109. Monster Hitam 2
109. Monster Hitam 2
Ia mengamati para bidadari yang masih berjuang. Seorang bidadari berbusana hitam terus mengayun-ayunkan kapaknya ke leher monster yang terbaring miring di aspal itu, seperti seseorang yang menebang pohon. Cairan hitam pun banyak bermuncratan ke mana-mana.
Sementara itu, Kacia terus memanah tentakel-tentakel yang akan menyerang Mireon. Seperti kata Mireon, monster itu begitu sensitif dengan rasa sakit. Begitu salah satu tentakelnya terkena, dia meraung keras, gerakannya jadi kacau.
Lama-kelamaan, raungan monster itu memelan. Ia memang beberapa kali berusaha bangkit. Namun, Mireon selalu menebas kakinya, membuat monster itu rubuh lagi.
Rava bernapas lega. Monster itu makin tak berdaya. Serangan tentakelnya sudah tidak bertenaga dan terarah.
"Kamu ini tuan juga seperti aku, ya?"
Rava tersentak oleh suara lelaki yang tiba-tiba muncul di belakangnya itu. Ia pun memutar tubuhnya. Sempat melongo menatap Aiden, Rava pun mundur dengan mata membelalak.
Akan tetapi, Aiden keburu maju. Saat itulah, perut Rava merasakan hujaman keras. Sesuatu menembus kulitnya, menyarangkan nyeri tak terkira.
"Anggap saja ini salam perkenalan dariku," bisik Aiden di telinga Rava. "Aku baru keluar dari, jadi insting berkaryaku masih tumpul. Semoga kita bertemu lagi."
Rava bisa mencecap rasa logam di mulutnya, yang kini terisi cairan kental. Begitu menoleh ke bawah, dia menemukan potongan kaca yang menancap di pinggang kirinya, merembeskan darah merah ke kaosnya.
Pemuda itu ingin berteriak, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah batuk bercampur darah. Dengan memegangi lukanya itu, ia pun tumbang. Energinya seolah disedot habis.
Nyeri di pinggangnya itu makin tak tertahankan. Dia ingin semua itu segera berakhir.
***
Dengan ekspresi nyaris datarnya, Mireon mengayunkan kapak, kemudian mengambil napas. Otot-ototnya serasa sedang dibakar. Dia tidak pernah melakukan pertarungan seintens itu seumur hidupnya.
"Dia sudah mati," ucap Kacia, menurunkan busurnya karena tentakel-tentakel sang monster akhirnya terkulai ke aspal.
Mireon pun melompat turun dan Kacia menghampirinya.
"Kita belum benar-benar berkenalan," sapa Kacia, memaksakan senyumnya. Bagaimanapun, dia tidak bisa benar-benar tersenyum karena banyaknya korban serangan monster dengan kondisi mengenaskan di sekitarnya. "Sebentar lagi, teman-temanku datang ...."
Mireon tiba-tiba mengayunkan kapaknya kepada Etria. Etria pun dengan sigap menangkis dengan busurnya.
"Aku tidak mau bertarung denganmu," ujar Kacia dengan nada penuh penekanan.
"Sebenarnya, aku juga tidak mau. Aku harus mengurusi tuanku," timpal Mireon.
Keduanya pun sama-sama menurunkan senjata. Mireon langsung bertolak tanpa mau repot-repot berpamitan kepada Kacia. Kacia cuma bisa tersenyum kaku melihat sikap Mireon yang begitu dingin itu.
Kacia pun melompat ke arah tuannya bersembunyi. Ketika masih berada di udara, bidadari itu membelalakkan matanya, mendapati tuannya terbaring di atas genangan darah yang terus melebar.
"Ravaaa!!!" Kacia langsung berlutut untuk memeriksa tuannya itu. Tidak peduli dengan darah merah yang menodai baju tempurnya, ia mengangkat kepala Rava dan menyandarkannya ke tangan. "Rava! Bangun, Rava!"
Rava hanya memejamkan mata, tak merespon sama sekali.
Agak jauh dari situ, Mireon menarik kerah baju Aiden dan mendorongnya ke sebuah mobil. "Kurang ajar! Apa yang sebenarnya kamu lakukan, hah!?"
"Ternyata kamu bisa berekspresi seperti itu," kekeh Aiden sambil mengangkat kedua tangannya, memandang wajah Mireon yang menyeringai bengis. "Yah, aku cuma bosan saja. Dan begitulah salah satu caraku menghilangkan kebosanan."
Bukannya melampiaskan kemarahan, pandangan Mireon justru terhujam ke arah lain. Ia melihat sekelompok bidadari yang datang dengan melompat dari satu mobil ke mobil lain. Ia lalu menoleh kepada Kacia, yang balas menatapnya dengan linangan air mata dan ekspresi sendu.
"Maaf," ucapnya, kemudian mengangkat Aiden dan membawanya pergi.
"Maaf, kami terlambat!" seru ione dari udara. "Kami dihadang monster lain .... Hei, apa itu Rava!?"
Begitu mendarat, Lyra dan Etria berlutut di dekat Rava.
"Apa yang terjadi!?" tanya Lyra panik, memeriksa pecahan kaca yang masih menancap di pinggang Rava. Bidadari itu pun tecekat, memandang darah Rava yang menempel di tangannya. Darah yang begitu merah.
Kacia terus terisak, sementara Etria cuma bisa melongo dalam diam saking syoknya.
"Stefan, kamu tahu rumah sakit terdekat, kan?" tanya Ione yang masih berdiri. "Rava terluka parah."
"Baik." Stefan mengangguk, sudah mengeluarkan ponsel. "Aku akan siapkan semuanya."
***
Para perawat di instalasi gawat darurat sempat terheran-heran karena Rava dibopong oleh seorang wanita mungil seperti Kacia. Rava kehilangan banyak darah, sampai harus mendapatkan transfusi. Untungnya, nyawa pemuda itu masih bisa terselamatkan, meski kesadarannya belum pulih dan masih harus diawasi.
Stefan, Ione, Lyra, Lois, dan Etria menunggu di halaman IGD, menunggu kabar selanjutnya. Sementara itu, Kacia menemani Rava di dalam. Awalnya Kacia sempat ragu untuk mendampingi Rava. Namun, justru Lyra lah yang mendorongnya.
Langit sudah gelap ketika ibu Rava tergopoh-gopoh datang ke sana dengan diantar oleh Herman. Setelah berbicara dengan penjaga di situ, ia diperbolehkan masuk, dengan syarat Kacia harus keluar.
Ibu Rava pun membuka tirai bilik perawatan, langsung menemukan Kacia yang duduk di kursi besi, menemani Rava yang terkulai pucat di tempat tidur pasien. Selang infus yang tersambung ke tangan Rava serta irama pelan dari mesin pemonitor detak jantung seolah mempertegas bahwa kondisi pemuda itu tidak sedang baik-baik saja.
Kacia menoleh kepada ibu Rava dengan gerakan begitu kaku. Bidadari bertubuh mungil itu pun segera bangkit sembari menghapusi air matanya. Ibu Rava pun mendekati anaknya dengan wajah menegang dan tubuh bergetar.
Kacia sedikit menjauh, lantas menunduk dalam-dalam. Dengan suara begitu parau, ia pun berkata lirih, "Maafkan saya yang tidak bisa menjaganya."
"Bisakah kamu pergi sekarang?" timpal ibu Rava dengan nada sedingin es, sama sekali tidak mau menatap bidadari itu. "Ibu mohon dengan sangat."
Baru penah mendengar ibu Rava berbicara seperti itu, Kacia sedikit tersentak. Namun, dia langsung menyadari posisinya dan memutuskan pergi tanpa mengatakan apa pun. Saat sudah agak jauh dari bilik tempat Rava berada, Kacia bisa mendengar suara isakan dari sang ibunda.
Begitu Kacia keluar dari ruangan itu, Etria langsung memeluknya erat-erat. Kacia pun kembali terisak, balas memeluk Etria.
***
Di sebuah rumah kosong yang lantainya diselimuti debu tebal, Mireon melemparkan tubuh Aiden sampai menghantam sebuah meja kayu.
"Selamat datang di salah satu rumah persembunyianku." Bukannya mengaduh, Aiden malah terkekeh, walaupun saat bangkit dia meringis sambil memegangi pinggangnya. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan penyesalan, kendati dirinya sudah menusuki orang-orang dengan pecahan kaca.
Menyadari Mireon hanya mematung sambil memandangnya dengan ekspresi yang lagilagi nyaris kosong, Aiden tersenyum miring.
"Cuma segitu?" Aiden mendekati bidadarinya, sama sekali tak menunjukkan ketakutan. "Kamu tidak mau memukuliku atau apa, begitu?"
Aiden mengamati wajah Mireon dari berbagai arah. Mireon masih tak memberikan respon berarti. Hanya bola matanya yang mengikuti wajah tuannya itu.
"Aah, kamu tidak mau terlalu menyakitiku karena kamu masih membutuhkanku, kan?" Akhirnya, Aiden pun mundur beberapa langkah, kembali tersenyum. "Kalau kamu kelepasan, aku akan terluka parah. Kamu sendiri yang repot karena aku tidak bisa mendampingiku."
"Tapi, kalau kamu melakukan hal seperti itu lagi, aku tak segan-segan melakukan sesuatu kepadamu," sahut Mireon dengan bibir bergetar, meski ekspresinya tidak berubah banyak.
Aiden pun nyengir lebar, lantas meninggalkan bidadarinya. "Aku masih marah loh, Mir. Kamu membawaku pergi sebelum aku bisa melihat reaksi dari orang-orang yang kuberi 'hiasan' itu."
Mireon pun menunduk. Kedua tangannya terkepal begitu erat sampai bergetar.