147. Ketiadaan
147. Ketiadaan
"Apa kamu tidak mau bertanya mengapa aku melakukan itu?" tanya Mireon lirih dan datar.
Butuh waktu beberapa saat sampai Janu membuka mulutnya. "Memangnya apa yang harus dijelaskan lagi? Intinya, kamu punya tujuan dan ingin mewujudkannya, kan?"
"Apa ini artinya kau setuju aku membunuh mereka."
Helaan napas pelan keluar dari mulut sang tuan. "Nggak, aku nggak setuju. Cuman, aku belum tahu bagaimana caranya nyegah kamu buat nggak ngelakuin hal itu."
Kesunyian itu pun kembali lagi, bahkan sampai memakan waktu beberapa menit.
"Barangkali, aku memang tidak cocok untuk membunuh," ucap Mireon lagi.
"Lalu, kenapa kamu tetap nekat melakukannya?"
Bukannya langsung menjawab, Mireon kembali terdiam. Sampai akhirnya, Janu mendengar isakan sekilas. Terkejut karena tidak menduga hal itu, Janu bangkit ke posisi duduk. Ia sempat tercenung, ragu untuk memeriksa bidadarinya itu atau tidak. Namun, akhirnya Janu sedikit melongok untuk melihat muka Mireon.
Wajah sang bidadari memang tidak menunjukkan ekspresi berarti, tetapi air matanya mengalir setetes demi setetes.
Janu menghadap ke arah lain, mengusap wajahnya. "Apa kamu lagi pengen sendiri, Mir?"
Tak kunjung mendapat jawaban dari Mireon, Janu berinisiatif untuk bangkit. "Aku keluar dulu kalau begitu. Aku nggak akan pergi jauh, kok. Masih di rumah."
Setelah berkata seperti itu, Janu berjalan menuju pintu kamarnya. Ketika baru memegang kenop, ia mendengar ucapan lirih Mireon.
"Terimakasih, Janu."
Kali ini Janu yang tak menjawab. Pemuda itu keluar dari kamarnya, meninggalkan bidadarinya itu sendirian saja.
***
Untuk kesekian kalinya, Robin mengusap wajahnya. Ia duduk di ruang tengah rumah persembunyian Rava. Ia sudah cukup lama membisu di sana.
"Jadi, Etria benar-benar sudah dibunuh oleh Ione?" lirih Lois yang duduk di hadapan Robin. Matanya yang sudah dilapisi cairan bening itu tertuju ke lantai rumah.
Robin menunjukkan lengannya yang sekarang bersih tanpa tanda. Dengan bibir bergetar hebat, dia berkata, "Nggak salah lagi."
Serta-merta Lois bangkit dari duduknya, berjalan cepat menuju kamarnya. Terdengar debam pelan saat dia menutup pintu kamar tersebut dari dalam. Lyra yang tadi duduk di samping saudari angkatnya itu cuma bisa terdiam.
"Mas tadi bilang kalau Ione ketemu bidadari yang pake baju putih, kan?" Rava yang tengah memegang ponselnya pun memijati kening. "Barusan, Ione kirim chat kalau dia sudah ngebunuh dia. Dia itu bisa dibilang bidadari paling hebat di antara yang lain. Dia bisa ngalahin beberapa bidadari sekaligus. Dia juga sempat ngebunuh Zita."
"Kalau benar Varya dibunuh Ione, artinya kita ada dalam posisi yang semakin sulit," sahut Lyra, menghadap tuannya itu. "Kekuatan Ione sudah tidak terbayangkan lagi. Dua orang tidak akan cukup untuk menghalanginya."
"Kalau aja kita bisa ngajak Mireon buat ngebantu," desah Rava lelah, menyenderkan punggungnya ke sofa. "Kalau mas Janu kemungkinan besar sih mau, tapi kita nggak tahu Mireon gimana."
Lyra memejamkan matanya dengan tangan dilipat di dada. "Dan dia sudah berkhianat. Jujur saja, aku tidak suka dengan ide bekerjasama dengan orang yang sudah mengkhianati kita. Aku tahu ini ironis, karena pada akhirnya kita menerima Lois yang juga pernah berkhianat. Tapi, untuk kasus Mireon .... Kita tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Dia sama sekali tidak bisa diprediksi."
"Jadi, kalian mau ngapain setelah ini?" Robin menelan ludah. Wajahnya menunjukkan ketegangan yang amat sangat.
"Aku nggak tahu, Mas Robin." Rava memijati keningnya lagi, menghela napas begitu panjang. "Zita sama Ione itu ....
"Apakah kamu berpikir akan membunuh Ione, Rav? Dia kan udah cukup lama bersama kalian?" potong Robin tiba-tiba.
Seketika saja, Rava berhenti memijati keningnya. Jantungnya seperti baru saja dihujam sesuatu yang tajam. Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Atau lebih tepatnya, dia tak mau memikirkannya. Rava merasa sudah cukup mengenal Ione. Bidadari itu bukan orang jahat seperti Zita. Dia hanya terjerumus karena keadaan.
Namun, di saat yang sama Rava juga tak yakin bisa menyadarkan Ione. Cinta bidadari itu kepada Stefan sangatlah besar. Rava mengerti, karena dia juga ingin Kacia kembali ke sisinya.
"Lebih baik kita tidak usah membicarakan hal seperti itu dulu," celetuk Lyra setelah beberapa saat Rava terdiam. "Kita ini lelah. Mental kita lelah. Yang kita butuhkan hanyalah istirahat."
"Aah, sori. Nggak usah dijawab juga nggak apa-apa kok, Rav." Robin menggeleng-gelengkan kepala. "Terus, kalau boleh, aku mau tinggal di sini dulu buat sementara. Yah, barangkali nggak ada yang bisa kubantu, tapi rasanya salah aja kalau aku tiba-tiba pergi dalam situasi begini .... Mungkin kedengerannya aneh, tapi begitulah. Intinya, aku ingin ada di sini dan berkontribusi kalau dibutuhkan."
Rava sedikit melirik Lyra, yang langsung mengangguk pelan.
"Nggak masalah sih, Mas." Rava menghadap Robin kembali. "Lagipula, di sini Mas Robin bisa lebih aman karena deket sama bidadari."
"Ah, makasih, Rav. Pokoknya kalau butuh bantuanku, kamu bisa langsung ngomong ke aku. Kalau nggak di luar batas kemampuanku, aku pasti bakal ngelakuinnya."
Rava hanya mengangguk pelan tanda setuju.
Selanjutnya mereka pun membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Rava mencari solusi agar mereka bisa keluar dari situasi yang luar biasa ruwet ini. Bagaimana caranya menghentikan Zita dan ione? Bagaimana caranya membujuk Mireon untuk kembali bergabung? Bagaimana caranya membujuk Lois dan Lyra untuk menerima Mireon kembali?
"Tidak ada yang akan kita bicarakan lagi, kan?" Lyra bangkit dari duduknya di sofa. Tanpa menunggu persetujuan, dia menuju kamar yang biasa ditempatinya bersama Lois. Begitu membuka kamar tersebut, Lyra mendapati Lois sedang duduk membelakanginya di atas kasur lantai, memegangi boneka buatan Etria. Boneka yang dibuat mirip dengan diri Lois.
"Aku gagal, Lyra. Aku gagal mendidiknya menjadi lebih baik. Aku tidak bisa mengubah jalan pikirannya yang tidak logis itu. Dia benar-benar mirip aku yang dulu. Kalau aku tidak bertemu dengan dirimu, aku mungkin juga akan mendapat takdir yang sama dengan Etria," gumam Lois dengan suara parau, tepat ketika Lyra sudah menutup pintu kamar itu.
Sementara Lyra mendekatinya, Lois menghapusi air matanya yang turun deras, kemudian memeluk boneka itu. Dengan isakan tertahan, ia berkata lirih, "Dia bukan orang jahat. Dia tidak pantas mati. Dia hanya tidak tahu jalan yang seharusnya diambil."
Lyra berlutut dan menepuk lembut pundak saudari angkatnya itu.
Tanpa berkata apa pun, Lyra menarik lembut kepala Lois supaya terbenam di dadanya. Lois pun memeluk tubuh Lyra erat-erat. Air mata Lois turun semakin deras, membasahi dada saudari angkatnya itu.
Lyra membelai pelan rambut Lois dan mengecup pelan kepalanya.
"Kamu sudah berusaha, Lois," bisik Lyra, begitu pelan dan lembut.
Perlahan, Lyra mulai mendendangkan sebuah lagu bermelodi lambat. Karena bibirnya bergetar hebat, Lyra tidak bisa mengucapkan kata demi kata dengan baik. Namun, suaranya tetap merdu mendayu-dayu, seperti nyanyian pengantar tidur yang didendangkan seorang ibu kepada anaknya.