A Song of the Angels' Souls

115. Kemelut 2



115. Kemelut 2

PERINGATAN! MULAI CHAPTER INI DAN BEBERAPA CHAPTER SETELAHNYA AKAN ADA ADEGAN GORE!     

"Arrrggghhh!!! Sakiiit!!! Sakiiit!!! Hentikaaan!!! Aaaaaa!!!"     

Sedari tadi, Stefan terus mendengar suara-suara teriakan seperti itu. Entah sudah berapa orang yang berteriak-teriak seperti itu, Stefan tak lagi menghitungnya. Yang jelas, bau anyir darah sudah begitu menyengat hidungnya. Dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena diikat di sebuah kursi.     

"Huh? Kami masih saja tidak memberikan respon apa-apa?" tanya Aiden yang sedang memegang gergaji berlumur darah. Korban terakhirnya, seorang wanita telanjang yang digantung terbalik itu sudah tak berteriak. Bentuk bagian bawah tubuhnya sudah terlihat seperti bukan milik manusia lagi.     

Stefan hanya sedikit mengedik. Ekspresi di wajahnya sengaja dia buat sedatar mungkin. Kendati jantungnya seperti bisa meledak kapan saja, dia mati-matian bertahan. Dia tidak ingin memberikan kepuasan kepada manusia sinting itu.     

Dia hanya berharap semoga pertolongan cepat datang.     

"Sayang, matamu buta. Kalau melihat hasil karyaku ini, kamu pasti tidak akan begitu," desah Aiden yang bajunya begitu basah dengan darah, mengambil organ-organ tubuh dari korban terakhirnya.     

Stefan sama sekali tidak mau membayangkan bagaimana wujud 'karya' dari Aiden. Dia sudah pernah membacanya di artikel-artikel. Semuanya membuktikan kalau Aiden benar-benar tidak punya moral.     

Aiden menaruh jantung dan hati sang korban terakhir di 'instalasi seni' yang dia buat di lantai gudang itu. Organ-organ dari lima korbannya masih berlumur darah dan ukurannya berbeda-beda, sudah diatur sedemikian rupa untuk membuat sebuah pola. Namun, barangkali hanya Aiden saja yang tahu maknanya.     

Tersenyum puas, Aiden melepaskan sarung tangan karetnya, mendekatkan lampu portabel besar ke 'instalasi' itu, kemudian mengeluarkan ponsel. Dia pun mulai memotret karyanya itu dari berbagai sudut.     

"Sayang sekali, yang seperti ini tidak bisa diposting ke media sosial. Pasti langsung dihapus oleh moderator dan foto itu bisa digunakan sebagai petunjuk untuk melacak diriku," decak Aiden, memeriksa hasil fotonya di ponsel. "Padahal, aku ingin membagi keindahan ini ke dunia."     

"Kenapa?" tanya Stefan akhirnya, dengan bibir bergetar hebat. "Kenapa kamu begitu berbeda dengan manusia pada umumnya? Bagaimana bisa kamu melakukan hal seperti itu tanpa merasakan penyesalan sama sekali?"     

"Aku juga merasa heran, kenapa orang lain tidak berpikiran sepertiku?" jawab Aiden, meregangkan tubuhnya. "Manusia sebagai ciptaan Tuhan memang sudah indah dan aku meningkatkan keindahan itu berkali-kali lipat."     

Stefan tak mau bertanya lagi. Sampai kapan pun, dirinya tak akan mengerti.     

Mendadak, pintu gudang itu menjeblak terbuka. Seorang wanita dengan rambut oranye yang diikat dua pun masuk dengan didampingi seorang pria dengan rambut pendek agak klimis. Wanita yang tubuhnya begitu kotor seperti tidak pernah diurus itu pun membelalak saat menemukan karya Aiden. Sementara itu, lelaki yang mendampinginya terhenyak hebat, jatuh terduduk dan meringis ketakutan. Bahkan kedua ujung matanya sudah mulai mengalirkan cairan bening.     

"Selamat datang di pertunjukan seniku ini," sambut Aiden sambil tersenyum ramah.     

"Apakah kamu yang membuatnya?" tanya wanita itu sambil menutupi mulutnya, memandangi karya seni Aiden dengan tatapan haru. "Indah sekali ...."     

"Saya senang sekali Anda mengerti karya saya ini, Nona. Kebanyakan orang sangat membenci semua karya saya. Mereka tidak mengerti keindahan hakiki." Aiden mulai terdengar antusias.     

Stefan berkonsentrasi, berusaha mendeteksi pemilik suara wanita itu. Dia merasa pernah mendengarnya beberapa kali.     

"Kata Piv, kamu ini seorang tuan, kan? Mau tidak, jadi tuanku?" pinta wanita itu penuh harap. "Aah, namaku Zita."     

Serta-merta, Stefan membelalak, dia pun berontak keras sampai terjatuh bersama kursi yang didudukinya. "Jangan! Kalian nggak boleh bergabung!!!"     

"Hmmm ...." Aiden mengusap-usap dagunya, mengamati Zita dari atas ke bawah, tak memedulikan Stefan yang berteriak-teriak. "Apakah kamu bisa membuktikan kalau kamu cocok denganku? Jujur saja, aku mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan dengan bidadari sebelumnya."     

Zita menautkan jari-jemarinya, mendekati Aiden dengan mata berkaca dan wajah merona merah penuh gairah. "Tapi, aku tidak bisa membuat mahakarya indah sepertimu."     

Aiden terkekeh. "Tidak perlu membuat karya. Biarkan itu menjadi bagianku. Cukup tunjukkan kalau pemikiranmu satu frekuensi denganku."     

Stefan masih saja berteriak-teriak di lantai.     

"Kalau begitu, lepaskan kontrakku, Bagas." Zita pun menoleh kepada tuannya.     

Bagas yang masih terduduk di lantai pun tersentak, memandang bidadarinya. Perlu beberapa saat sampai dia benar-benar mengerti ucapan Zita. "B-benarkah itu? Kamu mau melepas kontrak denganku?"     

"Sudah, jangan banyak tanya." Zita memberikan senyum lebar dan mengangguk mantap. B     

agas pun buru-buru berdiri. Suara itu lebih terdengar seperti ancaman di telinganya. Kalau dia tidak melepas kontrak, maka keluarganya dalam bahaya.     

"Aku melepas kontrakmu, Zita," ujar Bagas dengan bibir bergetar.     

Tanda-tanda di tangan Bagas pun memancarkan cahaya terang. Kuning untuk tanda kemampuan asli milik Zita. Warna-warna berbeda untuk kemampuan yang diambil dari bidadari lain yang dibunuhnya. Tak berapa lama, cahaya-cahaya itu meredup. Terus meredup, sampai hilang total. Sekarang, lengan Bagas pun bersih tanpa tanda lagi.     

Mendadak, Zita memegangi kepala mantan tuannya itu.     

"Uwaaaaaa!!!" Bagas berteriak kesakitan. Dia terpaksa berlutut. Tangannya berusaha melepaskan tangan Zita.     

Bidadari sinting itu sedang berusaha memasukkan jarinya ke sudut mata Bagas.     

Mendengar teriakan Bagas yang makin keras, Stefan tak bisa bersuara lagi. Ia cuma terdiam dengan mulut menganga, tak bisa membayangkan kalau dua orang psikopat itu menjadi satu.     

***     

"Daniel sudah mewawancarai pemilik mobil yang dicuri di dekat tempat pertarungan Mireon dan Ione," terang Jane, berkutat dengan laptop di pangkuannya. Dia berkerja dari ruang tengah rumah kontrakan Rava, sementara Daniel yang turun ke lapangan. "Untungnya, mobil itu dipasangi GPS. Jadi, kita bisa melacaknya. Waktu baru mencuri mobil itu, A.G tidak sempat melepaskan GPS-nya. Dia baru melepas GPS-nya setelah sudah cukup jauh."     

Jane menunjukkan peta yang terpampang di layar laptopnya kepada William. Sambil menunjuk salah satu titik, dia pun melanjutkan penjelasannya. "Daniel sudah memerintahkan beberapa orang untuk mencari dari titik terakhir kalinya GPS itu bisa dilacak. Kemudian, pencarian itu meluas ke berbagai arah."     

William sedikit mengangkat bahu. "Akan kutambah orangnya kalau begitu."     

Ibu Rava pun datang sambil membawa nampan berisi sepiring pisang goreng dan dua gelas teh hangat.     

"Maaf, cuma ada makanan sederhana seperti ini." Tanpa menunjukkan kecanggungan sama sekali, ibu Rava menaruh makanan dan minuman itu ke meja.     

"Wah, tidak usah repot-repot, Bu. Maaf sudah membuat rumah ini jadi semacam pusat operasi. Terlalu makan waktu kalau saya harus balik dulu." William memaksakan senyum di bibirnya. Sementara itu, Jane terkesan tidak peduli dan malah kembali berkutat dengan laptopnya. "Oh ya, lebih baik ibu minta anak ibu dan bidadari-bidadari itu kembali saja dulu. Nanti saya pesankan sarapan. Kasihan, mereka tidak tidur kan setelah ditanya-tanya oleh Daniel dan Jane? Masalah mencari Stefan, itu bisa dilakukan lagi nanti setelah beristirahat."     

Ibu Rava menyunggingkan senyum ramahnya. "Ternyata pak William ini baik, ya. Beda dengan kesan yang terlihat di publik."     

William hanya tersenyum kembali. Ibu Rava pun berpamitan, berjanji akan menghubungi Rava, kemudian pergi dari situ.     

Begitu ibu Rava tak kelihatan, William mendapat pesan dari seseorang yang sudah lama tak menghubunginya. Marcel mengirimkan dokumen tentang analisis tempat-tempat yang biasa digunakan Aiden untuk membuat 'karya seni.' Tempat-tempat itu harus memiliki lahan yang cukup luas agar Aiden leluasa berkarya, jauh dari rumah penduduk supaya tak mengundang orang-orang yang penasaran dengan bau tak sedap yang muncul, dan masih ada beberapa lagi kriteria lainnya.     

Marcel mengirim dokumen itu tanpa dilengkapi kata pengantar sedikit pun. Setelah William mengirimkan ucapan terimakasih sekedarnya, ia berkata kepada Jane, "Aku kirimkan data yang mungkin berguna."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.