Mansion
Mansion
Astro mengajakku menyusuri deretan pohon karet sejauh empat ratus meter dari kandang ayam hingga terlihat sebuah rumah besar bergaya kolonial yang bersisian dengan sebuah sungai yang cukup besar. Atau mungkin rumah besar itu adalah sebuah mansion.
Aku menoleh pada Astro dan baru menyadari bahwa rumah sederhana di depan sana hanyalah kamuflase, "Kakek nyentrik ya?"
"Nurun ke aku dalam beberapa hal." ujarnya sambil memberiku senyum menggodanya yang biasa.
Sepertinya dia benar. Saat orang lain ingin terlihat lebih kaya dan lebih terkenal dibanding yang lainnya, dia justru menyembunyikan banyak fakta bahwa dirinya memiliki sebuah resort dan restoran. Dia juga tak ingin dirinya diketahui sebagai anak pemilik yayasan. Dia bahkan memakai nama samaran untuk akun youtube miliknya dan aku masih ingat desain robot timnya beberapa bulan lalu adalah Gatot Kaca.
"Kamu harus jadi lebih cerdas kalau mau siap ngadepin anak kita yang mungkin nurunin kecerdasan ayah sama eyangnya." Astro mengatakannya seolah sedang membicarakan tentang bagaimana indahnya ulat bermetamorfosa menjadi kupu-kupu.
"Bisa kita berhenti bahas itu?" ujarku yang mencoba memprotesnya yang terus saja membahas tentang menikah dan semacamnya. Membahas hal-hal itu membuatku sulit berkonsentrasi.
"Bisa kok asal kamu panggil aku 'honey'."
Aah laki-laki benar-benar ....
"Okay, Honey. Can we stop talking about marriage or having a baby (Bisa kita berhenti ngomongin tentang nikah atau punya anak)?"
Astro meraih kepalaku dan menyandarkannya di bahunya sebelum mengecup dahiku, "Fine."
"Aku laporin ke Opa ya kamu." ujarku sambil menahan napas dan menatapnya tak percaya.
"No!" ujarnya dengan wajah memucat.
Aku meninggalkannya dengan berjalan cepat menuju mansion. Bagaimana mungkin dia berani melakukan itu padaku?
"Faza, tunggu!" ujarnya sambil berlari dan berhasil menyusulku beberapa langkah sebelum aku sampai di depan pintu.
Aku suka dia bersikap manis padaku, tapi sekarang bukan saatnya. Terlebih saat dia sudah memberi Opa janji untuk menjagaku. Sebelum dia sempat mengatakan apapun, aku memberinya ancaman lebih dulu, "Janji ga begitu lagi?"
Ada keengganan di tatapan matanya, tapi dia menyanggupi dengan menganggukkan kepala.
"Bisa kita masuk?" aku bertanya sambil memberi isyarat ke arah pintu.
Astro mengetuk pintu dan ada seorang perempuan yang sepertinya masih berusia sama seperti kami yang membukakan pintu. Sepertinya dia cukup akrab dengan Astro karena langsung tersenyum pada kami dan mempersilakan masuk.
"Tadi kakek liat kamu lagi ngapain. Hati-hati aja warisan kamu pindah ke aku." ujarnya.
Kurasa aku tahu apa yang dia maksud dan membuatku menoleh ke Astro untuk memberinya tatapan tajam. Sebetulnya bukan warisan yang kukhawatirkan, tapi sikapnya yang semakin terbuka yang membuatku khawatir.
"Faza, kenalin ini ..."
"Teana. T-E-A-N-A. Pakai E ya, bukan I. Walau emang nyebutnya Tiana sih. Aku anaknya mami Lusi." perempuan itu menyela Astro dan memperkenalkan diri dengan mengeja namanya dengan jelas sambil mengulurkan tangan padaku.
"Mafaza. Kamu bisa panggil aku Faza." ujarku sambil menyambut uluran tangannya dengan senang hati. Menurutku dia memang mirip dengan Tante Lusi yang kemarin Astro kenalkan padaku saat di rumah sakit.
"Kamu cantik banget. Sayang kamu maunya sama Astro. Kenapa ga sama kak Ray aja yang lebih ganteng? Jago masa ..." kalimat Teana terhenti karena Astro menutup mulut dan hidungnya dengan tangan.
"Berisik! Kakek ada di mana?"
Teana menunjuk ke arah belakang untuk menjawab Astro karena dia tak bisa bicara. Saat Astro melepas tangannya, Teana menghirup napas keras, "Aku aduin ke mami ya nanti."
"Dasar tukang ngadu." ujar Astro sambil mendorong bahuku menjauh dari Teana, menuju ke arah yang ditunjuk Teana sedetik lalu.
Mansion ini besar sekali. Sepertinya ada lebih dari selusin ruangan di lantai bawah dan entah ada berapa ruangan di lantai atas. Yang membuatku bertanya-tanya adalah sepertinya di sini tak ada asisten rumah tangga atau pekerja kebersihan. Jika dibandingkan dengan rumah Denada, mansion ini ukurannya empat kali rumahnya. Hanya ukuran rumahnya saja, tanpa menghitung besarnya lahan yang ada.
Astro masih memegangi bahuku walau kami sudah menjauh dari Teana. Dia benar-benar lepas kendali rupanya.
"Tangan kamu, Astro." ujarku untuk menegurnya.
"Rrgh, kenapa diingetin sih?"
"Karena kamu udah janji."
"Fine." ujarnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Aku tahu dia kecewa, tapi aku akan mengabaikannya.
Astro membawaku ke arah belakang, ke sebuah pintu besar yang terbuka dan menemukan Kakek Arya sedang duduk ditemani empat ekor kucing hutan berwarna coklat dengan corak yang khas. Astro menghampiri kakeknya untuk menyalami dan mencium tangannya. Sedangkan aku mengikuti Astro melakukan hal yang sama.
"Faza boleh duduk." ujar Kakek.
Aku menurutinya. Astro baru saja akan ikut duduk, tapi Kakek menegurnya.
"Astro tahu kan udah bikin salah?"
Astro membatalkan rencananya untuk duduk dan berdiri mendekat ke kakeknya, "Astro tau, Kek."
"Lari tiga puluh lima putaran." ujar Kakek sambil menunjuk ke lapangan basket di hadapan kami.
Astro terlihat terkejut dan menoleh padaku. Entah apakah dia sedang memintaku membantunya atau bagaimana.
"Sekarang, Astro!"
"Iya, Kek."
Astro mengeluarkan handphone, dompet dan kunci mobil dari saku, lalu meletakkannya di meja dan segera berlari menuruti perintah kakeknya.
"Maafin Astro ya. Dia masih muda. Jalan pikirannya kadang pendek."
Aku mengangguk, "Kakek sehat?"
"Kakek sehat banget. Kan Faza bisa lihat sendiri." ujar Kakek dengan senyum yang sangat mirip dengan Astro. Kakek pasti tampan sekali saat masih muda.
Ada seekor kucing menghampiri kakiku. Aku mengangkatnya ke pangkuanku dan membelai tengkuknya perlahan. Sepertinya kucing itu menikmatinya.
"Faza kenapa milih Astro?"
Aku menoleh pada Kakek yang sedang menatapku. Aku sama sekali tak menduga akan mendapatkan pertanyaan itu di sini, tapi aku bisa menangkap tatapan mata Kakek yang tulus bertanya dan bukan sengaja menyulitkanku dengan pertanyaan itu.
"Mm ... karena dia Astro." ujarku ragu-ragu.
Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Aku menatap Astro di kejauhan yang sedang menjalani hukuman larinya. Aku merasa kasihan sekali padanya.
"Faza ga ngerti gimana jelasinnya ke Kakek, tapi rasanya kalau sama Astro semuanya baik-baik aja." aku melanjutkan kalimatku. Sepertinya lebih baik jika aku menjelaskannya seperti ini.
Kakek mengangguk perlahan, "Sebenarnya kalian udah dijodohin sejak Faza pindah. Kakek sama Dewanto cuma memantau gimana kalian ke depannya. Kalau kalian memang punya pilihan yang lain, kami ga masalah, tapi jangan bilang sama Astro soal ini. Kalau Faza bilang, mungkin Astro akan minta kalian nikah sekarang."
Ada apa dengan semua orang ini? Kenapa membicarakan masalah menikah dengan begitu terbuka padaku? Tidakkah mereka tahu, aku masih berusia enam belas tahun?
"Kakek dulu menikah di usia delapan belas tahun, nenek masih tujuh belas tahun saat itu, tapi kehidupan kami baik-baik aja. Masalah datang, masalah pergi, itu bagian dari yang kita lewati dalam hidup. Yang paling berat adalah saat nenek pergi. Faza pasti tahu gimana rasanya."
Aku mengangguk. Kehilangan orang yang dicintai adalah hal yang sulit sekali. Duniaku terasa tak berharga dan merasa ingin ikut mereka saja. Sebetulnya aku tak tahu kenapa Kakek menceritakan ini padaku, tapi aku akan menjadi pendengar yang baik.
"Menikah ga dosa kok. Astro sama Faza bisa kalau kalian mau, tapi Jaya (ayah Astro) ngasih saran buat nunggu Astro selesaiin proyeknya dulu. Faza bisa nunggu?"
Aku mengerti sekarang, tentang bagaimana berbedanya keluarga ini dibanding keluarga lainnya. Kurasa Astro memang sudah disiapkan untuk menjadi laki-laki yang bisa memikul tanggung jawab sejak masih belia karena menikah bukan masalah sederhana.
Terbukti Astro jauh lebih bisa diandalkan dari kebanyakan laki-laki lain. Aku bisa membayangkan bagaimana kedua orang tuanya mempersiapkan Astro agar bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri sebelum mengambil tanggung jawab atas perempuan lain dalam hidupnya. Kurasa, keluarga ini luar biasa.
Aku menatap mata Kakek, "Faza bisa nunggu kok, Kek. Faza juga butuh waktu buat nyiapin diri. Faza ga mau kalah sama Astro."
Ada senyum lebar yang tulus di bibir Kakek. Kurasa kami berdua sudah menemukan jawaban yang kami cari.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-