125. Paksaan
125. Paksaan
"Aiden, ayo kita lakukan lagi ...," pinta Zita dengan nada memohon. "Ahnnn ...."
Aiden yang sedang mengemudi pun terkekeh pelan. "Kamu sangat menyukainya, ya? Sayangnya, aku tidak bisa melakukannya terus-menerus kepadamu. Nanti kalau ada pertarungan, kamu jadi tidak maksimal."
Zita menarik bagian bawah bibirnya. Ekspresinya jadi seperti anak kecil yang sedih karena kehabisan permen. "Uhmmm ...."
"Lagipula, aku juga tidak bisa melakukan hal itu sepuas-puasnya kalau denganmu."
Wajah Zita makin memberengut. "Maka dari itu, kamu ingin mendatangi Medora?"
"Yah, kemungkinannya sangat kecil dia masih ada di rumahnya, sih. Dia pasti sudah diberitahu yang lain setelah aku membuat Bagas dan istrinya jadi lebih indah."
Menyerah, Zita pun menghela napas begitu panjang. "Tapi, aku masih tidak percaya Stefan mau memberikan informasi penting seperti itu, seperti rumah persembunyian Dini dan tempat tinggal Medora. Penyiksaanmu itu, selain indah, ternyata berguna juga! Ahahahaha!!!"
"Siapa pun akan hancur kalau aku melakukan proses itu." Aiden tersenyum bangga. "Tapi, harus kuakui tekadnya masih sangat kuat. Sampai akhir, dia tidak mau membocorkan markas besarnya. Itulah yang membuatnya semakin pantas untuk kujadikan karya seni."
Zita tersenyum begitu lebar sampai semua gigi-giginya terlihat. Namun, senyuman itu sama sekali tidak singkron dengan matanya yang melotot lebar. Tak ada lagi desahan yang keluar dari mulutnya. Ekspresi tak senonohnya sudah lenyap tanpa bekas.
"Aah, aku sebenarnya juga penasaran dengan apa yang akan kamu lakukan kepada Medora. Pastinya, kamu akan melakukannya dengan lebih menarik daripada denganku. Kamu bisa bebas melakukannya sesuka hatimu," ucap Zita, kemudian tertawa begitu keras. "Ahahahaha!!!"
Aiden hanya tersenyum miring, kemudian membelokkan mobil yang dikendarainya ke sebuah gang yang agak sempit. Beberapa meter melaju, mobil itu pun berhenti di sebuah rumah mungil yang cat pintunya sudah pudar.
Keduanya pun turun. Aiden mengetuk pintu rumah tersebut. Tak berapa lama, pintu itu pun dibukakan oleh seorang pria berkumis dengan rambut sedikit mengembang. Mata pria itu tidak fokus dan mulutnya menguarkan bau alkohol yang menyengat. Berdirinya juga tidak tegak, nyaris limbung.
"Ada apa?" tanya pria itu dengan suara tidak jelas.
Aiden tetap memajang senyum ramahnya. "Medora ada, Pak?"
"Haaa? Ada hubungan apa elu-elu pada sama cewek j*lang itu?" cela pria itu, menunjuk kepada Aiden dan Zita secara bergantian. Wajahnya terlihat sangat tidak ramah. "Dia itu p*d*fil. Dia tinggal di sini, pura-puranya ngurus anak gue. Eh, sekarang anak gue malah dibawa pergi! Alasannya gara-gara mungkin dia sama keluarga gue diincer atau apalah! Padahal, gue tahu, dia itu mau gituin anak gue!"
Aiden dan Zita pun bertukar pandang.
Si tuan rumah sedikit menelengkan kepalanya. Matanya menyipit. Ia pun mendekati Aiden dan mengamati pria itu dengan saksama. Aiden sendiri sama sekali tak terpengaruh.
"Kayaknya gue pernah ngelihat muka elu. Di mana, ya?"
***
Suara bus yang datang dan pergi pun terdengar sesekali, diselingi dengan teriakan para kondektur yang berusaha menarik penumpang. Medora yang mencangklong ransel besar pun mendudukkan Gilang ke kursi kayu panjang di sebuah warung nasi, kemudian memesan kepada sang penjual, seorang wanita gemuk yang dikucir sekedarnya. Wanita itu dengan sigap mengambilkan pesanan Medora: sepiring nasi dengan lauk ayam goreng.
"Gilang," panggil Medora, mendekati tuannya yang menunduk murung. "Makan dulu ya sebelum pergi. Dari tadi kamu belum makan, kan? Nanti kamu lemes di bus. Ibu suapin, deh."
Bocah cilik itu menggeleng pelan saat satu sendok nasi mendekati mulutnya. "Kenapa sih, Bapak nggak ikut kita, Bu?"
Emosi Medora sebenarnya sudah begitu menggelegak. Dia sudah mendengar pertanyaan itu untuk kesekian kalinya hari ini. Namun, dia mati-matian menahan diri dan mempertahankan senyum teduhnya. "Karena ada penjahat yang mungkin datang ke rumah, makanya kita harus pergi. Tapi, bapak kamu malah nggak mau pergi."
"Kalau gitu, kita di rumah aja Bu kalo gitu! Nggak usah pergi-pergi!" Gilang mengangkat wajahnya. Mata bocah cilik itu mulai berkaca-kaca. "Ibu pasti bisa ngalahin orang jahat itu! Ibu kan hebat!"
"Kalau ibu yakin bisa ngalahin orang jahat itu, ibu nggak akan pergi." Medora melebarkan senyumnya, mengusap lembut kepala tuannya tersebut.
Setelah mendapat penjelasan dari Herman yang datang ke rumah, Medora tahu semuanya akan kacau. Tadinya, ia mau berlindung kepada Rava dan kawan-kawan. Namun, ada kemungkinan kalau Lois akan menyerangnya bila dia bergabung. Belum lagi Lyra yang jelas akan berpihak kepada Lois. Tak ada Ione yang akan mencegah mereka. Ione yang paling getol meminta para bidadari untuk tidak akan membunuh.
Maka, Medora pun memilih pergi ke luar kota terlebih dahulu, menunggu suasana aman. Dia sebenarnya ingin segera pergi begitu mendengar kabar itu, tetapi Gilang menolak mentah-mentah kalau bapaknya tidak ikut. Medora pun terpaksa menculik si bocah cilik.
"Kalau Bu Dor nggak yakin bisa ngalahin penjahat itu, gimana sama bapak!?" Mendadak, Gilang pun berteriak, bangkit dari kursinya. "Pokoknya, aku mau pulang! Aku mau pulang!"
Plakkk! Medora yang sudah sangat tidak tahan pun menampar pipi bocah cilik itu. Perhatian orang-orang pun langsung tertuju kepada mereka. Akan tetapi, tidak ada yang berani menegur atau menasihati. Mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Medora mendorong pundak Gilang ke bawah. "Duduk."
Gilang tak kuasa menahan tenaga Medora. Dia pun terpaksa duduk, kembali menunduk dalam-dalam dan mulai menghapusi air matanya dengan telapak tangan.
"Ibu udah terlalu sabar ngadepin kamu, Lang." Medora memang tidak membentak, tetapi nada bicaranya begitu tajam menusuk. "Setiap kamu rewel dan menyusahkan, Ibu selalu menahan diri. Tapi, kesabaran ibu juga ada batasnya, Lang."
Ya, apa yang terjadi sekarang adalah kulminasi dari semua kejengkelan Medora sejak dulu.
"Ibu ini ingin menyelamatkan nyawa kamu dari penjahat. Kamu seharusnya mengerti. Ibu udah membujuk ayah kamu buat ikut, tapi dia tidak mau. Terus, Ibu harus bagaimana?" Medora pun mendorong piring nasi di hadapannya dengan kasar. "Sekarang, kamu makan. Ibu juga yang susah kalau kamu pingsan kelaparan di perjalanan. Makan sendiri. Kamu sudah besar."
Medora bersedekap, membuang mukanya dari sang tuan. Gilang pun mulai menangis sesenggukan. Wajahnya kini memerah. Awalnya Medora berusaha tidak peduli. Namun, anehnya dia justru merasakan hal-hal yang sebelumnya dia pikir tak mungkin terjadi. Mengapa dirinya juga ingin menangis saat melihat Gilang seperti itu? Mengapa ada rasa bersalah di hatinya? Mengapa dia ingin memeluk Gilang dan menenangkan hati anak itu?
Medora mengusap wajahnya, menghela napas dan menjulurkan tangannya. Ya, dia tak bisa menahan lagi untuk melakukan sesuatu kepada Gilang. "Aah, Ibu minta maaf, Gilang."
Namun, Gilang justru menampik tangan bidadarinya itu.
"Maaf, kalau aku mengganggu kalian."
Medora menunduk ke asal suara Piv itu, yakni di dekat kakinya. Benar saja, Medora menemukan sosok kecil bertanduk itu di sana.
"Ada monster," kata Piv lugas.
Tadinya, Medora mau menolak dan memilih untuk tetap melarikan diri. Namun, dia segera sadar kalau momen ini bisa memperbaiki hubungannya dengan Gilang. Gilang mungkin akan sedikit melunak kalau melihat dirinya yang berlagak seperti pembasmi kejahatan sejati, sesuai dengan bayangan tuannya itu.