A Song of the Angels' Souls

149. Bidadari dan Tuannya 2



149. Bidadari dan Tuannya 2

"L-lyra, k-kamu mau ngapain?" Rava gelagapan dan merinding melihat tingkah tak biasa dari bidadarinya itu.     

Perlahan, Lyra berbalik. Kepalanya menunduk. Kakinya pun mulai bergerak menghampiri tuannya. Rava menelan ludah, mulai berjalan mundur, berusaha menghalau hal-hal aneh yang ada di pikirannya. Selama ini, dia memang terkadang berada dalam kondisi yang 'panas' dengan Lyra, tetapi semua itu tidak ada unsur kesengajaan. Mereka berdua tidak pernah meneruskannya ke tingkat yang lebih tinggi.     

Tengkuk Rava seperti dicengkeram tangan yang dingin. Tidak mungkin Lyra tiba-tiba melakukan perbuatan macam-macam padanya, kan?     

Bergerak sangat cepat, tahu-tahu Lyra sudah ada di hadapan tuannya. Rava yang tidak mengantisipasi hal tersebut cuma bisa mematung. Apalagi ketika bidadarinya itu memegangi kedua pipinya. Otak Rava makin tak bisa berpikir jernih.     

Lyra mengangkat wajahnya yang merona merah, menatap lekat-lekat wajah tuannya dengan mata sayu, kemudian mendesah pelan, "Anak manusia yang malang. Kamu sudah melalui banyak hal, ya?"     

Bidadari itu menarik kepala Rava. Hanya selang sedetik, bibirnya sudah menaut dengan bibir sang tuan.     

Merasakan hangat dan lembutnya bibir bidadari itu di bibirnya, Rava tak bisa berkutik. Seolah ada frekuensi dari bidadari itu yang membuat sendi-sendi di seluruh tubuhnya membeku.     

Lyra melepaskan kecupannya. Namun, Rava masih bisa merasakan bekas bibir bidadarinya. Pemuda itu memandangi wajah Lyra dengan ekspresi penuh tanya.     

"Rasanya tidak enak, kamu baru muntah, ya?" ceplos Lyra tiba-tiba, begitu dekat dengan muka tuannya itu.     

"Eh?" Seketika saja, ujung bibir Rava berkedut. Ia tak tahu kalau Lyra sedang serius atau tidak. Ekspresi Lyra, walau tidak tajam seperti biasanya, benar-benar tidak bisa dibaca oleh Rava. Mata sayu, rona merah, dan napas berat itu tak bisa Rava tebak artinya.     

Meski begitu, Lyra kembali memajukan wajahnya, menautkan bibirnya ke bibir sang tuan. Rava bisa merasakan bibir bidadarinya itu bergerak, makin menempel ke bibirnya.     

Saat itulah, bayangan Kacia justru melintas di kepala Rava. Serta-merta, Rava melepaskan diri dari Lyra. Namun, Lyra bersikeras, kembali mendekati pemuda itu dengan mata yang semakin sayu.     

"Cukup." Rava mengalihkan pandangannya, membuat Lyra berhenti dan mundur selangkah.     

"Kenapa?" desis Lyra dengan suara agak parau.     

Rava menghela napas, memberanikan diri untuk bertanya, "Kamu sebenarnya kesambet apa, sih? Aku baru pernah ngelihat kamu yang kayak gini .... Ah, ini pasti gara-gara Lois, kan? Dia itu pikirannya emang kadang aneh banget."     

Lyra ikut membuang muka. Pipinya makin merona dan kedua ujung bibirnya turun. "Lois memang menyuruhku ini dan itu ke aku, tapi kalau hatiku tidak ingin melakukan ini, aku tidak akan melakukannya, Rava. Dan percayalah, apa yang disarankan Lois itu jauh lebih gila daripada ini."     

Rava melongo, tak bisa memproses apa yang baru dikatakan bidadarinya itu. Jadi, Lyra benar-benar menaruh rasa padanya? Yang benar saja. Itu tidak mungkin. Tidak seperti Kacia, Lyra benar-benar ingin bertarung untuk menjadi ratu. Seharusnya, Lyra tidak memikirkan hal-hal seperti ini, kan?     

Tapi, kalau Lyra tak menaruh rasa padanya, buat apa ciuman tadi kalau begitu?     

"M-maksud k-kamu apa, Lyra?" tanya Rava, semakin gugup.     

Lyra menarik napas panjang, menaruh kedua tangannya ke dada, menatap tuannya itu kembali. "Aku baru pernah merasakan ini, Rava. Setiap hari, jantungku ini berdebar kalau melihatmu. Aku merasakan sakit kalau kamu bersama yang lain. Aku sudah berusaha menahan perasaan ini, tetapi pada akhirnya itu hanya membuat diriku semakin merasakan sakit. Lois hanyalah pemicu terakhirku melakukan ini."     

Energi di tubuh Rava seolah terkikis habis. Ia pun mengusap wajahnya, tak tahu bagaimana caranya menanggapi perasaan bidadarinya itu.     

Tak kunjung mendapat tanggapan bahkan sampai beberapa menit, Lyra pun bertanya pelan, "Kamu membenciku?"     

"Bukan begitu ...."     

"Kamu masih mengingat Kacia, kan?" potong Lyra dengan nada getir.     

Rava cuma bisa menunduk dalam diam. Ia tahu, apa pun yang keluar dari mulutnya hanya akan menambah luka di hati Lyra.     

"Aku rela memberikan tubuhku ini kepadamu, Rava" desah Lyra tiba-tiba, mulai menurunkan tali tank-topnya dengan perlahan.     

Rava buru-buru menahan tangan Lyra dan menggeleng-geleng keras.     

"Kenapa? Kenapa kamu menolakku?" Napas Lyra mulai memberat. Dadanya naik turun. "Aku hanya ingin membuktikan perasaanku kepadamu, tuanku."     

"Beneran, deh. Kamu kesambet apa, sih?" Rava mengomel gara-gara nada ucapan Lyra terdengar begitu menggoda, membuat jantungnya seperti akan meledak. "Bukan begini caranya .... Aah, ini pasti gara-gara Lois juga. Denger, kamu nggak perlu melakukan hal seperti ini untuk menunjukkan perasaan kamu kepada seseorang, Lyra. Bahkan aku dan Kacia tidak pernah melakukan yang seperti ini."     

Rava kaget sendiri mendengar kalimat terakhir itu keluar dari mulutnya.     

Lyra melongo. "Bukannya, setelah mengungkapkan perasaannya, seseorang akan melakukan hal seperti ini?"     

Rava kembali menggeleng keras, terus memegangi tangan Lyra yang masih dalam posisi menurunkan tali tank top.     

"Kalau segampang ini buat begituan, nanti makin banyak wanita yang dimanfaatin, dong?" kilah Rava cepat. Barangkali orang lain akan menerima tawaran Lyra. Siapa yang hasratnya tidak bergejolak kalau diajak melakukan hal seperti itu oleh wanita cantik dengan tubuh aduhai?     

Namun, Rava tidak bisa melakukannya. Moralnya berkata untuk tidak memanfaatkan keluguan Lyra hanya untuk kesenangan sesaat. Dirinya bukan pria bajingan.     

Lyra mematung untuk beberapa detik, kemudian menepis tangan Rava dari tangannya. Bidadari itu tiba-tiba melompat ke pojok ruangan, berjongkok menghadap tembok dan menutupi mukanya dengan kedua tangan.     

"A-aku tidak tahu hal seperti itu! A-aku cuma ingin menyampaikan perasaanku .... Aku juga mengira, dengan melakukan hal seperti itu, aku akan bisa menghiburmu!" racau Lyra dengan nada begitu cepat.     

"Eh, menghibur?" Rava mengedip-ngedipkan matanya.     

Lyra semakin menjejalkan dirinya ke sudut kamar. "Setelah semua yang terjadi, aku ingin melakukan sesuatu untukmu. Kamu pasti sangat tertekan, kan?"     

"Melakukan sesuatu untukku ...." Mendadak, tawa Rava pun pecah.     

Lyra mengangkat mukanya dan kembali menatap tuannya itu. "Kenapa kamu malah tertawa?"     

Melihat muka cemberut Lyra, Rava makin terbahak. "Terimakasih, aku mengapresiasi niat kamu ...."     

"Jadi, kamu mau melakukan itu denganku?" sela Lyra tiba-tiba.     

"Nggak!" bentak Rava, langsung menutupi mulutnya karena ucapannya itu terlalu keras. Bisa-bisanya yang lain terbangun. Ia pun menghela napas pelan, kemudian memajang senyum tipis. "Tidak perlu sampai sebegitunya, Lyra. Asal kamu sudah menunjukkan perhatian kamu kepadaku, kurasa itu sudah cukup. Itu sangat berarti buatku."     

Dengan muka yang masih merah dan mulut makin cemberut, Lyra bangkit berdiri. "Jadi ...."     

"Tapi, lucu juga ngelihat kamu yang biasanya kelihatan jutek setengah mati, ternyata bisa ngelakuin hal kayak gini." Rava kembali menggulirkan tawa. "Ngelihat sisi kamu yang lain begini, bisa dibilang refreshing banget buat aku."     

Lyra mendengus keras, menunjuk wajah tuannya itu. "Kuberi perhatian lebih, kamu malah meledekku!? Awas nanti, tunggu pembalasanku!"     

Bidadari itu berbalik dengan angkuh, buru-buru mendatangi pintu kamar.     

"Tapi, aku bener-bener berterimakasih, Lyra," ucap Rava lirih.     

Baru saja memegang kenop pintu, Lyra yang membelakangi Rava pun membeku. Bidadari itu ingin berbicara sesuatu, tetapi mulutnya seperti disegel erat. Akhirnya, dia memilih untuk tetap keluar dari kamar tanpa berkata-kata lagi.     

Lyra menutup pintu kamar tuannya itu dengan lumayan keras. Bukannya langsung kembali ke kamarnya, ia justru bersender di pintu itu dan sedikit mendongak. Ia merasa kalau beban berat sudah terangkat dari dadanya. Akhirnya, dia tak perlu berbohong pada diri sendiri.     

"Aah ...." Mulut bidadari itu mengeluarkan desisan lirih. Dirinya belum mendapat jawaban dari Rava atas perasaannya ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.