Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Helm



Helm

Astro duduk bersila di lantai, memeluk kedua lengannya di lututku dan menyembunyikan wajah di antara lengannya. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat yang berusaha dia kendalikan.     

Aku tahu dia tak seharusnya bersikap seperti ini. Terlebih, karena ada Zen dan Beni di sebelahku, tapi aku akan membiarkannya karena aku tahu dia pasti khawatir sekali. Bahkan mungkin saja sekarang sedang bersyukur karena aku selamat.     

Aku mengelus rambutnya selama beberapa lama karena kupikir dia tak akan keberatan. Namun dia justru meletakkan topi di lututku, mengamit tanganku dan mencium jari-jariku tanpa menatapku. Kemudian bangkit dan masuk ke ruangan di mana Donny dan temannya berada.     

Entah apa yang dikatakannya pada Donny karena aku tak dapat mendengarnya, tapi hal itu membuat Donny memohon padanya. Astro mengabaikannya dan beranjak keluar ruangan.     

"Thank you, Zen." ujar Astro pada Zen.     

"I didn't do that for you (Aku ga ngelakuin itu buat kamu)." ujar Zen.     

"Aku tau." ujar Astro sambil mengamit tanganku. "Thanks, Ben."     

Beni hanya mengangguk dan tersenyum. Entah kenapa, senyumannya membuatku merasa malu.     

Astro menarikku bangkit. Aku memeluk topiku, mengamit ransel di lantai dan berjalan mengikutinya, "Thank you, Zen, Ben."     

Beni memberiku lambaian tangan. Zen hanya menatapku dan Astro yang berjalan menjauh.     

Aku memasukkan topi ke dalam ransel dan memakainya saat menemukan motor Astro berada di parkiran, dengan dua helm di atasnya. Motor yang selama ini tak pernah kunaiki.     

Aku terkejut saat Astro memberiku satu helm yang berwarna ungu lembut. Kapan dia membelinya? Seingatku, aku tak pernah melihat helm ini sebelumnya.     

"Jangan peluk aku, jangan pegang pinggangku, tapi kalau kamu mau pegangan di bahuku, boleh." ujarnya setelah aku menaiki motornya. Bahkan di saat seperti ini pun dia masih bersikap menyebalkan.     

"Aku mau taruh kepalaku di bahu kamu, boleh? Kepalaku sakit." ujarku sambil memeluk helm.     

"Tiga menit aja." ujarnya yang langsung menyalakan motor dan berlalu.     

Jantungku berdetak kencang sekali saat menyandarkan kepala di bahunya. Aroma green tea yang menguar dari dalam helmnya membuatku merasa tenang.     

Senja sudah tiba, dengan semburat jingga menyelimuti ufuk sana. Aku selalu suka senja, terasa hangat dan terlihat cantik. Terasa seperti menemukan sesuatu telah yang hilang, kembali lagi padaku.     

"Aku pikir kamu bakal marah." ujarku sambil berusaha membuat diriku nyaman di bahunya yang bidang.     

"Aku marah banget, tapi aku ga mau marah-marah di depan kamu."     

"Maaf bikin kamu pulang cepet."     

"Jangan minta maaf. Aku yang salah karena harusnya aku larang kamu pergi tanpa aku."     

Aku tak memiliki kalimat apapun untuk menanggapinya. Aroma tubuhnya yang hangat menari di hidungku, bahkan sepertinya aku sempat mengecup bahunya sesaat lalu.     

Aah, aku rindu sekali.     

"Kamu harus nunggu buat itu, kamu tau?" ujarnya sambil sedikit menoleh ke arahku.     

"Aku tau. Maaf ... ternyata ga gampang buat nahan diri. Kamu hebat bisa nahan diri sampai sekarang."     

"Aku harus jaga kamu sampai waktunya jadi kamu juga harus sabar."     

Situasi ini aneh sekali. Baru kali ini aku yang ditegur untuk menahan diri. Rasanya aku ingin tertawa, tapi hanya mampu tersenyum karena aku harus menikmati bahunya sebentar lagi. Sebelum waktuku habis.     

Ini pertama kalinya kami mengendarai motor bersama. Mungkin karena kami terbiasa di dalam mobil, hingga perjalanan kami kali ini terasa berbeda. Dengan angin yang menerpa wajah dan tubuhku, terasa menyenangkan.     

"Waktu kamu abis, Nona. Pakai helm kamu." ujar Astro. Kurasa aku harus menurutinya.     

Astro langsung mengantarku pulang dan membantuku menjelaskan pada Opa apa yang terjadi hari ini. Opa terkejut sekali, tapi berhasil mengendalikan diri karena Astro menjelaskan semuanya sudah baik-baik saja.     

Opa berkata tak suka saat mendengar Zen mengajakku mengebut di jalan. Menurut Opa akan lebih baik jika semuanya dibicarakan saat masih di stasiun radio, sehingga apapun yang terjadi di sana adalah tanggung jawab stasiun radio tersebut.     

"Tapi Zen banyak bantu Faza, Opa. Opa jangan marah ya." ujarku.     

"Opa ga marah. Opa hanya menyayangkan kenapa kalian harus kabur. Mengebut itu berbahaya sekali, Mafaza tahu? Kalian beruntung ga menabrak siapapun saat itu."     

Aku tahu Opa benar, tapi aku juga tak bisa menyalahkan Zen atas sikapnya. Aku tahu Zen hanya ingin membantuku menghindar dari situasi yang mungkin terjadi saat berada di dekat Donny.     

"Udah, sekarang kalian berdua makan dulu. Nanti kaki Faza diobatin ya." ujar Oma.     

Aku dan Astro mengangguk. Kami pamit ke dapur, meninggalkan Opa dan Oma di ruang tamu.     

Aku menghela napas setelah duduk di kursi makanku yang biasa. Sudah ada nasi dengan beberapa menu lauk dan sayur. Aku lapar sekali karena tadi siang hanya mengisi perut dengan roti dan susu pemberian Beni.     

Aku menoleh pada Astro yang duduk di sebelahku. Dia sedang menatapiku, "Kenapa?"     

"Kamu beruntung hari ini, kamu tau?" Astro berbalik bertanya padaku.     

Aku menaikkan bahu sebagai tanda tak mengerti.     

"Keberatan kalau kamu ambilin makanan buatku? Aku baru pulang dari tempat yang jauh dan langsung jemput kamu di kantor polisi."     

Aku tahu dia sedang mencoba bersikap manja. Aku tak mengatakan apapun, tapi menuruti keinginannya. Aku mengambil piring dan menaruh nasi dengan lauk dan sayuran sesuai porsinya, lalu meletakkannya di meja di hadapannya.     

"Thank you, Honey." bisiknya, yang membuatku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Aku tahu dia sengaja bertingkah untuk menghilangkan beban pikiranku.     

Aku mengambil makanan untukku sendiri dan kami makan dalam diam. Kemudian aku meminta waktu untuk mandi karena tubuhku terasa tak nyaman.     

Aku baru menyadari ada ruam biru di kakiku yang tadi terkena tendangan oleh teman Donny saat aku sedang mandi, juga ada bekas kemerahan di lenganku yang tadi sempat diremas dengan keras. Aku mengobati ruam itu dengan salep sebelum keluar kamar untuk menemui Astro di teras belakang.     

"Feeling better (Udah ngerasa enakan)?" Astro bertanya saat aku duduk di sampingnya.     

Aku mengangguk dan menatap kolam koi milik Opa dikejauhan yang hanya diterangi cahaya remang-remang. Aku baru menyadari sekarang adalah malam minggu. Pasangan lainnya mungkin sedang berjalan-jalan entah ke mana.     

"Tadi kamu ngomong apa ke Donny di kantor polisi?" aku bertanya untuk mengalihkan pikiran.     

Astro terdiam sebelum bicara, "Kamu ga perlu tau, yang penting dia ga bakal berani macem-macem lagi."     

"Sampai kapan kamu mau nyimpen rahasia-rahasia dari aku?" aku bertanya hanya karena penasaran. Sepertinya dia bahkan lebih terbuka pada Opa dan Oma.     

"Sampai waktunya kamu perlu tau nanti, Nona Mafaza Marzia. Kan aku udah janji kamu bakal tau semuanya dari aku."     

"Kayaknya sekarang aku ngerti yang kamu maksud berbulan-bulan lalu. Kalau couple mau tau lebih tentang pasangannya. Aku bisa ga, begitu juga?"     

Ada senyum terkembang di bibirnya, "Are you trying to be over protective to me (Maksudnya kamu mau bersikap berlebihan ke aku)?"     

"Aku ga tau apa sebutannya emang over protective, tapi kalau kamu ga mau ngasih tau mungkin aku bakal nanya Teana. Dia udah bilang sih katanya mau ngasih tau aib kamu." ujarku sambil tersenyum.     

"Teana." Astro mendesis menyebut namanya. "Okay kalau gitu. Aku kasih tau kamu satu rahasiaku besok, tapi yang tentang Donny kamu ga perlu tau."     

"Seriously? Teana udah ngasih tau aku beberapa sih. Yang katanya kamu pernah ngompol karena ketakutan pas diisengin Ray pakai topeng Payday Houston."     

"Heii, itu karena Ray ngisenginnya tengah malem masuk ke kamarku."     

"Katanya kamu pernah nyungsep di septictank buat ngejar laba-laba."     

"Faza, stop it!"     

"Pernah kebakaran pas kamu lagi coba benerin mobil mainan, trus kamu matiin apinya pakai ..."     

"Hei! Stop it there!" ujarnya sambil menutup mulutku kencang sekali.     

Aku menarik tangannya hingga terlepas, "Sakit!"     

"Sorry. Aku ga akan begitu kalau kamu berhenti nyebut ... itu ..." ujarnya dengan canggung.     

Aku mengabaikannya yang terlihat panik dan justru tertawa melihat ekspresinya. Dia lucu sekali.     

"Awas aja Teana. Aku bikin ilang follower youtubenya nanti." desisnya dengan mata berkilat berbahaya. Sepertinya dia bersungguh-sungguh akan melakukannya.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.