," jawab Aiden yang mengemudi di depan. "Suaramu terdengar biasa saja, padahal biasanya orang-orang yang kubawa sudah panik, apalagi kalau mereka melihat wajahku."     

Ini situasi sangat buruk. Bohong kalau Stefan berkata dirinya baik-baik saja. Degup jantungnya sudah sangat tidak terkendali. Pikirannya juga terus bertanya-tanya mengenai apa yang akan Aiden lakukan kepadanya. Akan tetapi, menunjukkan ketakutan artinya berperilaku seperti apa yang Aiden inginkan. Testimoni Aiden yang menyukai reaksi takut dan tersiksa dari korbannya sudah sering dibahas dalam berita.     

"Kamu ingin uang, Aiden? Aku bisa menyiapkan sekarang juga," ujar Stefan, menjaga suaranya tetap terdengar biasa.     

"Aku tahu, aku tahu." Aiden manggut-manggut, sedikit menggerak-gerakkan bibirnya. "Aku tahu kamu anak Willian Wiryawan. Aku tahu uang ayahmu banyak sekali. Tapi, bukan itu yang kucari. Aku hanya ingin melihat reaksi salah satu orang terkaya di negeri ini. Bagaimana cara dia mengatasinya? Apa saja yang dia kerahkan untuk mencarimu?"     

Kali ini Stefan memilih untuk tak menanggapi. Percuma. Jalan pikiran orang sinting seperti itu tidak bisa diduga-duga. Mungkin saja perkataan Stefan malah bisa memicu hal yang tidak-tidak.     

"Kenapa kamu malah diam saja begitu?" keluh Aiden setelah melewati beberapa menit dalam kesunyian. "Kamu jadi seperti Mireon yang membosankan."     

Stefan tahu, para bidadari dan Rava akan mencarinya. Keluarganya juga begitu. Ayah dan kakaknya pasti akan mengerahkan banyak sumberdaya untuk menemukannya. Dalam waktu singkat, dia akan aman, kembali ke pelukan Ione.     

Mobil kecil berwarna kuning yang dikemudikan Aiden itu pun berbelok ke jalanan yang sepi.     

***     

Untuk kesekian kalinya, Ione memukul pipi Mireon. Mireon pun terjungkal, tetapi tidak menghindar atau membalas. Tanpa ampun, Ione pun menendang perut musuhnya itu keras-keras.     

"Ione! Cukup!" seru Kacia yang baru mendarat di tempat Ione dan Mireon berada, yakni di sebuah parkiran minimarket. Kacia menurunkan Rava dari punggungnya dan menahan Ione yang sudah akan menendang Mireon kembali. "Dia sudah tidak melawan."     

Ione menggertakkan giginya. Kemudian mundur sambil meremas kepalanya. "Aaargh!"     

"Kami sudah menerima pesan dari kamu," ucap Rava kepada Ione.     

Lyra pun berjalan mendekat. "Kamu sudah mencari di sekitar pasar kuliner?"     

"Sudah, tetapi bahkan jejak mereka tidak ada." Ione memegangi kepalanya, sekaligus mengatur napasnya yang sudah mulai tak terkendali.     

Rava menelan ludah. "Inilah ciri khas A.G. Kalau menculik orang, dia benar-benar nggak ninggalin jejak."     

"Aku sudah menghubungi ajudan Marcel. Kamu sudah menghubungi Herman?" tanya Lois.     

Ione mengangguk pelan. Matanya sudah mulai dilapisi cairan bening. "Maaf, tapi aku akan mencarinya lagi. Bisakah kalian membantuku?"     

"Tentu saja," jawab Kacia, sedikit mengelus pundak rekannya itu. "Kami akan ikut mencarinya.     

"Aku akan bertanggung-jawab," celetuk Mireon, dengan ekspresi nyaris datarnya. "Ini salahku karena tidak memerhatikannya."     

Rava dan para bidadari hanya memandangi Mireon dengan mulut tertutup.     

***     

Seharusnya Bagas bisa kabur saja dari Zita, tetapi nyali pria itu terlalu kecil. Padahal, beberapa hari telah berlalu dan Zita masih terbaring di lantai bangunan yang terbengkalai itu, memandang kosong ke langit-langit beton. Tubuhnya kotor penuh debu dan wajahnya makin lama makin memucat.     

Bagas tak mau keluarganya celaka. Bidadarinya ini tidak bisa diprediksi. Sekarang kondisi ZIta memang seperti ini, terlihat tidak memberikan ancaman. Namun, Bagas tak tahu apa yang akan Zita lakukan kalau dirinya pergi.     

Maka dari itu, Bagas tetap bertahan. Ia menenggak sisa anggur merahnya, kemudian melemparkan botolnya yang sudah kosong begitu saja ke sebuah pilar. Botol itu pun pecah. Pecahannya bergabung dengan pecahan-pecahan botol lain di bawah pilar itu.     

Bagas menyandarkan diri ke tembok dengan mata yang tidak fokus.     

"Kamu tidak bisa seperti ini terus, Zita." Satu sosok Piv keluar dari balik pilar itu. "Apa gunanya kamu dibangkitkan kalau begitu?"     

Akhirnya, Zita bergerak, merayap cepat kepada Piv dan meremasnya dengan kedua tangan. Air mata bidadari itu pun langsung turun dengan begitu deras.     

"Aku mohon! Bangkitkan Varya! Aku sudah sangat merindukannya!" pinta Zita dengan nada penuh permohonan.     

"Memang ada pertimbangan dari pihak atas untuk membangkitkan Varya. Bagaimanapun, Varya adalah kandidat favorit mereka. Tapi, mereka tidak dapat memutuskannya dalam waktu dekat," jawab Piv. "Mungkin mereka akan membangkitkannya, mungkin juga tidak."     

Mata Zita pun membelalak. Tubuhnya mulai bergetar dan kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya.     

"Tapi, aku bisa membawamu kepada seseorang yang mungkin bisa membangkitkan semangatmu, Zita," tukas Piv.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.