A Song of the Angels' Souls

111. Langkah ke Depan



111. Langkah ke Depan

Janu berlari sekencang-kencangnya di sebuah gang sempit, sesekali menengok ke belakang. Gara-gara para bidadari sialan itu, dia harus kabur dari tempat kerjanya di pasar kuliner.     

Tiba-tiba saja, Etria mendarat di hadapan Janu. Janu terpaksa mengerem larinya, nyaris tersandung kakinya sendiri.     

"Tolonglah, Jamu! Aku mohon! Kembalilah menjadi tuan! Biar beban Rava tidak terlalu berat!" pinta Etria dengan suara keras, menautkan jari-jemarinya, memajang wajah memelas. "Ya!? Ya!? Yaaa!?"     

Janu mundur karena Etria mendatanginya dengan pandangan agresif.     

"Udah gue bilang! Gue nggak mau jadi tuan lagi! Temen-temen gue mati sama Zita! Gue nggak mau berhubungan lagi sama bidadari!" sergah Janu dengan napas yang nyaris habis. "Dan nama gue itu bukan Jamu, tapi Janu!"     

"Paling tidak, bisakah kamu memikirkannya terlebih dahulu?" lirih Kacia yang entah sejak kapan sudah ada di belakang pemuda itu.     

"Apa kamu tidak ingin menjadi pahlawan?" tanya Lyra yang juga tiba-tiba muncul, sudah berdiri di atas pagar beton sebuah rumah. "Apa hatimu tidak tergerak, melihat betapa banyaknya bencana yang disebabkan para monster?"     

Janu melepas topinya, mengacak-ngacak rambutnya, begitu frustasi. "Sekali nggak, tetep nggak. Lagian, kenapa sih kalau Rava nambah bidadari satu lagi? Menurut gue, dia cukup kompeten nge-handle bidadari segitu banyak. Kalian yang sering bertarung bareng dia. Seharusnya kalian tahu kemampuannya."     

"Kamu baru beberapa kali melihat Rava mendampingi kami dalam bertarung, bisa-bisanya kamu membuat kesimpulan seperti itu," serang Lyra, melipat tangan di dada.     

Janu menunduk. Urat-urat di lehernya sudah begitu menonjol     

"Setan! B*j*ngan! Br*ngs*k! B*ngs*t! Anj*ng! J*nc*k! B*bi! Ng*nt*t! T*i! As*!" umpatnya tanpa ampun, memandangi wajah para bidadari satu-persatu. "Kunyuk!"     

"Tarik napas dulu, Jamu." Etria berusaha menenangkan, tetapi Janu malah menyeringai.     

"Gue ini bukan bukan prajurit yang rela mati kayak kalian! Masih banyak yang gue pengen lakuin! Nikah, nonton UFC langsung di luar negeri, bangun rumah, bikin usaha clothing, punya anak dua!" serbu Janu begitu kencang, seolah mengeluarkan semua udara dari paru-parunya. "Dan semua itu bisa gue dapetin tanpa perlu ikut tawuran sinting kayak kalian! Gue bisa berusaha buat ngedapetin semua itu!"     

Kacia mendekati pemuda itu, memajang wajah penuh permohonan. "Tapi, apa kamu benar-benar tidak memikirkan ...."     

"K**********!!!" pekik Janu di depan bidadari mungil itu, mengucapkan kata paling kasar di antara kata kasar lainnya. Kemudian, pemuda itu pergi begitu saja dengan sangat bersungut-sungut. Etria sudah akan mengejar, tetapi keburu dihadang Lyra.     

"Aku rasa, kita harus menghormati pilihannya," ucap Lyra pelan.     

***     

Sambil bersiul pelan, Lois mendorong kursi roda yang diduduki Rava, menyusuri jalanan beton dengan hamparan rumput di kanan-kiri. Sesekali dia menyinggingkan senyum tipis kepada siapa saya yang memperhatikannya di sore itu. Seperti biasa, wanita berwujud bule seperti dirinya akan menarik perhatian lebih.     

Karena belum terlalu mengenal Lois, Rava jadi merasa lebih canggung. Tidak mau terus merasakan hal yang membuatnya kurang nyaman itu, Rava pun membuka pembicaraan, "Kamu tidak ikut menjenguk Marcel, Lois?"     

Marcel memang kini dirawat di rumah sakit yang juga ditempati Rava.     

"Aah, kamu sudah mau berbicara denganku. Sepertinya kamu sudah tidak marah denganku lagi." Lois sedikit tertawa.     

Perbuatan Lois dan Lyra yang mau membunuh Medora di depan mata Gilang memang masih dianggap salah oleh Rava. Namun, menurut pemuda itu, marah berlarut-larut juga tidak ada gunanya. Belum tentu dia bisa mengubah pandangan mereka.     

Lois sedikit mendesah. "Bagaimana ya mengatakannya .... Hmmm .... Aku belum sanggup saja melihat dia yang seperti itu .... Bukan berarti aku ada rasa atau bagaimana, ya."     

Mendengar nada bicara Lois yang biasa, bukan gugup dan membantah, Rava langsung percaya dengan omongan sang bidadari. Lois tidak menaruh rasa kepada Marcel.     

"Ngomong-ngomong, aku mengajakmu ke sini bukan untuk sekedar jalan-jalan saja," ujar Lois, membelokkan kursi roda Rava untuk mendekati sebuah kursi panjang. "Seperti kamu, aku juga pernah merasakan posisi di antara hidup-mati."     

Degup jantung Rava sedikit melonjak. Benar juga, mungkin bidadari lainnya juga begitu, bukan Lois saja. Mereka pernah ada dalam posisi itu.     

"Bagaimana caramu untuk bisa melewati semua itu, Lois?" tanya Rava lirih.     

Lois duduk di kursi panjang, mengamati wajah Rava sejenak. "Jawab aku, kamu ingin membasmi monster atau tidak? Kamu ingin menghentikan Aiden dan Zita atau tidak?"     

Sempat tercenung, akhirnya Rava mengangguk pelan. Pada akhirnya, tujuannya masih bertahan dengan para bidadari adalah demi menyelamatkan orang-orang.     

"Maka, fokuslah dengan tujuanmu itu," tutup Lois, tersenyum penuh arti.     

Obrolan itu memang singkat, tetapi sudah cukup untuk membuat Rava merenung dalam-dalam.     

"Nah, sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan yang lebih penting." Lois melebarkan senyumnya. Terkikik nakal. "Jadi, sebenarnya kamu ini mau memilih Lyra, Kacia, Etria, atau malah aku?"     

Lagi-lagi degup jantung Rava melonjak. Wajahnya mulai dihiasi rona merah.     

"Atau kamu menginginkan semuanya, seperti kata Stefan!?" bisik Lois di telinga Rava. "Kamu ini serakah, ya? Aku sih tidak masalah menjadi haremmu, Rava. Kan, nantinya juga aku akan bersama Lyra juga kalau kita serumah."     

Wajah Rava makin dihiasi rona merah. Otaknya jadi tidak bisa berfungsi dengan baik.     

Lois tertawa geli. "Becanda, kok."     

***     

Duduk di sebuah kursi berkerangka logam, Stefan terus saja membisu. Kakaknya yang berbaring di ranjang perawatan juga diam seribu bahasa, hanya memandang kosong langit-langit kamar. Meski tidak bisa melihat, Stefan tahu kalau kakaknya semakin kurus saja karena sulit sekali makan. Dia diberitahu oleh perawat dan dokter yang mengurusi Marcel.     

Bahkan ketika seorang perawat datang untuk mengganti tabung infus, kakak beradik itu tetap saja diselimuti sunyi.     

"Tadinya aku mau berbasa-basi, ngajak Kakak ngobrol ngalor-ngidul biar Kakak terpicu untuk paling nggak ngomong ke aku." Stefan tertawa getir. "Tapi, aku rasa itu nggak akan ada gunanya. Jadi, aku bakal langsung ke intinya aja."     

Tentu saja Marcel tidak memberi respon.     

"Aku nggak akan ngebiarin Kakak mati. Kita ini keluarga, Kak. Apa Kakak tidak berpikir? Pertarungan antar bidadari ini justru makin mendekatkan kita. Aku jadi tahu, sebenarnya kakak memperhatikan aku. Misalnya saja waktu aku ingin memberikan mataku untuk menyembuhkan Ione. Aku bisa merasakan luapan emosi Kakak. Aku bisa tahu, Kakak nggak ingin aku terjerumus," ungkap Stefan dengan nada dingin. "Intinya, Kakak ingin aku baik-baik saja, kan?"     

Stefan mengusap wajahnya, menarik napas dalam-dalam. "Di luar negeri, ada metode baru untuk penyembuhan penyakit Kakak. Metode itu sudah terbukti, tetapi baru satu kali. Karena menggunakan teknologi paling mutakhir dan alatnya baru ada satu di dunia, harganya pun jadi begitu mahal, bahkan untuk ukuran keluarga kita sekalipun. Tapi, aku nggak peduli, Kak. Aku rela menghabiskan seluruh uangku."     

Lagi-lagi, Marcel tak memberikan tanggapan apa pun, hanya melihat langit-langit kamar yang putih bersih.     

"Masalahnya adalah, aku tetap harus mendapatkan persetujuan Kakak untuk menjalankan metode itu. Ini berhubungan dengan kondisi Kakak, jadi Kakak sendiri yang harus memutuskan," lanjut Stefan. Suaranya mulai bergetar. Masih saja tak mendapat respon, dia pun mengacak rambutnya gusar. "Apa pun yang terjadi, Kakak ini masih keluargaku. Mana ada orang yang mau kehilangan keluarganya? Kalau nggak mau melakukannya untuk diri sendiri, lakukanlah untukku, adikmu sendiri."     

Akhirnya, mulut Marcel sedikit membuka. Sayangnya, Stefan tidak bisa melihat hal itu.     

Stefan bangkit dari kursi sambil menggenggam tongkat bantunya, kemudian berkata lirih, "Aku mohon, pertimbangkan tawaranku ini, Kak."     

Bunyi ketukan dari tongkat Stefan pun mulai terdengar. Pemuda itu mulai bertolak dari sana, menggunakan tongkatnya untuk meraba-raba. Sementara itu, kakaknya masih saja terdiam di atas kasur rumah sakit.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.