116. Kemelut 3
116. Kemelut 3
"Tak mengetahui di mana kekasihmu, juga tidak tahu keadaannya. Rasanya memang begitu berat," lirih Mireon dengan nada datar. Seperti biasa, ekspresinya juga nyaris datar.
"Kamu tahu apa," desis Ione sinis.
"Aku tahu sekali, Ione. Aku tahu rasanya. Aku adalah tunangan dari Adonis Speriades."
Serta-merta Ione mengangkat wajahnya, tampak tercengang. "Ilmuwan yang meneliti tentang penciptaan makhluk hidup itu?"
"Kamu tahu, kan? Dia itu menghilang. Aku mendapat info bahwa dirinya disekap pemerintah karena penelitiannya yang kontroversial. Tujuanku menjadi ratu adalah membebaskannya," ungkap Mireon, duduk di sebelah Ione, tetapi matanya memandang lurus ke depan.
"Ternyata kamu bisa berbicara panjang juga," desah Ione, mengusap wajahnya. "Begitu, ya? Kamu juga tidak tahu kabar kekasihmu. Tapi, kalau kamu bercerita seperti itu untuk menenangkanku atau memberikan semangat kepadaku, kamu melakukannya dengan sangat buruk."
"Maaf. Aku tidak tahu harus melakukan apa."
"Yah, tapi aku hargai usahamu. Kamu tidak berkewajiban berbuat apa-apa sebenarnya. Tuanmu saja yang sinting. Kamu tidak akan bisa mencegahnya. Mataku yang terlatih saja tidak bisa memergoki dia menculik Stefan." Ione menyandarkan punggungnya, memandangi jalanan yang begitu sepi. "Sekarang, kita cuma bisa menunggu informasi lebih lanjut. Percuma juga berputar-putar mencari .... Ah, bagaimana kalau kamu bercerita tentang dirimu? Anggap saja untuk menghabiskan waktu. Aku penasaran, kenapa kamu tidak ada di radarku dengan kemampuan seperti itu?"
"Ada semacam eksperimen."
Ione menunggu lanjutan cerita dari Mireon. Namun, karena Mireon tak kunjung berbicara lagi, Ione mendesah lagi dan berkata, "Bagimu, satu kalimat itu cukup? Aah, tapi aku sudah bisa menebak-nebak, sih. Kamu ikut eksperimen pemerintah dengan kode 14-25X2/19-14-24-18, atau biasa disebut eksperimen peningkatan potensi, kan? Kamu ditawari ikut pemilihan, tetapi dengan syarat harus mengikuti eksperimen itu?"
"Aku saja tidak hapal kodenya." Lagi-lagi Mireon menjawab pendek.
"Agak susah ya berbicara denganmu," decak Ione, mulai kesal. "Baiklah, kusimpulkan saja kamu memang ikut eksperimen itu dan menjadi subyek yang berhasil. Mereka menginjeksi otakmu dengan kemampuan bertarung, juga membentuk ototmu secara instar agar siap digunakan untuk baku hantam. Aku tidak pernah mendengar ada subyek yang berhasil di eksperimen itu. Aku cuma tahu, kalaupun berhasil, subyeknya harus membayar harga yang mahal, kan? Rentang usia hidupnya akan berkurang jauh, kan? Benar begitu?"
"Benar. Hidupku cuma tinggal beberapa tahun."
Ione tertawa getir. "Ternyata kamu sudah terlalu dimabuk cinta seperti Stefan. Asal kamu tahu saja, Stefan itu mengorbankan penglihatannya agar aku dibawa oleh Piv ke dunia asal untuk dipulihkan. Waktu itu, nyawaku benar-benar sudah di ujung tanduk."
Mireon hanya menatap Ione sejenak, tentunya dengan ekspresi nyaris datarnya, kemudian menghadap ke depan lagi.
"Argh!" Ione menepok jidatnya karena respon Mireon yang super dingin itu. "Terserah, deh! Aku jadi merasa berbicara kepada patung."
Ione mendapat pesan di ponselnya. Begitu membaca pesan itu, bidadari itu pun bangkit. "Kita diberi tahu lokasi yang mungkin digunakan Aiden untuk menyembunyikan Stefan. Anak buah pak William tidak ada yang berani menghadapi Aiden, jadi kita yang diminta menggrebeknya."
Dengan mulut yang masih tertutup rapat, Mireon pun ikut bangkit.
***
Hanya Ione saja yang mendatangi bangunan pabrik mangkrak itu dari depan, sedangkan yang lain mendekati dari arah-arah berbedar. Orang-orang suruhan William hanya menanti di kejauhan. Kalau terlalu banyak yang datang, bisa-bisa Aiden tahu. Aiden memang manusia, tetapi dia manusia yang bahkan bisa mengelabui bidadari. Bisa saja orang gila itu punya insting yang tajam.
Kalau terlalu ceroboh, nyawa Stefan taruhannya.
Bidadari itu berjalan rendah di antara ilalang-ilalang yang tinggi, mengendap pelan, mengawasi bangunan besar berwarna putih kusam yang dihiasi cerobong asap tinggi itu. Mobil kecil bewarna kuning memang terparkir di depan bekas pabrik tersebut. Namun, selain itu, Ione tidak menemukan tanda-tanda keberadaan orang lagi.
Begitu sampai di depan pintu bangunan, Ione menempelkan telinganya. Dia masih tidak bisa mendengar apa-apa. Alih-alih membuka pintu itu, ia malah melompat ke jendela besar yang ada di sana. Jendela yang letaknya tinggi itu sudah hancur dan hanya menyisakan kusen, sehingga Ione bisa masuk dengan mudah.
Ione berjongkok di jendela itu, mengamati bagian dalam bangunan dengan mata menyipit. Hanya ada hamparan lantai beton dan sampah yang berserakan. Selebihnya tak ada apa pun lagi. Paling cuma bau amis sampah yang samar-samar hinggap di hidungnya.
Gedung itu kosong melompong.
Ione melompat turun, berjalan sambil mengedarkan pandangannya. Kali ini dia tidak mengendap lagi, melainkan berjalan seperti bisa. Mulutnya terus mengeluarkan decak frustasi. Dia baru saja mendapatkan harapan. Sekarang, harapannya itu runtuh berkeping-keping.
Melihat satu benda putih berbentuk segiempat pipih di tengah ruangan yang ukurannya nyaris seluas lapangan bola itu, Ione mempercepat langkahnya. Benda itu sangat mencolok di antara sampah-sampah plastik dan daun yang berserakan.
Itu adalah komputer tablet yang tidak dinyalakan.
Begitu menyadari bangunan beratap seng itu ternyata kosong, Rava dan para bidadari yang baru masuk pun datang mendekat. Mereka berkumpul di sekitar Ione, yang tengah menyalakan komputer tablet tersebut.
Layar tablet itu menampilkan logo perusahaan pembuatnya, kemudian memunculkan tampilan yang nyaris polos, hanya diisi oleh jam dan satu aplikasi video call. Mengerutkan kening, Ione pun memencet ikon aplikasi itu. Hanya ada satu nomor yang disimpan.
"Coba saja dihubungi," celetuk Lois.
Hanya butuh waktu beberapa detik sampai panggilan video itu tersambung. Sekarang, tablet itu menampilkan wajah Aiden.
"Hei b*j*ngan, beritahu di mana Stefan!" hardik ione penuh emosi.
"Aku tahu, dengan sumberdaya keluarga Wiryawan, kalian bisa menemukan tempat itu. Yah, sayang sekali itu bukan tempat persembunyianku yang sebenarnya." Aiden pun tersenyum.
"Aku akan berbicara dengan yang lain tentang ini," bisik Lois, lalu pergi dari sana, mendatangi orang-orang suruhan William.
"Tidak usah banyak omong!" Napas Ione mulai memberat. Wajahnya dihiasi ekspresi bengis. "Beritahu di mana Stefan sekarang juga! Atau aku akan mengulitimu!"
"Apakan Mireon ada di sana?" Bukannya menjawab, Aiden malah bertanya. Kemudian, wajah seorang wanita pun muncul di sampingnya. Semua yang menonton layar tablet itu pun tercekat hebat. Kecuali Mireon yang memposisikan dirinya untuk bisa terlihat oleh Aiden.
"Aah, kamu yang bernama Mireon?" Zita yang ada di dekat Aiden pun melambaikan tangannya dengan raut ceria. "Maaf, ya. Sudah merebut tuanmu."
Aiden pun menunjukkan tanda-tanda kemampuan Zita yang sudah terlukis di tangannya. Mireon pun sedikit membuka mulutnya dan membelalakkan mata, sementara yang lain tersentak hebat.
Degup jantung Rava melonjak drastis. Dia tidak bisa membayangkan sepak terjang duo psikopat itu.
"Woi, aku tanya, Stefan ada di mana!!!??" raung Ione di layar tablet itu.
"Iya, sebentar." Aiden tersenyum lebar sampai semua giginya kelihatan. Zita pun terkikik, padahal tidak ada yang lucu di sana. "Akan aku tunjukkan mahakaryaku yang terbaru. The son of a conglomerate!"
"Ahahahaha!!!" tawa mengerikan Zita pun terdengar.
Aiden mengarahkan kamera ponselnya ke salah satu sisi dinding di tempatnya berada.
Ione memelototi tablet itu dengan tangan bergetar luar biasa hebat. Lyra dan Kacia langsung mengalihkan pandangan. Etria terhuyung ke belakang sambil menutupi mulutnya. Rava malah sampai jatuh terduduk saking syoknya.