141. Denyut
141. Denyut
Rava merasakan nyeri tak terkira di lehernya. Ia berusaha melepaskan lidah sang monster, tetapi perbuatan itu percuma saja.
"Ngiiik! Ngiiik! Ngiiik! Ngiiik!"
Beberapa proyektil bulu meluncur ke arah sang monster. Sang monster berhasil menghindari beberapa. Namun, begitu dua proyektil menyenai mukanya, dia pun terjatuh ke lantai. Lilitan lidah di leher Rava pun melonggar. Lyra buru-buru membebaskan tuannya itu. Rava terbatuk-batuk hebat, memegangi lehernya yang masih dihinggapi nyeri.
Sang monster merayap cepat di lantai, memasuki ruangan kantor, bergerak cepat di antara kursi-kursi komputer. Lois dan Mireon pun ikut masuk ke sana. Mireon terus saja menembakkan bulu-bulunya, sementara Lois tak henti-hentinya mengejar si monster. Lois melompat, berlari dari satu meja ke meja lain, membuat dokumen-dokumen berterbangan dan layar-layar komputer melayang karena tersepak kakinya. Monster itu masih saja merayap dengan begitu cepat, layaknya kecoa yang dikejar manusia.
Sampai akhirnya, Lois mendarat di lantai, berhasil menghujam punggung sang monster. Si monster pun berteriak dengan suara mirip gaungan. Tubuhnya tertahan di lantai.
Lois terhenyak. Rapier-nya tidak melukai sang monster sama sekali. Memanfaatkan kelengahan sedetik itu, sang monster pun merayap lagi dengan cepat, kabur dari Lois, bersembunyi di antara meja-meja.
"Tembakanku juga tidak bisa melukainya," ucap Mireon yang kini menjejeri Lois.
Lois mengerutkan kening. "Memangnya, dia punya energi pelindung seperti kita?"
Lyra masuk ke ruangan itu dan menutup pintunya rapat-rapat. Bidadari itu memisahkan pedang bermata gandanya menjadi dua, memutuskan untuk tidak bergabung dengan yang lain, tetapi lebih fokus berjaga-jaga di pintu keluar.
Sementara itu, Etria menjaga Robin, Janu, dan Rava di luar ruangan. Mereka mengamati dari dinding kaca. Rava masih mengusapi lehernya yang nyeri. Rasa mualnya masih menjadi-jadi, tetapi dia tetap mampu menahannya.
"Sh*t, siapa pun yang hobinya ngirim monster-monster itu udah bisa bikin Zombi," gerutu Robin, terdengar sangat khawatir.
Janu menelan ludah. "Bisa gawat kalau sampai apa pun yang ngendaliin pak satpam itu sampai nginfeksi banyak orang di bumi."
Sementara itu, Rava cuma meremas kepalanya frustasi.
"Pemilihan ratu ini adalah sesuatu yang bodoh!" Suara seseorang dengan efek gaungan terdengar dari salah satu sudut ruang kantor itu.
Para bidadari pun mengarahkan senjatanya ke sudut tersebut.
Monster yang masih berwujud satpam itu muncul dari bawah salah satu meja komputer. Di dadanya, tempat seharusnya luka menganganya berada, terdapat semacam benjolan besar berwarna coklat yang berdenyut pelan.
"Siapa kamu!?" hardik Lois, bersiap dengan apa pun yang mungkin terjadi. "Kenapa kamu punya energi pelindung!?"
Monster itu tersenyum lebar sampai gigi-giginya terlihat jelas. Matanya yang memancarkan cahaya merah menyala menatap para bidadari dan tuan secara bergantian. Rava langsung merinding saat bertukar pandang dengan sang monster.
"Inti dunia kita itu adalah tuhan palsu! Dia tidak berhak mengatur kehidupan para makhluk di dunia kita! Kita seharusnya bisa memilih metode penunjukkan pemimpin kita! Suara dari inti dunia kita itu bohong belaka! Itu hanya dusta yang disebarkan orang-orang yang berdelusi! Kenapa hanya beberapa orang yang mendengar suara itu!" Si monster mulai meracau dengan suara mirip geraman. "Sebenarnya, inti dunia kita juga tidak bisa mengabulkan permintaan! Itu juga sebuah kebohongan yang dibuat oleh sebagian orang! Kalaupun memang bisa mengabulkan permintaan, kenapa inti dunia kita hanya memberikannya kepada pendamping dari pemenang pemilihan ratu! Kenapa tidak mengabulkan permintaan kita agar dunia kita lebih baik!? Pokoknya, inti dunia kita itu sangat tidak logis!"
"Sepertinya, dia tidak benar-benar punya intelejensi," duga Lois, mengamati mata sang monster yang sebenarnya menatap kosong. "Apa pun yang ada di dadanya itu cuma diisi dengan rekaman-rekaman pesan dari pihak yang menentang tatanan dunia kita."
"Kita biarkan saja dulu. Aku ingin mendengar apalagi pesan mereka," sahut Lyra, makin waspada.
"Kami akan membunuh semua bidadari! Tidak ada ratu yang terpilih! Tatanan yang dibuat oleh inti dunia kita itu akan kacau dan lama-lama hancur! Itulah saatnya kita membuat tatanan yang sesuai keinginan kita!" Tiba-tiba, monster itu melompat kepada Lois. "Mati!!! Mati!!! Kalian harus mati!!!"
Mata rapier Lois terbungkus cahaya merah, langsung memanjang ke arah sang monster. Seketika saja, sang monster berhenti di udara. Bagian dadanya yang berwarna coklat itu terhujam mata rapier Lois, langsung mengalirkan cairan hitam dan berhenti berdenyut. Kedua kaki dan tangannya terkulai ke bawah, serta kepalanya menunduk. Begitu rapier Lois memendek dengan cepat, tubuh monster itu pun jatuh menimpa sebuah meja komputer sampai hancur.
"Cuma segitu kemampuannya?" Lois mengernyit, menurunkan pedangnya.
Lyra mendekati saudari angkatnya itu. "Aku rasa, mereka cuma ingin meneror dan membuat hati kita goyah saja."
"Ah, seperti kata guru kita. Teror bisa menjadi senjata yang ampuh," timpal Lois, mengamati benjolan di dada sang satpam yang mulai menguap menjadi asap hitam. "Teror bisa mempengaruhi lawan. Bisa membuat pikiran tidak jernih, sehingga mereka tak maksimal dalam mengambil keputusan. Bahkan rasa takut yang berlebih juga bisa membuat kamu tidak bisa bertarung sama sekali."
Lyra sedikit melirik Lois, yang ekspresinya kini menegas. Lois jelas sedang mengingat saat-saat dirinya begitu ketakutan sampai tak bisa bertarung melawan Zita.
"Yah, tapi kalau mau meneror, mereka gagal total. Monster itu jelas kalah seram dengan seorang manusia bumi," lanjut Lois, tersenyum getir.
"Uwaaaaa!!!" Teriakan Janu terdengar dari luar ruangan. Mireon, Lyra, dan Lois pun segera menghampiri pemuda itu.
"Eeeh? I-ini bagaimana!?" Etria gelagapan, menunjuk-nunjuk semacam makhluk dengan bentuk seperti laba-laba seukuran dua kali telapak tangan manusia. Makhluk itu tengah merambati tubuh Janu dengan cepat.
"Lepasin! Lepasin! Lepasin! Anj*ng!" Janu berjingkrak-jingkrak histeris, berusaha melepaskan makhluk dengan tubuh lebih gemuk dan kaki jauh lebih pendek dari laba-laba pada umumnya itu.
Dengan satu kali gerakan, Mireon menangkap monster kecil itu.
"Udah! Udah nggak ada, Mas!" seru Rava, berusaha menenangkan Janu yang masih gelagapan.
Janu pun jatuh terduduk dengan napas ngos-ngosan, memelototi monster kecil di tangan Mireon tersebut.
Setelah mengamati monster dengan warna cokelat dan mata bercahaya merah menyala itu, Mireon pun meremasnya sampai hancur, membuatnya pecah layaknya tomat, memuncratkan cairan kental warna hitam ke mana-mana. Bahkan ke muka Mireon sendiri. Namun, ekspresi datar sang bidadari sama sekali tak berubah.
"Wow, kamu badass sekali." Robin pun bertepuk tangan ringan
"Ini belum selesai," desis Lyra, memasang kuda-kuda, menghadap ke ujung lorong di kejauhan. Dari sana, monster-monster sejenis tampak berdatangan. Mereka merayap di lantai, dinding, dan langit-langit. Jumlah mereka sungguh banyak.
"Hiiii!!!" Janu merinding hebat, bangkit dan langsung bersembunyi di belakang punggung Mireon. "Gue benci yang namanya laba-laba!"
"Sepertinya, mereka itu sejenis dengan yang mengambil-alih tubuh satpam tadi! Kita harus melindungi tuan kita!" seru Lois, ikut memasang kuda-kuda, lantas menoleh kepada Etria. "Etria, kamu juga bersiap di dekat para tuan! Barangkali senjatamulah yang paling efektif melawan monster-monster itu."
"B-baik!" jawab Etria, memegang palu godamnya erat-erat, kemudian menatap wajah Rava. "Kalau barang-barang di sini hancur bagaimana, Rav?"
"Errrr .... Pasti dampaknya buruk, tapi kan pegawai dapat gaji. Mereka tetap bisa makan walau kantornya hancur .... Asal hancurnya nggak semua ...." Rava agak kebingungan ditanya mendadak seperti itu. "Lagipula, kondisi kita kan juga terpaksa. Kayaknya kita nggak bakal sempet keluar dulu, deh."
Rombongan monster kecil itu semakin mendekat.