A Song of the Angels' Souls

118. Pergi



118. Pergi

"Tapi, sebelumnya." William berbalik untuk menghadap Herman. "Saya harap, Anda tidak melakukan hal yang tidak diperlukan, Pak Herman."     

Sang ajudan memberikan senyum tipis. "Maaf, tapi saya sudah melakukannya."     

Marcel langsung menoleh kepada pria dengan rambut penuh uban itu, sementara Ione tidak mengubah posenya sama sekali.     

"Maksud Anda apa, Pak?" Sedikit mengangkat alis, William pun mendatangi Herman.     

"Peristiwa seperti ini memang bisa terjadi, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Saya tahu hubungan Ione dan mas Stefan itu sangatlah dekat. Ione benar-benar mencintai mas Stefan. Ione ...."     

Herman membisu begitu kerah bajunya ditarik Marcel. Pria tua itu tak memberi respon saat Marcel menyeringai di mukanya.     

"Itu hasil pemikiran Stefan kan, Pak?" tanya Ione, akhirnya bangkit berdiri. "Terkadang, dia memang berpikir terlalu jauh. Dia berpikir, kalau dirinya tewas, aku mungkin saja akan berusaha memenangkan pemilihan ratu ini untuk menghidupkannya."     

Herman melebarkan senyumnya, meski matanya kini berkaca-kaca. "Begitulah, dia memikirkan semuanya, sampai kepada hal yang probabilitasnya sangat kecil sekalipun. Tapi, yah .... Tidak semuanya bisa diprediksi oleh mas Stefan, seperti kedatangan A.G .... Ah, maaf."     

Marcel menarik Herman agar mendekatinya. Urat-urat di leher Marcel kini terlihat menonjol. "Katakan di mana mereka sekarang!"     

"Maaf, saya tidak akan pernah mengatakannya, Mas Marcel. Saya sudah bersumpah kepada mas Stefan. Saya tidak ingin mengkhianati perintah mas Stefan. Kalaupun sampai disiksa, saya tidak akan mengatakannya," jawab Herman, kali ini bersuara dan berwajah tegas. "Asal kalian tahu saja, mereka bersikeras untuk mendatangi pemakaman ini demi penghormatan terakhir. Itu menunjukkan kalau mereka orang baik. Mereka tidak pantas mati."     

"Sudahlah Marcel. Tidak ada gunanya." William menurunkan tangan Marcel. Marcel pun cuma bisa mendengus. William lalu berjalan menjauh dan membelakangi Herman. "Saya sangat menghargai kesetiaan Anda kepada anak saya, Pak Herman. Sungguh. Anda adalah ajudan yang luar biasa. Stefan pasti bangga punya ajudan seperti Anda.     

"Terimakasih banyak atas sanjungannya, Tuan." Bibir Herman mulai bergetar.     

"Saya tidak akan menggunakan ancaman atau kekerasan untuk memaksa Anda bicara. Ini karena jasa Anda yang begitu besar. Kalaupun kami melakukan hal itu, saya rasa Anda tidak akan membocorkannya."     

Herman memberi hormat dengan membungkukan badannya. "Sekali lagi, terimakasih, Tuan William."     

"Tapi, mulai sekarang Anda bukan bagian dari keluarga kami lagi. Sangat disayangkan memang. Kalau kondisinya tidak begini, saya pasti tetap mempertahankan Anda," desah William, mengusap wajahnya. "Sekarang, lebih baik Anda pergi saja. Anda tidak punya kepentingan apa pun lagi di sini."     

"Baiklah." Senyum Herman pun mengembang kembali. "Kalau begitu, saya pamit dulu."     

Derap pelan pun terdengar saat akhirnya Herman berjalan menjauh. Begitu Herman tak terlihat lagi, Ione membalikkan badannya untuk menatap William dan Marcel.     

"Tenang saja, aku akan menemukan mereka," ujarnya dengan nada sedingin es. Ekspresinya berubah menjadi begitu tajam. Namun, pandangannya justru kosong seperti orang mati. "Cepat atau lambat."     

***     

Rava dan ibunya, beserta lima bidadari duduk di sebuah mobil yang telah disiapkan Herman. Sedari tadi berangkat dari pemakaman, mereka terus saja membisu, membuat suasana menjadi begitu berat dan tak nyaman.     

"Saya tidak mengira kalau ibu Sinta bisa mengemudi," celetuk Lois yang duduk di baris kedua bersama Lyra dan Kacia. Dari nada bicaranya, jelas sekali Lois ingin memecah keheningan. "Mungkin kapan-kapan saya bisa minta diajari."     

"Iya, dari dulu sebenarnya Ibu udah bisa nyetir. Ayahnya Rava juga dulu punya mobil, walaupun model lama. Kalau belanja ibu kadang pake itu," jelas ibu Rava, sedikit terkekeh.     

"Apa benar Ione akan mengejar kita?" ucap Kacia tiba-tiba, memandang ke jendela dengan ekspresi sendu. "Dia itu yang selalu bilang tidak ingin membunuh bidadari lain, kan? Apa dia sanggup membunuh kita?"     

Rava yang duduk di depan pun bisa merasakan tengkuknya bagai disiram air dingin. Tak ada yang menduga kalau Kacia yang berhati lembut bisa mengajukan pertanyaan sekelam itu.     

Lois menarik napas begitu panjang. "Menurutku, dia bisa melakukannya."     

"Karena rasa cintanya yang begitu besar?" celetuk Etria, melongok dari kursi paling belakang.     

"Itu juga, tetapi ada satu hal lagi. Aku mendapat info dari Varya tentang siapa sebenarnya Ione itu." Ione menelan ludah dan memejamkan matanya, mengumpulkan tekad untuk bercerita lebih lanjut. "Dia itu sejak kecil dibesarkan di kamp pelatihan rahasia pemerintah. Dia itu dibentuk untuk membunuh, untuk membasmi orang-orang yang dianggap terlalu berbahaya."     

Lagi-lagi, Rava merasakan dingin di tengkuknya. Yang lain pun, termasuk ibu Rava, tampak tercengang hebat. Kecuali Lyra, yang justru memejamkan mata dan melipat tangan di dada.     

"Aku pernah mendengarnya. Kukira itu cuma desas-desus. Kalau perkataan Lois benar, berarti pemerintah kita memang sangat busuk," ujar Lyra, penuh dengan penekanan.     

"Aku tidak percaya!" sergah Kacia, nada bicaranya sedikit meninggi. "Ione itu sangat baik! Selalu memikirkan kita! Dia tidak mungkin membunuh!"     

"Dia adalah salah satu pembunuh yang terbaik," lanjut Lois, seperti tidak menghiraukan ucapan Kacia. "Selama di bumi, dia menekan kekuatannya. Dia tidak pernah bertarung seratus persen. Pihak atas juga membatasi kemampuannya. Sebenarnya, dia tidak perlu meniup seruling untuk membuat selubung energi pelindung dan membekukan makhluk hidup."     

Lyra sedikit mendesah. "Ah, kalau tidak perlu repot-repot meniup seruling, kemampuannya itu akan sangat efektif untuk digunakan. Bisa dibilang mengerikan malah. Dengan satu kemampuan pembeku, dia sudah bisa membasmi banyak orang dalam waktu singkat."     

"Varya sendiri yang bilang ...," Lois kembali menelan ludah. Tangannya mulai bergetar hebat. "... kalau Ione bertarung seratus persen, bahkan Varya sekalipun akan bisa dikalahkan."     

Suasana di dalam mobil itu kembali diselimuti keheningan. Atmosfer yang berat itu juga telah datang kembali. Bunyi yang terdengar hanyalah deru halus mobil yang melaju, diiringi suara kendaraan lain yang lewat.     

"Dan satu lagi. Siapa pun yang melihatnya saat membunuh, walaupun orang itu bukan sasaran, Ione tetap akan membunuhnya. Itu demi menjaga kerahasiaan misi pemerintah. Jadi, yang tahu tentang dirinya pun hanya sedikit," tukas Lois pelan.     

***     

Dengan jaket merah khas salah satu jasa kurir, Aiden berjalan ke sebuah rumah dengan menenteng satu kotak plastik besar berwarna putih. Begitu mengetuk pintu ruang itu, seorang wanita bertubuh kurus menyambutnya.     

"Bu Dini? Ada paket, Bu," ucap Aiden sebelum Dini sempat bertanya.     

Aiden menaruh kotak yang dibawanya ke pelataran, kemudian membukanya. Hanya sedetik setelahnya, Dini pun menutupi mulutnya, mundur sambil menggeleng-gelengkan kepala, sebelum akhirnya jatuh terduduk. Air matanya pun mulai turun.     

Ada kepala Bagas di kotak itu. Dengan potongan-potongan tubuh yang ditata sedemikian rupa.     

"Haiii, Diniii!!!" TIba-tiba Zita meloncat dari belakang punggung Aiden. Tersenyum ceria, bidadari itu berkata, "Aku sangat merindukanmu, loh."     

Dini sudah akan berteriak, tetapi Aiden keburu membungkamnya dengan tangan. Hanya dengan menempelkan telunjuknya di bibir, Aiden berhasil membuat wanita itu tidak jadi berontak.     

"Maaah! Mamaaah!" Suara anak Dini pun terdengar dari dalam rumah.     

Air mata Dini turun semakin banyak. Zita pun memajang senyum mengerikannya.     

"Saya akan membuat Anda dan suami Anda menjadi lebih indah, Nyonya," bisik Aiden di telinga Dini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.