132. Ajakan
132. Ajakan
"Jadi, bagaimana hubungan kamu dengan Kacia, Rav? Apa kamu sudah menyatakan perasaanmu?" tanya Etria yang sedang mendapat giliran menjaga Rava siang itu. Etria tampak sibuk menggarap boneka Kacianya dan tidak menatap sang tuan.
Rava terbatuk-batuk hebat. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak yang begitu menohok.
"Mir, tolong bukain tirainya, dong!" seru Janu dari dipan sebelah.
Sret! Tirai itu pun dibuka dengan cepat oleh Mireon.
"Apa gara-gara elu gerah Kacia dijodohin sama ibu-ibu yang sering datang ke pasar kuliner itu, jadinya elu nembak Kacia?" tanya Janu dengan menaik-naikkan kedua alisnya. Ia pun menggigit pisangnya dengan gerakan yang tidak wajar. "Kacia ngomong apa?" Janu melanjutkan.
Rava merasa terjebak. Kalau membantah, dia tak yakin ekspresinya meyakinkan. Kalau mengiyakan, dia merasa hal seperti itu tidak pantas diceritakan, hanya akan membuatnya salah tingkah. Maka dari itu, dia memilih melanjutkan makannya.
"Hmmm .... Kayaknya emang elu udah nembak Kacia." Janu manggut-manggut sambil mencibir.
Tak menjawab, Rava mempercepat kegiatan makannya.
Etria memberikan simpul jahitan terakhir di bonekanya, mengamat-ngamatinya sejenak, baru berkata, "Aku tahu, Kacia bilang tidak akan pernah tinggal di Bumi. Dia masih punya keluarga di dunia asalnya. Kamu juga tidak mungkin pergi ke dunianya."
Jantung Rava bak disundut sesuatu yang panas. Ia pun menurunkan sendoknya dan menundukkan kepala. Ia seperti baru saja diingatkan dengan sebuah mimpi buruk.
"Ups." Janu meringis, terlihat bersimpati.
Etria yang tidak sadar baru saja menyakiti hati Rava pun kembali memeriksa bonekanya.
"Dulu, kekasihku sudah tahu bahwa dirinya cepat atau lambat akan ditangkap. Dia tidak bersedih atau meratap. Dia justru menghabiskan waktunya denganku lebih banyak. Katanya, dia ingin membuat kenangan yang manis sebanyak-banyaknya denganku," rentet Mireon dengan nada luar biasa datar.
Rava, Janu, dan Etria cuma bisa melongo. Mereka tak ada yang menduga kalau Mireon bisa berbicara sebanyak itu, tentang masalah percintaan pula.
"Oh, iya. Robin dulu juga pernah bilang gitu, kan?" celetuk Janu.
"Aah!" tiba-tiba Etria bangkit, berlari keluar sambil membawa bonekanya. Janu dan Rava pun jadi saling pandang melihat kelakukan Etria yang mendadak itu. Dan, seperti biasa, Mireon bertingkah seperti patung.
Tak berapa lama kemudian, Etria masuk sambil mendorong Kacia yang memeluk boneka berwujud dirinya sendiri itu. Wajahnya sedikit merona merah. Ia masih tak mau menatap Rava.
Etria pun mendudukkan bidadari yang cuma bisa melongo itu ke kursi.
"Dadah! Semoga sukses, Rava!" Etria pun melambaikan tangan ceria, kembali berlari ke luar ruangan perawatan.
Mireon pun menutup tirai pemisah antara dipan Rava dan Janu.
Rava dan Kacia pun sama-sama membuang muka. Kacia terlihat sendu dan matanya sedikit berkaca. Rava cuma bisa menggaruk rambutnya, mengutuk Etria yang menjerumuskannya ke dalam situasi yang tidak mengenakkan ini.
"Anu .... Itu bonekanya dari Etria bagus banget. Mirip sama kamu," celetuk Rava kaku, langsung mengumpat dalam hati. Jelas-jelas wajah itu cuma terdiri dari kancing baju untuk mata, serta mulut dan hidung yang terbuat dari potongan kain. Tentu sangat tidak mirip Kacia. Hanya rambut dan pakaiannya saja yang mirip, itupun dalam versi yang sederhana.
"Iya, dia terampil sekali," lirih Kacia.
"Aku nggak menduga dia bisa bikin begituan."
"Arggghhh!!! Dasar Rava!" Janu sudah akan bangkit dari tempat tidur, tetapi mulutnya keburu ditutup oleh tangan Mireon. Terjadilah pergumulan karena Mireon juga menahan tubuh tuannya itu.
Rava dan Kacia cuma bisa melongo saat melihat siluet dua orang yang seperti melakukan hal tidak senonoh. Puncaknya, siluet Mireon terlihat seperti naik ke tubuh Janu, membuat sang tuan tak melawan lagi.
Rava menarik napas luar biasa panjang, menaruh nampan makannya ke atas lemari kecil di dekat tempat tidur, kemudian membaringkan kepalanya ke bantal.
"Apakah kita tetap akan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, Kacia?" tanya Rava dengan suara pelan, tidak mau Janu dan Mireon mendengar.
Kacia memejamkan matanya erat-erat. "Memangnya, kita harus melakukan apa?"
"Aku juga nggak tahu kita harus gimana. Tapi, kalau keadaannya seperti ini terus, aku juga tersiksa Kacia ...." Rava nyaris mengatakan kalau dirinya ingin melihat senyum Kacia lagi, tetapi kerongkongannya seolah tersumbat.
Akhirnya, satu tetes cairan bening turun dari mata Kacia. "Melihat wajah kamu, aku seperti diingatkan bahwa nantinya aku akan berpisah dengan kamu, Rava. Aku .... Aku ...."
Kacia memejam semakin erat, jelas sekali menahan tangisnya. Namun, satu dua air matanya berhasil lolos dan turun ke pipi.
Rava tak rela Kacia menderita seperti itu. Hati Kacia terlalu lembut untuk merasakan sakit. Namun, Rava sadar diri, penyebab rasa sakit itu tak lain adalah dirinya sendiri. Kalau Kacia tak menaruh rasa padanya, maka semua ini tak akan terjadi. Kacia masih bisa tersenyum lepas.
"Bagaimana kalau masalah perpisahan itu kita pikirkan nanti saja. Kita fokus ke sekarang. Sekarang, kita masih bisa bersama, Kacia. Maka, nikmati saja kebersamaan kita ini," desah Rava. Dirinya sendiri tidak tahu mengapa mulutnya bisa mengucapkan hal seperti itu.
Kacia membuka matanya, akhirnya menatap sang tuan. "Kamu berkata seolah hal itu sangat mudah untuk dilakukan."
Rava kembali menghela napas panjang. "Kita nggak tahu apakah itu berat dilakukan atau nggak. Kita kan belum mencobanya."
Kacia kembali membuang mukanya. Tangannya memain-mainkan boneka pemberian dari Etria. Matanya seolah menerawang jauh.
"Ada tempat yang ingin kamu kunjungi, Kacia?" tanya Rava.
"Eh?" Kacia sedikit tersentak, jelas sekali tidak siap dengan pertanyaan yang mendadak itu. Cukup lama berpikir, akhirnya dia berkata pelan, sedikit menyembunyikan wajahnya dengan boneka. "Stasiun."
Mendengar jawaban yang tidak terduga itu, Rava pun melongo. Wajah Kacia pun memerah saat mendapati ekspresi tuannya. Bidadari bertubuh mungil itu pun tersenyum masam. "Sudah kuduga, keinginanku aneh."
"Sama sekali nggak, Kacia!" Rava buru-buru menggeleng-gelengkan kepala. Namun, hal itu langsung menambah kadar peningnya. Ia pun meringis dan memegangi kepalanya itu.
"Kamu tidak apa-apa, Rava?" tanya Kacia, langsung memeriksa tuannya itu.
Rava pun tersenyum karena Kacia kini berada cukup dekat dengan dirinya. "Kenapa kamu ingin ke stasiun, Kacia?"
Menyadari jaraknya dengan Rava tinggal beberapa senti, Kacia pun mundur, kembali membuang muka, semakin erat memeluk bonekanya. "A-aku ingin melihat kereta. Kereta itu menurutku bentuknya unik. Di duniaku tidak ada yang seperti itu."
Senyum di bibir Rava pun melebar. "Oke, kalau udah sembuh, kita ke stasiun kalau gitu!"
"Eh?" Kacia menatap tuannya lagi, tetapi hanya sebentar, sebelum menunduk dengan muka merona merah. "Baiklah .... Stasiun kalau begitu."
Rava sampai sedikit tertawa karena melihat ekspresi Kacia yang menurutnya imut.
***
Marcel manggut-manggut saat menerima sebuah panggilan telepon. Beberapa detik berjalan mondar-mandir, akhirnya dia menurunkan ponselnya itu.
"Penyadap yang dipasang di kamar Rava itu berhasil. Mereka dapat kabar, setelah keluar dari rumah sakit, Rava bakal ngajak Kacia ke stasiun," terang Marcel kepada Ione yang duduk di sebuah sofa.
Setiap kemunculan monster, pasti ada probabilitas kalau para tuan juga cedera. Barangkali kemungkinannya kecil. Namun, seperti Stefan, Marcel kali ini juga berpikir jauh ke depan. Dengan koneksinya, dia menyebar orang ke berbagai rumah sakit. Tugas mereka adalah menemukan Rava dan para bidadari.
Ione yang sedari tadi menunduk pun akhirnya mengangkat wajahnya. Pandangannya kini semakin tajam, tetapi tidak ada lagi pancaran kehidupan dari matanya.
"Stasiun kalau begitu," desisnya.