106. Tuan Tanpa Nama
106. Tuan Tanpa Nama
Satu sosok Piv tampak berjalan sempoyongan di lorong area mandi tersebut. Tak berapa lama kemudian, ia membuka mulutnya lebar-lebar, memuntahkan satu sosok wanita berkulit cerah dan berambut ikal sebahu.
Wanita itu bangkit dengan gerakan kaku. Setelah berhasil berdiri sepenuhnya, dia mengecek tubuh langsingnya yang telanjang bulat itu. Bukannya jijik dengan lendir-lendir di setiap senti kulitnya, wanita itu hanya membisu dengan kedua ujung bibir yang turun.
Piv-piv lain bermunculan, menguarkan cahaya dari tubuhnya untuk menerangi tempat itu. Awalnya si wanita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan, tetapi begitu merasakan geli di kakinya karena jilatan mereka, ia mulai menendangi Piv-piv tersebut.
Wanita itu menghalau para Piv yang mulai naik ke tubuhnya, kemudian berkata dengan nada datar nyaris tanpa energi, "Aku bisa melakukannya sendiri."
Para Piv itu akhirnya mundur. Si wanita memasuki salah satu bilik. Kemudian, dengan menggunakan gayung, ia menyirami tubuhnya dengan air. Tubuhnya langsung menggigil, tetapi ia terus melakukannya sampai lendir di tubuhnya benar-benar luruh. Seluruh tubuhnya, dari ujung rambut sampai ujung jari kaki pun basah kuyup.
Setelah selesai, ia celingukan, mengecek bilik-bilik lainnya dengan tubuh bergetar dan bibir pucat karena kedinginan, mencari kain atau apa pun yang bisa digunakannya untuk mengeringkan diri.
Wajahnya masih saja tak menunjukkan ekspresi yang jelas, hanya ada sedikit tanda kalau dirinya tampak tidak bersemangat. Dia sama sekali tidak terlihat sedang tersiksa karena dingin.
Menyerah, wanita itu pun berdiri di lorong untuk berkonsentrasi. Bukannya cahaya seperti bidadari-bidadari lainnya, yang muncul menyelimuti tubuhnya adalah gumpalan asap hitam. Asap hitam itu pun lama-lama bermaterialisasi menjadi busana yang juga berwarna hitam.
Sekarang, dia mengenakan semacam gaun penuh hiasan bulu-bulu dengan bahu terbuka, lengkap dengan hiasan rambut yang juga terbuat dari bulu. Bahkan di tahap ini pun, dia masih belum menunjukkan perubahan berarti di raut mukanya.
Salah satu sosok Piv naik ke pundaknya. "Kamu akan aku antar ke tempat tuanmu, Mireon. Lokasinya agak jauh dari sini. Kamu pasti penasaran mengapa kamu tidak sekalian saja dimunculkan di depan tuanmu itu, kan?"
Mireon mulai berjalan meninggalkan area mandi tersebut, sama sekali tak memedulikan omongan Piv.
Kendati demikian, Piv tetap melanjutkan penuturannya, "Kamu sengaja dimunculkan di tempat yang agak jauh agar tuanmu itu tidak terlalu kaget melihatmu."
Mireon terus berjalan, masih dengan tubuh basah yang menetes-neteskan air. Keluar dari area mandi, dia menyusuri lorong yang terkesan suram. Ia terus saja berjalan, mengikuti petunjuk Piv, sampai akhirnya tiba di gerbang berteralis besi yang dijaga sipir berseragam biru muda.
Wanita itu sempat memiringkan kepalanya untuk mengamati si penjaga lelaki bertubuh tegap itu.
"Bagaimana? Tidak jauh berbeda dengan penduduk dunia kita, kan?" celetuk Piv.
Lagi-lagi tak menanggapi, Mireon memunculkan senjatanya di tangan. Seperti tadi, tak ada cahaya yang muncul, tetapi gumpalan asap hitam yang bermaterialisasi. Hanya beberapa detik, dia sudah memegang kapak bermata dua dengan ukuran sedang. Plat besi yang membentuk bagian tajam biola itu terlihat melengkung.
Ia menghancurkan gembok gerbang tersebut dengan kapaknya, lantas masuk ke dalam area yang dipenuhi sel-sel berteralis besi. Semua penghuni sel-sel itu tengah tertidur, jelas tidak akan bangun karena kedatangan Mireon. Mereka semua telah dibekukan untuk sementara.
Mireon melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan sel-sel sempit di kanan dan kirinya itu.
Baru berjalan beberapa meter, dia dihadang beberapa sosok monster berbentuk manusia dengan tubuh penuh perban kusam. Sosok-sosok itu melihat Mireon dengan mata yang memerah.
"Kebetulan sekali ada monster di sini," ujar Piv, kemudian turun dari pundak Mireon. "Kamu benar-benar beruntung, Mireon."
Tanpa bertanya lebih lanjut, Mireon langsung berlari ke arah mereka. Para monster pun ikut maju untuk menerjang Mireon.
Mireon langsung membacok monster kepala pertama dan menendang perutnya sampai rubuh. Monster kedua tak bisa melawan begitu lehernya ditebas. Monster ketiga hampir menangkap tubuhnya, tetapi Mireon dengan sigap melompat dan memberikan tendangan dengan kedua kakinya. Monster itu terpental ke belakang, menabrak teman-temannya,
Mireon bangkit berdiri, berlari kencang. Saking cepatnya, ia bisa melalui teralis-teralis besi sel-sel yang ada di sana. Para monster yang tak menduga gerakan itu pun tidak bisa berbuat banyak ketika Mireon membacok mereka satu-persatu.
Hanya dalam waktu beberapa menit, monster-monster yang jumlah totalnya sekitar belasan itu pun tumbang. Luka-luka mereka bervariasi, ada yang di perut, leher, kepala, bahkan selangkangan. Semuanya mengeluarkan cairan hitam kental yang memenuhi lantai area itu.
Mireon mengibaskan kapaknya, membersihkan cairan hitam di senjatanya itu, lantas melanjutkan perjalanannya.
Bahkan dari mulai menyerang monster pertama sampai sekarang, Mireon masih juga belum menunjukkan ekspresi yang benar-benar kentara. Hanya ada sedikit raut yang menunjukkan kalau dirinya tidak berkenan berada di tempat tersebut. Itupun sangat tipis, harus diperhatikan dengan saksama untuk bisa melihatnya.
"Ternyata perkataan orang-orang itu benar, ekspresimu sama saja di setiap kondisi," ujar Piv, naik ke pundak Medora kembali. "Ada satu bidadari yang mirip denganmu. Hanya saja, ekspresinya tidak benar-benar datar seperti kamu. Dia terlihat galak."
Lagi-lagi Mireon tidak menanggapi makhluk kecil berbulu putih itu.
Setelah bejalan beberapa meter lagi, dia sampai di sebuah pintu besi solid berwarna abu-abu gelap yang dihiasi jendela kecil. Seperti tadi di pintu depan, ia menghancurkan gembok pintu itu dengan kapaknya. Begitu membuka pintu tersebut, dia disambut lorong lain dengan pintu besi sejenis di kanan-kiri.
"Paling ujung, sebelah kiri," ujar Piv.
Mireon menghampiri pintu yang dimaksud, kembali menghancurkan gemboknya dengan kapak.
"Siapa itu?" tanya pria yang ada di dalam ruangan isolasi tersebut. Bukannya terkejut atau ketakutan, pria itu terdengar tenang. Seolah-olah tidak ada kejadian aneh di situ.
Derit logam pun terdengar saat Mireon membuka pintu. Seorang narapidana berbaju oranye tengah duduk bersila di lantai ruangan yang luar biasa sempit. Mireon mengamati ruangan berdinding beton tanpa cat itu tanpa minat. Hanya ada bilik toilet kecil di sana, menemani narapidana yang mukanya seperti orang eropa, dengan hidung mancung dan mata hijau.
Narapidana berkulit putih dan berambut cepak nyaris plontos itu pun menyunggingkan senyum lebar. "Ada urusan apa Anda datang ke sini, wahai gadis bergaun hitam? Mungkinkah Anda ini dewa kematian yang akan mencabut nyawaku?"
Mengalihkan perhatiannya dari ruangan itu, Mireon memandang sang narapidana. Seperti sebelum-sebelumnya, ekspresi di wajah bidadari itu masih saja datar,
"Ah, di mana sopan santunku tidak mengenalkan diri terlebih dahulu." Sang narapidana pun bangkit. Dia terlihat jauh lebih tinggi dari Mireon. "Panggil saja aku Aiden."
Mireon mengamati tangan sang narapidana yang terjulur kepadanya sejenak, sebelum menatap wajah tuannya itu.
"Benarkah itu namamu?" Akhirnya, Mireon membuka mulutnya. Sama seperti saat kedatangannya tadi, cara bicaranya juga terdengar datar. "Bahkan waktu akan datang ke sini, aku tidak diberitahu namamu."