148. Bidadari dan Tuannya
148. Bidadari dan Tuannya
Apa yang terjadi setelah dirinya datang ke bumi ini sungguhlah berbeda dengan bayangannya. Dulu, dia berpikir berpikir datang ke sini untuk bertarung sampai akhir, kemudian menang dan menjadi ratu. Sudah. Namun, kenyataannya, banyak sekali kejadian yang berada di luar ekspektasinya. Hal pertama yang tak diduganya adalah Rava yang membuatnya tidak bisa membunuh.
Rava, orang biasa berhati murni. Pria yang seharusnya tidak terjerumus dalam lingkaran pertarungan ini.
Lois yang berbaring di samping Lyra berbalik. Mendapati saudari angkatnya itu masih terjaga, ia pun mendesah, "Kamu memikirkan Rava, ya?"
Lyra hanya melirik Lois sekilas, tetapi wajahnya mulai dihiasi sedikit rona merah. Lyra tak mengerti, mengapa jantungnya seperti mendapat letupan kecil ketika nama tuannya itu disebut?
"Hari ini adalah hari yang lagi-lagi berat untuk Rava," lanjut Lois pelan. "Kamu tidak ingin menemuinya untuk sedikit menenangkannya?"
"Sudah kubilang, dia itu kuat. Dia tadi memang sempat histeris, tapi aku yakin dia bisa melalui hal itu. Lagipula, dia masih punya ibu. Dia pasti sudah ditenangkan ibunya itu."
Senyum samar terbentuk di bibir Lois. "Ibu Rava tidak mengerti tentang pertarungan, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi seperti aku dan kamu. Dia tidak akan pernah mengerti apa yang dirasakan Rava .... Lalu, apa kamu yakin kalau Rava benar-benar bisa menghadapi semua ini? Dia itu manusia biasa .... Manusia biasa yang mentalnya tidak pernah dilatih untuk berhadapan dengan masalah-masalah seperti ini. Dia bukan petarung seperti kita. Mungkin, sekarang dia tak bisa tidur karena semua itu."
Lyra pun menoleh kepada saudari angkatnya itu.
"Kamu ingat ketika kita ditinggal di hutan belantara sebagai salah satu menu latihan yang diberikan guru kita?" Lois melebarkan senyumnya. "Waktu itu kita tiba-tiba dikejar monster ganas yang seharusnya tidak ada di hutan itu. Ada seseorang yang membuat ritual untuk memanggilnya demi membasmi kaummu. Pada akhirnya, orang itu meninggal karena diterkam oleh monster panggilannya itu sendiri."
"Aku ingat sekali."
"Waktu itu, kita memang berhasil kabur, tetapi sayapku sebenarnya cedera parah. Aku tidak mau membebanimu dan membuatmu khawatir, jadi aku berusaha mati-matian untuk bertahan, paling tidak sampai kita tiba di tempat aman. Padahal, mengepakkan sayapku saja rasanya luar biasa sakit."
"Ah, waktu sampai di kemah guru kita, kamu akhirnya menangis sejadi-jadinya."
Perlahan, Lois mengusap lembut pipi saudarinya. "Kamu tahu apa yang membuatku bertahan, yang membuat hatiku lebih tenang, yang membuat mentalku kuat? Seharusnya, aku sudah jadi begitu trauma dengan kejadian itu. Mentalku seharusnya hancur. Tetapi, karena kamu selalu ada di sisiku, aku jadi bisa melewati semua itu."
Lyra tercenung, tak memberi jawaban.
"Mungkin Rava sedang butuh penopang, Lyra." sambung Lois. "Lagipula, mau sampai kapan kamu menyangkal rasa di hatimu itu?"
Perlahan, mata Lyra mulai membelalak. Rona merah di wajahnya makin kentara. "Aku tidak ...."
"Aku tidak akan menerima alasan apa pun yang akan kamu ucapkan. Memangnya kita bersama sudah berapa lama?" potong Lois cepat, membungkam mulut Lyra dengan tangan ketika saudara angkatnya itu mau membantah. "Dengan situasi sekarang, kita tidak tahu kapan waktuku, waktumu atau waktu Rava berakhir, Lyra. Apa kamu tidak akan menyesal kalau tidak sempat mengungkapkannya?"
Lyra melepaskan tangan Lois, menelan ludah. "Kamu mau bilang, mungkin aku atau Rava akan mati sebelum ...."
Lyra tercekat hebat, membuang mukanya dari Lois. Lois mendekatkan mulutnya ke telinga saudara angkatnya itu. Seiring dengan Lois yang membisikkan kalimat demi kalimat, Lyra pun membelalakkan matanya kembali. Ia kembali memandang Lois, yang langsung mengangguk dengan senyum penuh arti.
"Kamu tidak mau tuanmu tersaya itu semakin terpuruk, kan?" tukas Lois pelan.
Serta-merta Lyra bangkit dengan posisi duduk, melongok kepada ibu Rava yang tertidur pulas di samping Lois. Ibu Rava memang sengaja tidur bersama para bidadari dengan alasan untuk mengawasi gerak-gerik mereka.
Akhirnya, dengan hati-hati, Lyra bangkit dari kasur untuk mendatangi pintu kamar.
"Paling tidak, pakailah celana atau rok dulu, supaya Rava tidak histeris lagi," ledek Lois, terkekeh pelan.
Lyra mengecek bagian bawah tubuhnya, yang memang hanya dilindungi celana dalam berwarna krem saja. Saat mengangkat wajahnya lagi, dia berkata, "Kurasa tidak perlu."
Tiba-tiba, ibu Rava menggeliat dan memeluk tubuh Lois dari belakang. Lyra dan Lois sempat berjengit, tetapi untungnya ibu Rava masih tertidur pulas.
Lois memberi isyarat tangan agar Lyra cepat pergi. Perlahan, Lyra pun mulai memutar kenop pintu.
***
Sambil berbaring di kasurnya sendirian, Rava menutupi mulutnya dengan tangan. Hawa hangat yang membuatnya tak nyaman keluar dari kerongkongannya dan memenuhi mulut. Baru beberapa menit yang lalu dia muntah, tetapi sekarang isi perutnya seolah mendesak keluar kembali.
Pemuda itu kemudian memijati keningnya yang dibungkus pening. Dia sudah terlalu lelah. Dia ingin semua ini cepat berakhir. Namun, saat ini dirinya dan para bidadari sedang menemui jalan buntu.
Kalau memang semua ini belum bisa selesai, dia ingin ada sesuatu yang bisa membuatnya lupa akan semua itu, walaupun untuk sejenak. Sesuatu yang bisa membuatnya merasa begitu nyaman. Sesuatu yang bisa membangkitkan mentalnya. Sesuatu yang sanggup membuatnya bertahan.
Senyuman Kacia pun melintas di kepala pemuda itu.
Rava merasa dadanya disesaki oleh sesuatu yang kelam dan pekat. Sesuatu yang seharusnya memicu matanya meneteskan cairan bening. Namun, dia sendiri tak tahu mengapa dirinya sudah tidak bisa menangis lagi.
Telinga Rava mendengar ketukan pelan dari pintu kamarnya, disusul ucapan lirih seorang wanita, "Rava, apa kamu masih bangun? Ini aku, Lyra."
Rava mengerutkan kening. Lyra? Buat apa bidadarinya datang tengah malam begini? Pemuda itu pun bangkit dari kasur, menggeser gerendel dan membuka pintu. Pandangannya langsung tertuju kepada kedua paha mulus Lyra yang terbuka karena bidadari itu cuma memakai celana dalam krem.
Rava buru-buru mengalihkan pandangannya ke muka Lyra, tak mau melihat badan bidadarinya itu yang kemungkinan besar hanya dilapisi kaus atau tank top tipis menerawang. Lagipula, hanya ada sekian persen kemungkinan kalau aset Lyra yang besar itu disangga bra.
"Ada apa, Lyra?" tanya Rava pelan.
"Kamu tidak protes?" Lyra malah balik bertanya.
Menggaruk rambutnya, Rava pun menghadap ke arah lain. Barangkali, di hadapan wanita yang berbaju super minim itu, wajah Rava tidak terasa panas dan jantungnya tidak berdebar karena keadaan sedang suram-suramnya, tetapi tetap saja pemuda itu merasa tidak nyaman.
"Memangnya kamu mau mendengarkan?" desah Rava, terdengar lelah. "Jadi, kamu mau ngapain malem-malem begini di kamarku?"
Alih-alih menjawab, Lyra justru mendorong tubuh tuannya itu. Rava yang tidak siap pun tak kuasa menahan keseimbangannya. Dia sedikit terhuyung ke belakang. Kemudian, Lyra pun masuk dan buru-buru menutup pintu kamar.
Sekarang, Rava justru merinding. Dia tidak bisa memprediksi apa yang akan dilakukan bidadarinya itu. "K-kamu mau ngapain sih, Lyra!?"
Pada akhirnya, wajah Rava terasa panas dan jantungnya mulai berdebar juga.
Lyra yang sedang membelakangi Rava pun menggerendel pintu kamar, kemudian berbicara dengan desahan pelan, "Jangan keras-keras, nanti ibu kamu dengar."
Kali ini, jantung Rava seperti akan meloncat dari tempatnya. Pikirannya langsung kacau.