120. Kepuasan
120. Kepuasan
Tersenyum puas, Aiden mengedarkan pandangan. Bangunan sederhana bercat warni-warni itu cukup besar. Jendelanya ada banyak. Tanda kalau kamarnya juga banyak.
Aiden mendekati spanduk yang dipajang di pelataran panti asuhan itu, memandangi foto-foto anak yang tersenyum ceria. "Di sini, kamu pasti akan dirawat dengan baik, Erin."
Ia meninggalkan panti asuhan tersebut begitu saja, melewati jalur paving yang kanan kirinya dihiasi rangkaian pot berbunga indah. Begitu keluar dari area panti asuhan, ia memasuki sebuah mobil hitam yang diparkir di pinggir jalan. Mobil yang jelas sekali diambil tanpa persetujuan pemiliknya.
"Aku kecewa denganmu, Aiden," dengus Zita yang duduk di kursi depan mobil itu. "Kukira, kamu akan membawa-bawa anak itu untuk melakukan sesuatu yang menarik padanya. Tapi, kamu malah menaruhnya di tempat seperti ini. Jangan bilang kalau kamu itu mencintai anak kecil!"
Aiden yang baru duduk di kursi kemudi pun tertawa. "Aku memikirkan hal ini sejak masuk penjara. Bagaimana kalau aku nantinya aku punya tabungan?"
"Haah?" Zita mengerutkan keningnya sambil memajang wajah sinis. "Jangan berputar-putar, cepat jelaskan arti perbuatanmu itu!"
"Apa kamu tidak penasaran? Apa yang dirasakan anak itu setelah kedua orangtuanya kubuat lebih indah? Tentu saja bukan ketertarikan. Dia sama seperti yang lain, tidak mengerti seni tertinggi." Mulut Aiden merentangkan senyum penuh arti. "Marah, sedih, dendam. Aku tidak sabar dirinya tumbuh besar. Apa yang akan dilakukannya nanti? Sekedar mencariku? Menjadi polisi untuk mengejarku? Atau yang lainnya? Aku tidak tahu Zita. Kemungkinannya tidak terbatas."
"Ahahahaha!!!" Zita tertawa sambil memegangi keningnya. "Betapa bodohnya aku, tidak mengerti tujuanmu! Aku yakin, dia akan tumbuh menjadi orang yang menarik! Aah, sayang sekali aku tidak bisa melihatnya! Nantinya, aku harus pulang kembali ke duniaku!"
Aiden menghidupkan mobil yang mereka tumpangi, mulai mengemudikannya. Keningnya sedikit berkerut. "Memangnya, siapa yang mengharuskan?"
"Hmmm .... Kalau menjadi ratu, aku membawahi satu negara! Lahan bermainku sangat luas! Ahahahaha!"
"Aah." Aiden berdecak kecewa. "Pasti akan menarik sekali. Tapi, aku belum puas dengan duniaku ini. Masih banyak yang ingin kulakukan di sini."
Zita mengusap-ngusap dagunya, tampak berpikir. "Sebagai ratu, kewenanganku nyaris tidak terbatas. Membuatmu bolak-balik dari bumi ke duniaku dan sebaliknya mungkin akan mudah buatku. Oh iya, aku juga bisa ke bumi sesuka hati untuk melihat karyamu! Ahahahahaha!!!"
Aiden pun ikut tertawa. "Wah, kalau begitu aku jadi tambah semangat membantumu menjadi ratu."
Zita menguap, kemudian meregangkan tubuhnya. Sudut matanya sedikit dihiasi cairan bening.
"Apakah hari ini cuma sampai di sini saja, Aiden? Aku masih belum puas. Kamu tidak ingin membuat karya lagi?"
Bukannya langsung menjawab, Aiden justru bersenandung. Zita kembali mendengus dibuatnya. Aiden pun terkekeh melihat kelakuan bidadarinya itu.
"Aku suka melihatmu yang marah begitu," ledek Aiden.
Urat-urat wajah Zita mulai menegang. "Jangan membuatku lebih marah dari ini, atau kamu akan menyesal. Kamu memang membuatku senang, tapi bukan berarti aku tidak bisa melakukan sesuatu kepadamu."
Nada ancaman dari mulut Zita itu samasekali tak mempengaruhi Aiden. Pria itu tetap mengemudi dengan santai. Kedua alis Zita pun menaut melihat perilaku tuannya.
"Kan, di bagasi aku membawa alat-alat yang biasa kugunakan untuk berkarya," terang Aiden, menunjuk ke belakang dengan jempolnya. "Tapi, kali ini aku tidak akan membuat karya yang biasa .... Bisa dibilang, ini bukan karya yang sebenarnya. Yah, semoga kamu menyukainya, bidadariku."
Raut penasaran di wajah Zita pun makin kentara.
***
Kedua tangan ZIta diikat terentang dengan tali yang tersambung ke dinding. Kepalanya menunduk dan tubuhnya terkulai seperti kehilangan energi. Sepasang suami-istri dan anaknya perempuannya yang masih remaja terduduk di lantai, tangan mereka diikat erat, mulut mereka disumpal. Tubuh ketiganya tampak bergetar hebat. Melihat tubuh Zita yang telanjang bulat, mereka membelalak.
Bekas lebam dan sabetan. Torehan-torehan benda tajam yang mengucurkan darah merah. Jarum-jarum besar yang ditusukkan ke kulit, kemudian dikeluarkan ke sisi kulit lain, seperti posisi dalam menjahit. Bahkan ada juga bekas gigitan manusia. Semua itu menghiasi hampir keseluruhan tubuh ZIta.
Bagaimana bisa perempuan itu masih hidup? Apakah mereka akan menjadi korban selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala para anggota keluarga yang disekap, yang sedari tadi melihat penyiksaan yang dilakukan Aiden.
Di sisi lain ruangan dapur luas nan mewah itu, Aiden tengah membolak-balik tongkat logam pendek di atas kompor. Mulutnya sedikit bersenandung dan wajahnya begitu tenang. Seolah-olah, dia sedang memasak seperti biasa, tidak ada pemandangan yang mengerikan di belakangnya.
Aiden mengangkat tongkat logam yang ujungnya membara merah itu, kemudian menghampiri Zita. Pria itu pun mengangkat muka bidadarinya tersebut. Bukannya terlihat kesakitan, Zita malah tampak sedang merasakan gairah tak terkira. Air matanya turun setetes demi setetes, bola matanya sedikit memutar ke belakang, wajahnya yang dihiasi lebam bekas pukulan pun terlihat sangat merona, serta mulutnya yang tersenyum itu sedikit membuka dan mengalirkan air liur.
"Sudah kuduga, kamu menikmati semua ini, kan?" Aiden menunjukkan bara api di tongkat logam yang dipegangnya kepada ZIta.
Zita pun membelalak, tampak ketakutan. Kepalanya menggeleng-geleng, memberi isyarat agar Aiden menjauhkan bara api itu darinya.
"Huh, masih pura-pura, padahal jelas-jelas kamu menikmatinya. Kamu sebenarnya bisa melepaskan diri sedari tadi, kan?" bisik Aiden di telinga Zita, terdengar seperti orang yang sedang merayu.
Cessss!
"Aaaarggggghhhhhh!!!" Zita melonjak saat Aiden menempelkan bara api itu ke pinggangnya, mencetakkan luka bakar berwarna kehitaman. Tak peduli, Aiden terus melakukannya ke beberapa bagian tubuh Zita. Dari mulai paha, dada, ketiak, pantat, sampai punggungnya.
Air mata Zita turun makin deras. Namun, pada akhirnya dia mendesah nikmat. "Ahnnn .... Ahnnn .... Kamu itu yang terbaik, Aidenku."
Tiga anggota keluarga yang disekap di dekat situ cuma bisa menunduk dalam-dalam. Raut teror di wajah mereka semakin jelas terlihat.
Memajang senyum miring, Aiden melepaskan celananya. Kemudian mengangkat kedua paha Zita, memaksa bidadarinya itu mengangkang.
"Ahnnn ...." Baru sekadar gesekan dari milik Aiden, tetapi Zita sudah mendesah lagi.
Aiden pun menggerakkan pinggul Zita maju dan mundur, menghujam-hujamkan miliknya dengan begitu brutal. Alih-alih mendesah, Zita malah melenguh seperti binatang. Matanya semakin memutar ke belakang dan air liurnya sampai menetes-netes.
"Uuuggghhh .... Aku tidak kuat lagi, Aiden .... Uuuggghhhh .... Milikmu, besar sekali .... I-ni terlalu dalam .... Uuuggghhh ...."
Zita sudah akan mencapai puncak, tetapi Aiden malah mendorong bidadarinya itu. Zita pun memandangi sang tuan dengan air mata berlinang, jelas sekali kecewa. "Kenapa?"
Tak menjawab, Aiden mengambil tongkat besi yang masih membara itu dari lantai, membakarnya lagi di atas kompor untuk beberapa saat, kemudian kembali kepada Zita. Pria itu pun berjongkok di hadapan sang bidadari. Zita cuma bisa memandangi tuannya itu dengan mulut melongo dan mata kuyu nyaris tertutup.
Aiden pun mengarahkan bagian membara dari tongkat besi di tangannya ke bagian kewanitaan Zita. Sang bidadari pun kembali membelalakkan matanya.