Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Enam



Enam

Aku baru menyadari aku tak memperhatikan keberadaan Zen hari ini karena terlalu sibuk dengan Astro. Aku mengedarkan pandangan di sekeliling, tapi tak mampu menangkap sosoknya di manapun.     

Astro menarikku mendekat padanya. Aku menatapnya dan menyadari bahwa sepertinya dia juga tahu apa yang dilukis Zen adalah lukisan meja dan berang-barang milikku.     

"Aku baru tau kalau dia bikin ini." ujarku panik.     

"It's okay. Ga perlu kamu pikirin." ujarnya dengan tenang walau ada kekhawatiran di tatapan matanya.     

Aku mengangguk. Aku akan membatalkan niat untuk meminta penjelasan pada Zen tentang lukisannya. Aku tak ingin membuat Astro khawatir dan membatalkan niatnya ke Surabaya hanya karena merasa cemburu.     

Astro menarikku menjauh dari deretan lukisan dan mengajakku maju menuju band indie yang sedang dikerumuni oleh lebih dari empat puluh orang. Mereka baru saja selesai menyanyikan sebuah lagu yang disambut teriakan histeris murid-murid perempuan.     

Astro mengajakku naik. Dia membisikkan sesuatu pada vokalis band, lalu membawaku ke sebuah kursi dengan mikrofon di depannya dan memintaku duduk di sana.     

"Kita kasih waktu buat Astro nyanyi satu lagu khusus buat Faza." ujar vokalis dengan sebuah senyum iseng sambil memberi Astro tempat duduknya, disambut teriakan gaduh dari kerumunan di depan panggung.     

Aku bisa melihat kedua orang tua Astro, juga Opa dan Oma sedang memperhatikan kami dari tempat duduk mereka. Tiba-tiba metaku menangkap keberadaan Zen yang sedang berdiri di sudut gelap. Ekspresinya tak terlihat olehku hingga aku tak mampu menebaknya.     

Astro duduk dengan sebuah gitar di pangkuannya. Dia mengecek nada sebelum menatapku, "I hope you always remember this moment, Mafaza Marzia (Aku harap kamu selalu inget momen ini, Mafaza Marzia). Kita udah bareng bertahun-tahun ini dan aku mau jalanin tahun-tahun ke depan bareng kamu sampai kita tua. I love you."     

Jantungku berdetak kencang saat ini, dengan semua orang yang memperhatikan dan berteriak histeris di hadapan kami. Aku bisa mendengar beberapa teman sekelasku memekik saat mendengar suara Astro dan ikut berkerumun di sekitar kami. Aku tahu Astro sedang berusaha membuat semua orang tahu bahwa aku memilikinya.     

Saat Astro membuka suara, suaranya terdengar jauh lebih baik. Aku tak akan terkejut jika dia berlatih beberapa minggu sebelumnya.     

Aku meraih mikrofon dan menemaninya bernyanyi. Lagu ini pernah kami nyanyikan berkali-kali di dalam mobil saat berada dalam berbagai perjalanan, dan ya, lagu ini memang menggambarkan keadaan kami sejauh ini.     

Wajahku merona merah sekali setelah kami selesai menyanyi. Aku tahu kerumunan di sekitarku mengambil foto dan video sesaat lalu, tapi tak sampai hati untuk meminta mereka menghapus semuanya. Aku bahkan sempat mendengar beberapa dari mereka meminta kami berciuman.     

Astaga, yang benar saja? Kami tak akan melakukannya.     

Aku melihat Zen pergi menjauh entah ke mana. Gerak tubuhnya sama sekali tak tertebak. Walau begitu, entah kenapa aku merasa dia sedang kecewa.     

Astro mengucapkan terima kasih pada vokalis karena sudah bersedia memberinya waktu, lalu menaruh gitar dan menghampiriku. Dia mengamit tanganku dan menggenggamnya kembali. Kemudian memberiku senyum menggodanya yang biasa dan mengajakku turun dari panggung, "Aku latihan dua minggu buat ini."     

"Thank you."     

Astro mengangguk, lalu mengajakku kembali ke tempat duduk yang kami tinggalkan. Namun orang tuanya, juga Opa dan Oma tak ada di sana. Dia mengeluarkan handphone dari saku dan memperlihatkan sebuah pesan dari ayahnya padaku: Kita pulang duluan. Kunci mobil ada sama pak Dan di parkiran. Kalian harus udah pulang sebelum jam 10. Jaga Faza, kamu udah janji sama opa     

Aku terdiam. Sepertinya kami akan menghabiskan hari berdua.     

"Ada tempat yang mau kamu datengin?"     

"Ga mau di sini aja? Masih ada banyak acara, kan?"     

"Di sini berisik banget. Kamu ga gerah dari tadi diliatin terus? Aku berasa kayak hewan langka yang lagi ditontonin."     

Aku tertawa. Kupikir dia tak pernah memikirkan tentang hal seperti itu karena selalu mendapat perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya. Terlebih karena kami memang membuat berbagai kehebohan.     

"Kamu punya ide mau ngajak aku ke mana?" aku bertanya.     

"Aku punya." ujarnya yang langsung mengajakku keluar aula menuju parkiran dan mengambil kunci yang dititipkan pada Pak Dan. Dia membawaku berkendara melewati deretan hutan di perbukitan.     

Kami berhenti di dekat sebuah tebing. Tebing yang sama saat aku menyatakan padanya bahwa aku bersedia menunggunya.     

Astro membuka pintu di sebelahku, menggenggam tanganku dan mengajakku duduk lebih dekat dengan tebing. Dia mengelus jari-jariku di antara jarinya, "Aku suka di sini."     

Aku mengangguk. Aku setuju dengannya karena suasana di sini nyaman sekali, dengan angin semilir yang datang beberapa saat sekali.     

Aku menolah untuk menatapi sosoknya yang menjaga tanganku dengan baik. Aku membalas elusannya di jariku. Genggaman tangannya terasa hangat dan nyaman, seperti yang selalu kuingat.     

Astro menoleh ke arahku dan tersenyum, "Aku mau punya anak enam. Jadi kamu harus sehat ya?"     

Aku menatapnya tak percaya, "Kita nikah aja belum. Kamu udah ngomongin anak?"     

"Biar kamu bisa siap-siap."     

Tiba-tiba aku mengingat kebersamaanku dengan Fara dan Danar. Kami bertiga selalu membuat segala keriuhan di rumah. Entah apakah aku akan bisa mengurusi enam orang anak nantinya.     

"Bisa kita bahas yang lain?" aku bertanya saat aku merasa kepalaku mulai berdenyut mengganggu.     

Astro tertawa, "Kamu beneran lagi ngebayangin kita punya anak enam orang?"     

Aku memberinya tatapan tajam, tapi tak bisa menyembunyikan senyum karena aku baru saja ketahuan membayangkannya.     

"Kadang aku ..."     

Aku mendengar Astro bicara dan aku tahu apa maksudnya. Aku menutup mulutnya agar dia tak melanjutkan apapun kalimatnya. Wajahku terasa panas sekarang, "Aku ga mau denger apapun yang ada di kepala kamu sekarang."     

Astro tertawa dan membuatku melepas tangan dari genggamannya. Dia benar-benar menyebalkan.     

=======     

Di draft pertama ada lirik lagu di chapter ini judulnya "Perfect" dari Ed Sheeran, tapi udah nou edit. Silakan cari lagu itu di platform musik yang kalian punya.     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.