133. Keceriaan
133. Keceriaan
"Sepertinya, kamu sudah benar-benar segar, Rava," celetuk Kacia yang berjalan menjejeri tuannya itu, memberikan senyum hangatnya.
Senyuman itu memicu Rava untuk ikut tersenyum. "Iya, nih. Seneng banget udah sembuh."
"Ingat, besok kita udah mulai latihan. Lu bakal gue gembleng sampe mau muntah," ujar Janu, berjalan di belakang mereka.
"Kenapa Zita dan Aiden tidak bergerak lagi ya setelah beberapa hari?" tanya Lyra sambil memegangi dagunya.
Lois mengangkat bahu. "Dari yang kubaca, Aiden memang kadang suka mengambil jeda setelah melakukan kejahatan. Dia bilang, itu untuk menyegarkan insting seninya. Dia memang benar-benar gila."
Semua ucapan itu tidak mampu membuat mood Rava turun. Betisnya sudah tidak terlalu perih. Kepalanya tidak pening lagi. Dan tentunya yang paling utama, hubungannya dengan Kacia sudah membaik. Bahkan beberapa kali, dia sampai disuapi oleh bidadari itu di ranjang rumah sakit.
Mereka seperti sepasang kekasih betulan. Paling tidak, itu yang Rava rasakan. Walaupun bayang-bayang perpisahan terus merajami pikiran Rava, tetapi pemuda itu mati-matian berusaha tak memikirkannya.
Seperti kata Mireon dan Robin, lebih baik nikmati saat-saat seperti ini, mumpung dirinya masih bisa.
"Kenapa, Rav?" tanya Kacia, mengamati wajah tuannya itu. "Kamu kok senyam-senyum sendiri?"
"Yaah, aku emang lagi seneng aja." Rava pun tertawa.
Etria ikut tersenyum melirik dua sejoli itu. Lois juga ikut melirik mereka, tetapi hanya diam saja. Waktu menatap ke depan lagi, ia mendapati saudari angkatnya sudah berjalan cukup jauh dari rombongan.
"Lyra, tunggu!" panggil Lois.
"Hei, untuk merayakan keluarnya Rava dari rumah sakit, lebih baik kita beli baju yang bagus," ceplos Etria saat rombongan itu sudah hampir keluar dari gedung rumah sakit.
"Hmmm .... Tapi, kurasa bajuku masih cukup," jawab Kacia.
Serta-merta Etria merangkul dan menarik Kacia untuk menjauh dari Rava. Rava pun cuma bisa melihat adegan itu dengan penuh tanya.
"Kamu kan mau kencan dengan Rava, kamu harus memakai baju yang bagus, biar dia terkesan!" bisik Etria.
"Eeh? Itu .... Iya, sih .... Eeh!?" Kacia langsung gelagapan. Seperti biasa, pipinya mulai dihiasi rona merah.
Tiba-tiba, ibu Rava yang sedari tadi diam pun ikut merangkul si bidadari mungil. "Ibu juga mengizinkan, kok."
Kacia semakin salah tingkah dan Rava semakin bingung karena ibunya ikut-ikutan.
Begitu mereka keluar, Lois menghubungi Herman. Tak lama setelahnya, mobil minivan yang dikemudikan Herman pun tiba di dekat pelataran rumah sakit.
"Kita ke mall ya, Pak! Kacia ingin beli baju baru katanya!" ujar Etria dengan bersemangat.
Herman pun terkekeh. "Saya sih nggak masalah, tapi apa mas Rava udah bisa diajak jalan-jalan?"
"Dia udah sehat walafiat, jadinya aman sentosa kok, Pak," timpal ibu Rava antusias.
Janu yang namanya tak disebut pun sedikit mencibir.
***
Setibanya di mall, Lois memilah-milah baju, sengaja menjaga jarak dari Kacia dan Etria yang juga sedang memilih pakaian. Sementara itu, Lyra hanya terdiam dengan bersedekap, pandangannya terhujam kepada Rava yang sedang duduk dengan Janu dan Mireon di kejauhan.
"Aku sudah mengirimmu foto 'barang' Rava, tetapi aku belum mendengar pendapatmu. Menurut kamu bagaimana?" bisik Lois, terkikik nakal.
"Aku bukan orang mesum seperti kamu. Aku sudah menghapusnya," timpal Lyra tegas, masih saja menatap tuannya.
Lois sedikit menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu bisa membicarakannya denganku, Lyra. Kamu sekarang ingin berada di posisi Kacia, kan?"
Lyra mengalihkan pandangannya kepada sang saudari angkat. "Kamu ngomong apa, sih?"
"Yah, salahmu juga, sih. Waktu Rava dan Kacia sedang jauh-jauhan, kamu malah diam saja dan tidak bergerak, padahal kesempatan terbuka lebar." Lois tersenyum penuh arti.
Helaan napas panjang pun meluncur dari mulut Lyra. "Aku tidak paham apa yang kamu bicarakan, Lois."
"Kamu masih mau membohongi diri sendiri?" Akhirnya, Lois menghadap saudari angkatnya itu. "Kenapa kamu tidak mau mengakui ...."
"Walaupun aku mengakuinya, yang dipilih Rava tetaplah Kacia," potong Lyra sengit, kemudian mengalihkan pandangannya dari Lois. Walaupun ekspresi tajam Lyra masih tidak berubah, tetapi gestur tubuhnya menunjukkan kalau dia merasa sangat tidak nyaman.
"Aah, aku minta maaf." Lois mengusap wajahnya, menghela napas. "Kamu ternyata sangat mencintainya, ya?"
Lyra pergi begitu saja meninggalkan Lois.
***
"Aku tidak tahu, Et. Kurasa warnanya terlalu terang untukku," ujar Kacia, memutar-mutar tubuhnya yang sudah dibalut dress santai warna oranye menyala, mengamati pantulan cermin di kamar pas itu.
Etria mengamati Kacia dari atas ke bawah. "Hmmm .... Mungkin memang harus warna yang lebih kalem. Ini."
Etria pun menyodorkan dress sejenis dengan warna biru dengan sedikit motif bunga, dipadu jaket dengan warna yang lebih gelap. Kacia pun mulai menanggalkan dress kuning yang sedang dicobanya itu.
"Setelah ini, kita cari pakaian dalam yang kira-kira sesuai dengan selera Rava," celetuk Etria saat Kacia sudah melepaskan dress itu dan hanya mengenakan mengenakan baju dalam.
Wajah Kacia serta-merta berubah menjadi merah padam. "B-buat apa memangnya?"
Kedua alis Etria terangkat. "Memangnya kamu tidak mau menunjukkannya kepada Rava?"
"T-tentu tidak! Buat apa!?" gerutu Kacia, merebut dress yang dipegang Etria.
"Hmmm .... Padahal, Robin berkata, kalau orang berpacaran, maka si wanitanya akan menunjukkan pakaian dalamnya."
"Itu omong kosong! Aku tidak pernah mendengar yang seperti itu di budaya bumi!" dengus Kacia, mulai mencoba dress selanjutnya.
"Aah, sepertinya itu lebih cocok denganmu. Pasti Rava akan senang melihatnya ...." Etria tercekat, tanpa sadar air matanya turun. Ia pun buru-buru menyekanya. "Eh? Kenapa aku begini?"
Kacia tercenung memandangi rekannya itu. Wajahnya diselimuti sendu. "Maafkan aku, kamu mencintainya juga, kan?"
Etria makin tak mampu membendung air matanya yang turun makin deras. "T-tidak, aku tidak .... Aah, melihat kalian bisa bersama saja bagiku sudah cukup, Kacia. Kalau kamu senang, aku juga ikut senang."
Serta-merta, Kacia pun memeluk tubuh Etria. Etria pun menyerah, tak lagi menahan tangisnya. Air matanya terus menetes membasahi punggung Kacia.
***
"Mau bidadari, mau manusia, yang namanya cewek itu ternyata sama aja. Bakalan lama kalo shopping-shopping." Janu menguap begitu panjang dan lebar, kemudian melirik Rava yang tetap saja senyam-senyum memandang Kacia dari kejauhan. "Huh, orang kasmaran ya begini, nih. Kadang kayak orang gila."
Tak mendengar ucapan Janu itu, Rava melambaikan tangan kepada Kacia yang menoleh ke arahnya. Kacia pun membalas lambaian itu, walau dengan gerakan malu-malu.
Sambil menenteng sebuah tas kertas, ibu Rava yang baru datang pun sedikit terkekeh melihat kelakuan putranya yang duduk di kursi panjang itu. "Ibu senang, kamu kelihatannya jadi lebih ceria, Rav."
Rava cuma cengegesan. Mendengar nada pesan chat yang masuk, Rava pun mengecek ponselnya. Ia heran karena yang mengiriminya pesan adalah Etria. Begitu membuka pesan itu, Rava langsung berjengit hebat, buru-buru mengunci ponselnya kembali.
Etria mengirimkan foto Kacia yang sedang ganti baju, jelas diambil secara sembunyi-sembunyi. Muka Rava pun memerah dan irama degup jantungnya merangkak naik. Ini pasti ulah Lois yang menyuruh Etria. Tidak mungkin Etria berinisiatif seperti itu.