103. Cinta Gila
103. Cinta Gila
Lois mengangguk, mengeluarkan cahaya merah di tangannya. Alih-alih membentuk senjata, cahaya itu bermaterialisasi menjadi sebuah ponsel. Lois pun melemparkannya kepada Rava.
"Hubungi yang lain, Rav," pinta Lois, lantas menatap Lyra kembali. "Kamu setuju kalau kita jangan kabur dan menyelesaikan ini, kan?"
"Aku setuju. Kita bisa mengakhirinya sekarang," jawab Lyra, memasang kuda-kuda.
Lois pun ikut bersiap, begitupun Medora, yang menggunakan pose siap menyerang super rendahnya. Namun, karena Zita masih bermain dengan dirinya sendiri, mereka memilih untuk mengawasi. Bagaimanapun, perilaku Zita sangat sulit untuk diprediksi.
"Aaahhhnnn .... Maaf, aku terlalu asyik membayangkan Varya tercintaku, sampai melupakan kalian ...." Zita tercekat. Pandangannya terpaku ke lengan Rava. Ya, lengan yang dihiasi tiga tanda berwarna putih, di antara tanda-tanda lain.
Zita berhenti meraba-raba tubuhnya sendiri. Desahan penuh gairahnya pun lenyap. Matanya perlahan membuka lebar.
"Sial, dia menyadarinya," desis Lois, berusaha menutupi lengan Rava, walau itu percuma.
"Heiii ....," panggil Zita dengan suara bergetar. "Jangan bilang kalau Varya sudah mati."
Lois pun maju beberapa langkah. "Ya, sayang sekali dia sudah tewas. Aku yang membunuhnya."
"Bohong."
"Kalau tidak percaya, tanya saja Piv."
Mulut Zita pun membuka. Kedua tangannya turun. Kepalanya pun menunduk dengan gerakan luar biasa kaku. Satu-persatu air matanya mulai menetes.
"Kalau dia mati, apa tujuanku bangkit kembali kalau begitu?" gumamnya datar. "Tidak, ini tidak mungkin. Ooh, Varya .... Kita seharusnya bertarung sampai mati, sebagai tanda cinta kita berdua."
Mendengar isakan Zita yang aneh, Rava merasakan seluruh bulu kuduknya meremang. Para bidadari pun mulai mendekat dengan langkah pelan dan hati-hati. Namun, ketika jarak mereka tinggal beberapa jengkal saja, Zita sama sekali tak merespon.
Lyra berinisiatif memberikan tebasan horizontal ke tubuh Zita. Bidadari berbusana kuning itu sama sekali tak melawan. Ia pun tumbang karena kekuatan tebasan itu, sama sekali tidak berusaha menjaga keseimbangan. Matanya yang kini menghadap langit terus mengalirkan cairan bening, sementara mulutnya hanya membuka tanpa suara.
"Lois, aku akan pegangi dia. Kamu yang akan menyerangnya sampai dia mati," desis Lyra.
"Baiklah. Aku setuju."
Tanpa pikir panjang lagi, Rava berlari kencang dan menarik kerah Bagas. Di muka tuan Zita itu, Rava berteriak, "Cepat lepaskan kontraknya, Pak! Mumpung dia lagi begini! Biar kita lebih cepat membunuhnya! Sebelum dia sadar!"
Bagas menggelengkan kepalanya dengan gemetar. Matanya juga sudah dihiasi lapisan cairan bening. "N-nggak bisa. Dia akan melakukan sesuatu kepadaku dan keluargaku kalau aku melepas kontraknya."
"Saya mohon, Pak! Ini adalah kesempatan kita! Bapak juga bisa terlepas dari belenggunya .... Ugh!"
Rava jatuh terduduk karena Bagas mendorongnya keras-keras.
"Kamu nggak akan ngerti." Bagas tersenyum getir, kemudian mundur untuk menjauhi Rava.
"Biarkan saja, Rava," ucap Lyra, yang sudah memegangi tubuh Zita untuk menghadap Lois. Layaknya boneka tali, Zita tak melawan. Ia cuma membisu. Kepalanya miring dan matanya entah menatap ke mana. Perisainya dia biarkan luruh ke aspal. "Kita tidak akan mungkin bisa membujuknya."
Rava sudah akan membantah, tetapi dia sadar perkataan Lyra ada benarnya. Bagas sudah melalui mimpi-mimpi buruk dengan Zita, tidak akan mudah untuk membujuknya melakukan sesuatu yang mengancam diri dan keluarganya.
"Kamu tidak akan mengikuti ini, Medora?" tanya Lois kepada Medora, yang sudah menggendong Bagas, jelas sekali berencana pergi dari situ. "Dasar pengecut."
Tak peduli, Medora melompat, meninggalkan tempat itu.
"Jangan pedulikan dia. Tetap fokus." Lyra mengingatkan.
Lois sedikit melakukan peregangan. Setelah mendengar aba-aba dari sang saudari angkat, ia pun melancarkan kombinasi serangannya ke tubuh Zita. Lois memberikan tusukan-tusukan dari berbagai sudut dan arah, hanya sesekali melancarkan tebasan.
Lagi-lagi Zita tak memberikan perlawanan. Jangankan mengaduh, menunjukkan ekspresi kesakitan saja tidak. Lois seperti hanya menyerang benda mati berbentuk bidadari.
Sampai akhirnya, rapier Lois menghujam perut Zita. Noda darah yang mulai melebar pun terbentuk di busana Zita. Lois sudah akan menarik rapiernya lagi, tetapi tiba-tiba saja Zita memegangi senjatanya itu. Zita tak peduli tangannya mulai berdarah karena tajamnya rapier Lois.
Zita lalu menendang keras perut Lois. Lois sampai terpental dan berguling-guling ke aspal. Setelah itu, Zita membenturkan bagian belakang kepalanya ke muka Lyra. Pegangan Lyra sedikit melonggar dan Zita memanfaatkan kesempatan itu untuk berbalik, juga menendang perut Lyra. Lyra pun ikutan terpental jauh.
"Berani-beraninya ...," desis Zita, membungkuk untuk mengambil perisainya, samasekali tak memedulikan luka penuh darah di perut dan tangannya. "Berani-beraninya kalian memisahkan aku dengan Varya!!!"
Rava sampai jatuh terduduk saking terkejutnya. Sensasi mengerikan yang sulit dijelaskan seolah merambati seluruh tubuhnya, membuatnya tak bisa bergerak. Seringai bengis dari Zita benar-benar tidak sesuai dengan air mata deras yang menghiasi wajah bidadari itu. Belum lagi napasnya yang naik-turun dengan liar, tak lagi terdengar seperti milik binatang buas yang mencari mangsa, tetapi seperti keluar dari suara makhluk asing dari dunia lain.
Setan.
Beberapa detik kemudian, Kacia dan Etria mendarat di depan Rava, langsung memasang kuda-kuda.
"Kamu tidak apa-apa, Rava?" tanya dua bidadari itu serempak, langsung menatap satu sama lain dengan mulut melongo.
Rava memejamkan matanya. Berusaha mengatur napasnya yang mulai tak terkendali. Dia sudah berkali-kali ada dalam situasi seperti ini. Seharusnya, dia sudah terbiasa. Kalau terlalu takut sampai tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya akan jadi beban.
"A-aku nggak kenapa-napa, kok," ucap pemuda itu, memaksakan diri untuk bangkit.
"Dia diam seperti ini malah membuatku frustasi," keluh Lois, bergeser mendekati Ione yang juga baru datang.
Ione turut memerhatikan Zita, yang masih saja tak bergerak, seperti patung dengan muka iblis. Mengapa dia tidak segera menyerang? Tak ada yang tahu penyebabnya, dan itulah yang membuat bidadari-bidadari lain juga tak menyerang. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Orang sinting memang sulit dimengerti.
"Stefan, aktifkan kekuatanku yang nomor tiga," pinta Ione dengan bibir bergetar hebat.
"Kamu yakin? Bukannya kamu bersumpah tidak akan menggunakannya?"
Ione menggeleng pelan. "Tapi, kemampuan itu yang menurutku paling efektif untuk menghabisinya."
"Ione, awas!" pekik Kacia tiba-tiba.
Tahu-tahu Zita sudah berada di depan Ione. Tak sempat bereaksi, Ione pun cuma bisa pasrah mukanya dihajar keras oleh pinggiran perisai Zita. Ione pun terpental dan tubuhnya menyambar Stefan. Mereka berdua pun berguling di aspal.
"Mati .... Mati .... Mati ....," racau Zita dengan suara parau, membungkukan badan dengan kedua tangan terkulai. Kemudian, ia melengkungkan tubuhnya dan menghadap ke atas, berteriak begitu keras, "Matiii!!! Kalian harus matiii!!!"
Para bidadari pun langsung menjaga jarak.
"Stefan! Stefan!" Ione menggoyang-goyangkan tubuh Stefan yang sudah tak sadarkan diri.
Mendapat isyarat dari Lyra, Rava mengaktikan kemampuan untuk menambah kecepatan. Lyra pun mengelebat. Akan tetapi, dia langsung terpental karena kekuatan pendorong dari perisai ZIta. Karena momentum kecepatannya sendiri, Lyra pun mendarat sangat jauh dari tempat itu, langsung tak sadarkan diri karena tubuhnya membentur tumpukan batu-batu besar.
"Lyraaa!!!" Rava langsung berlari menghampiri bidadarinya itu.
Lois membelalak. Tidak mungkin Zita bisa bereaksi dengan kecepatan Lyra yang seperti itu. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah Zita sudah mengaktifkan kekuatan pendorong itu sedari tadi untuk bersiap-siap.
Itu artinya, kesintingan Zita bukan asal membabi-buta saja. Otak bidadari itu masih berjalan untuk memikirkan strategi.