108. Monster Hitam
108. Monster Hitam
Pria itu terpaksa mengerem mobilnya keras-keras. Jalanan di depannya terhalang oleh truk yang terguling. Ia pun langsung keluar, memeriksa keadaan dengan waspada. Saat akan berbicara dengan Mireon, dia mendapati bidadari itu merayap keluar lewat pintu di kursi kemudi.
"Aah, kamu tidak tahu caranya membuka pintu mobil." Aiden tersenyum miring.
"Groooaaaaarrr!!!" Raungan monster pun terdengar dari balik truk itu.
Mireon mengaktifkan senjata dan baju tempurnya, langsung berjalan maju tanpa berkata apa-apa. Aiden pun mengangkat bahu, membuntut bidadarinya itu. Bau anyir memang menghujam hidung Aiden. Pemandangan mengerikan penuh darah dari manusia-manusia yang kecelakaan juga terlihat sejauh matanya memandang.
Akan tetapi, pria itu tidak terpengaruh sama sekali dan berjalan santai.
Mireon melompati truk itu, sementara Aiden mengambil jalan memutar. Raungan sang monster terdengar lagi. Aiden masih tak terpengaruh. Bahkan sekarang dia bersiul-siul.
"Wow, wow, wow ...." Begitu melewati truk, Aiden memandang takjub monster dengan wujud seperti dinosaurus bertaring dengan punggung yang dihiasi tentakel-tentakel panjang. "Kebetulan sekali dia berwarna hitam dan berbulu seperti bajumu, Mir."
Mireon pun melirik tuannya sejenak, kemudian berlari untuk menyerang monster yang ukurannya nyaris setinggi bangunan dua tingkat itu.
"Bahkan tidak mau melakukan rapat strategi dulu, eh?" Aiden mengelus kepalanya yang nyaris plontos.
Dengan ekspresinya yang tidak bersemangat itu, Mireon melompat, langsung mengayunkan kapaknya ke kepala sang monster. Mireon berhasil memberikan luka diagonal memanjang di dahi makhluk tersebut.
"Groooaaaaarrr!!!" Monster itu kehilangan keseimbangan.
Begitu mendarat di aspal, Mireon menghindari hujaman-hujaman tentakel dari sang monster. Tentakel-tentakel itu membuat aspal menjadi berlubang, atau menghancurkan apa pun yang dikenainya.
"Masih agak aneh melihat seorang warrior yang bertarung menggunakan gaun seperti itu. Tanpa armor pula," gumam Aiden, memerhatikan gerakan bidadarinya itu dengan seksama. Gerakan Mireon begitu lincah, membuat gaun yang dipakainya berkibar-kibar di udara.
"Mungkin, sekarang saatnya kamu mengaktifkan kekuatan Mireon?" celetuk Piv yang berdiri di atas kap mesin sebuah mobil.
Aiden mengamati tanda hitam di lengannya, mengangkat bahu, kemudian menyentuhnya. Tanda itu pun sedikit mengeluarkan asap hitam. Aiden pun sedikit mencibir dan manggut-manggut. "Menarik."
Sulur-sulur hitam keluar dari bagian bawah kapak, lalu menyambung ke bagian atasnya. Kemudian, dari tangan kirinya muncul asap hitam yang membentuk tongkat pendek. Tongkat itu juga memiliki sulur yang menyambung dari atas ke bawah.
"Itu .... Biola?" Aiden mengangkat kedua alisnya.
Ya, Mireon menempelkan ujung bagian atas kapaknya ke leher. Kapak itu benar-benar digunakan sebagai biola oleh Mireon.
"Hmmm ..... Pantas saja mata kapak itu lumayan unik bentuknya. Terlalu melengkung," gumam Aiden.
"Maka dari itu, pihak atas tertarik padanya. Senjata dan kemampuannya itu unik," timpal Piv.
"Ngiiik." Satu gesekan di senar, ujung bawah kapak itu pun meluncurkan semacam proyektil berkecepatan tinggi yang menghujam leher sang monster, seketika menimbulkan luka.
"Groooaaarrr!!!" Monster itu meraung keras, kembali menyerang Mireon dengan tentakelnya.
Mireon kembali mengelak, langsung menggesek kapaknya lagi. Satu proyektil kembali meluncur, kali ini telak mengenai mata kiri sang monster.
Bidadari itu terus menyerang dari jauh. Menghindar dan menembakkan proyektilnya. Sang monster tak bisa mengelak karena tubuhnya yang terlalu masif. Menangkis dengan tentakelnya pun, proyektil-proyektil itu masih bisa menembus dan melukainya.
Aiden menguap lebar. Mireon masih saya bertarung, walau kali ini sudah tidak menggunakan proyektil. Durasi kemampuannya telah habis. Meski begitu, serangan-serangan sebelumnya terbukti efektif. Gerakan si monster melambat karena sendi-sendinya terluka oleh proyektil. Dan karena mata kiri monster itu sudah tak bisa melihat, Mireon jadi punya kesempatan lebih besar. Bidadari itu bisa menyerang dari titik buta sang monster, mengincar kakinya.
"Aah, sayang sekali dia gagal melukai mata satunya." Aiden meregangkan tubuhnya, menguap lagi. "Kalau berhasil, pasti akan lebih maksimal."
Aiden tahu, pertarungan itu mungkin memang akan dimenangkan Mireon. Bidadari itu sudah di atas angin. Namun, dari pengamatannya, hal itu masih butuh waktu lama sampai benar-benar terjadi.
Sangat membosankan. Aiden tidak menduga kalau ternyata pertarungan melawan monster bukanlah seleranya.
Aiden pun memandang berkeliling, lantas mengampiri serpihan-serpihan kaca yang berserakan di dekat sebuah bangunan. Tak memedulikan tubuh manusia berlumur darah di dekat situ, ia melepaskan jaketnya, mulai memungut serpihan-serpihan kaca tersebut, memilih yang ukurannya cukup besar. Jaketnya ia gunakan sebagai wadah untuk serpihan-serpihan tersebut.
Sementara itu, Mireon masih saja bertarung, memberikan tebasan-tebasan ke kaki sang monster. Kalau monster itu rubuh, pekerjaannya akan jauh lebih mudah. Monster itu hanya akan berbaring di aspal dan menjadi sasaran yang sangat empuk. Kalaupun dia berdiri lagi, kakinya yang terluka tak akan bisa menopangnya terlalu lama.
Dengan napas yang mulai naik-turun, Mireon melompat mundur, menghindari hujaman tentakel si monster untuk kesekian kalinya.
Saat itulah, dia melihat Aiden di kejauhan, tengah melakukan sesuatu kepada seorang pria yang membeku di trotoar.
Untuk pertama kalinya, Mireon membelalakkan matanya. Ada beberapa serpihan kaca yang menyembul dari dada atas pria di trotoar itu. Darah merah pun merembes di kemeja putih yang dikenakannya. Namun, tentu saja pria itu tak merespon sama sekali.
Ya, Aiden-lah yang menancapkan serpihan-serpihan itu. Dia melakukan hal tersebut dengan santai. Seolah dirinya sedang bermain-main
"Aiden! Apa yang kamu lakukan .... Gahhh!" Lengah, Mireon tak sempat menghindari cambukan tentakel sang monster. Tubuhnya terlempar jauh, menghantam sebuah mobil dengan sangat keras. Alarm mobil itu pun langsung menyala meraung-raung.
"Kamu fokus saja melawan monster itu!!!" seru Aiden, kini menancapkan pecahan-pecahan kaca ke kaki seorang wanita. "Aku tidak menusuk ke organ vital, kok! Aku cuma mau bereksperimen! Aku ingin melihat ekspresi mereka ketika sudah sadar dan melihat diri mereka sendiri terluka."
Baru kali ini wajah Mireon menunjukan ekspresi. Kedua alisnya menaut. Pandangannya terhujam tajam kepada tuannya itu. Ia pun segera bangkit. Akan tetapi, baru saja akan menghampiri Aiden, dia harus menghindari serangan tentakel dari sang monster lagi.
Syut! Duarrr!!!
Satu anak panah meluncur, langsung meledak begitu mengenai kaki si monster. Monster itu pun tumbang dengan debam keras yang sampai menggetarkan bumi. Tak berapa lama, seorang bidadari mungil berbusana merah muda pun mendarat di samping Mireon.
"Namaku Kacia! Kita harus bekerjasama melawan monster itu! Aku juga sudah memanggil teman-temanku!"
Alih-alih menanggapi Kacia, Mireon malah memeriksa keadaan. Ia sudah tak melihat tuannya. Ia sempat berdecak, tetapi dalam waktu singkat ekspresinya kembali lagi seperti semula, seperti menunjukkan kalau dirinya sangat tidak bergairah.
"Aku Mireon. Bagaimana kalau kamu menghalangi tentakel-tentakel si monster dengan panahmu, sementara aku menyerang lehernya. Monster itu sangat sensitif dengan rasa sakit. Satu panahmu akan cukup untuk mengacaukan satu gerakannya," ujar Mireon cepat, memutuskan untuk tak memikirkan tuannya terlebih dahulu.
Kacia mengangguk, kemudian dirinya dan Mireon menghindari serangan tentakel dari si monster.