67 Tahun
67 Tahun
Di ruangan rawat khusus itu hanya ada satu orang yang diperbolehkan menemani di dalam, maka kami menjaga Opa bergantian. Saat ini ada Oma yang menemani, tapi aku dan Astro berniat membiarkan Oma pulang untuk beristirahat. Kami berdua yang akan menjaga Opa bergantian malam ini.
"Kamu tau, berkas yang kamu kerjain tadi harusnya udah dikerjain sama akuntan." ujar Astro di tengah langkah kami menuju mini market di gedung sebelah rumah sakit untuk membeli minuman dan camilan.
"Aku tau. Aku yang minta buat ngerjain manual karena mau tau prosesnya."
"Kamu ga perlu ngerjain itu lagi. Kamu bisa kok cuma ngawasin aja. Sistem yang dibikin opa udah bagus. Opa bisa bertahan ngurusin toko di usia lanjut begini karena karyawannya bisa dipercaya."
Aku tahu dia benar. Akulah yang merepotkan diri dengan hal yang sebetulnya tak perlu kukerjakan. Aku hanya ingin mengetahui semua prosesnya dengan baik karena ingin sistem untuk toko Lavender's Craft milikku nanti sebaik sistem yang dibuat Opa.
"Ada kabar dari pak Simon?" Astro bertanya sambil membuka pintu kaca mini market.
"Terakhir pak Simon ke rumah sebelum kita ujian. Besok pagi aku telepon." ujarku sambil berjalan menuju rak minuman. Aku tahu maksudnya menanyakan Pak Simon. Dengan kondisi Opa sekarang, sepertinya aku juga harus terbiasa mengurusi perusahaan peninggalan ayahku.
Astro hanya menggumam mengiyakan sambil mengamit beberapa cup puding, lalu menunjuk ke arah deretan kopi di dalam lemari pendingin.
"Mau kopi?" aku bertanya karena mengira dia menginginkannya.
"Satu aja."
Aku mengamit dua botol kopi dan menyusuri lorong untuk mencari coklat, biskuit dan roti untuk menemani jika kami lapar nanti. Kemudian membayar semua belanjaan dan kembali ke rumah sakit dalam diam.
"Are you okay?" Astro bertanya saat sampai di pintu utama rumah sakit.
"Udah lebih tenang kok." ujarku jujur.
"Aku ga bisa pinjemin tanganku lagi. Yang tadi udah cukup lama, jadi kamu jangan banyak pikiran. Aku ga bisa bantu kamu nenangin diri lagi nanti." ujarnya dengan tatapan khawatir. Dia benar-benar mengerti aku.
Aku menatapnya dan memberinya seulas senyum untuk memintanya tak mengkhawatirkanku sambil terus menyusuri koridor yang terang dengan cahaya lampu. Sudah malam sekarang.
"Mm ... kamu pernah bilang kalau kakek kamu lagi istirahat jadi ga bisa diketemuin sembarang orang. Maksud kamu, lagi sakit?" aku mencoba menanyakan pertanyaan yang sudah lama sekali berada di dalam kepalaku.
Kami baru sampai di depan ruang rawat khusus tempat Opa dirawat. Ada sebuah keterangan yang tertulis di pintu: Tn. Dewanto, 67 Tahun.
"Dulu sakit, tapi sekarang udah lebih sehat. Ada dokter khusus di rumah yang bantu jaga kakek." ujarnya sambil mengajakku duduk di kursi yang tadi kami tinggalkan.
Aah, itu dia rupanya.
Kami tak memiliki dokter khusus untuk menjaga Opa di rumah. Opa masih harus pulang-pergi untuk cek kesehatan secara berkala di rumah sakit. Andai saja ada dokter yang berjaga di rumah, mungkin hal seperti ini tak akan terjadi. Namun membayar dokter pribadi pasti mahal sekali, bukan?
Walau Opa sudah pensiun dan semua cabang toko kain aku yang mengelola, tapi selama Opa masih ada, semua keuntungan dan aset yang menjadi milik perusahaan masih berada di bawah kepemilikan Opa. Opa memberiku uang sebagai gaji karena aku telah membantu. Dari uang yang diberi Opa itulah aku bisa mengembangkan toko Lavender's Craft hingga memiliki sebuah ruko khusus kerajinan tangan karena aku hanya memakai sedikit untuk kebutuhan harianku.
Sedangkan perusahaan peninggalan Ayah, semua keuntungan dan asetnya masuk ke rekening khusus yang baru bisa kugunakan setelah aku berumur 17 tahun. Opa yang mengaturnya seperti itu karena tak ingin aku menjadi anak manja yang menghabiskan uang untuk hal yang tak perlu.
Sebetulnya aku bisa saja meminta sesuatu dengan uang dari rekening khusus itu, tapi aku sudah merasa cukup dengan semua yang ada. Aku tak membeli barang baru hanya karena menginginkannya, aku juga tak berpikir untuk membeli barang mewah hanya agar terlihat sebagai anak yang memiliki uang yang bisa dihamburkan. Aku bahkan belum menggunakan satu permintaan khusus dari Opa yang Opa beri padaku sebagai hadiah karena aku bersedia bersekolah di sekolah formal.
Aku lebih suka hidup sederhana karena Bunda yang mengajarkanku seperti itu. Bunda selalu berkata tak perlu membeli barang baru jika aku masih memiliki yang lama dan masih layak untuk dipakai. Itu sebabnya aku jarang sekali berbelanja dan kebanyakan barang-barangku adalah barang lama.
Tiba-tiba aku berpikir, sebesar apa perusahaan dan aset kedua orang tua Astro? Aku ingat Denada pernah menyebut tentang masuk lingkungan anak-anak orang berpengaruh, yang seharusnya ada Astro di dalamnya. Sepengetahuanku, Denada adalah anak orang berada sejak pertama kali kami bertemu. Namun baru beberapa bulan lalu Denada masuk ke lingkungan itu.
Apakah itu berarti keluarga Astro sebetulnya jauh lebih berada dan berpengaruh dibanding keluarga Denada? Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?
Aku menatap Astro yang duduk di sebelahku. Dia sedang berkutat dengan handphonenya. Dia selalu terlihat biasa saja bagiku. Dia memang memiliki banyak barang-barang bagus dan bermerek, tapi dia tak pernah terlihat seperti kebanyakan orang kaya lainnya yang menunjukkan kekayaan dengan membeli apapun yang bisa mereka beli.
Pernah satu kali dia mengganti motor karena aku berkata aku tak suka dengan jok motor sebelumnya yang terlalu tinggi, tapi kami bahkan tak pernah menaikinya bersama. Kami lebih sering memakai mobil miliknya untuk pergi ke manapun. Mobil itu pun adalah mobil yang sudah dimilikinya sejak masih SMP. Walau tentu saja mobil itu adalah mobil yang pantas untuk mendapat komentar iri dari siapapun.
"Kenapa?" Astro bertanya sambil mematikan handphone dan memasukkannya ke saku jaket.
Aku menggeleng, "Cuma baru sadar beberapa hal."
"Keberatan berbagi sama aku?"
"Ga sih, tapi kayaknya ga perlu dibahas."
Astro menatapku lekat, "Kamu spesial, kamu tau?"
Aku menaikkan bahu karena tak mengerti maksud kalimatnya. Aku tak pernah merasa spesial atau semacamnya, dan jelas aku bukanlah tuan putri yang terbiasa dilayani.
"Aku telat masuk sekolah setahun karena disleksia. Aku kesulitan baca, ngeja, bedain warna dan sering salah ngomong. Ibu baru sadar pas udah waktunya aku masuk sekolah jadi aku terpaksa masuk sekolah di tahun berikutnya. Aku tau gimana dilemanya ibu dulu. Sering nangis karena ga ngerti gimana ngajarin aku sampai akhirnya minta dokter buat bantu terapi.
Disleksia ga ngaruh ke kecerdasanku sih, tapi emang ganggu banget dan bisa ngaruh sampai dewasa kalau ga ditangani. Ibu pernah hampir nyerah dan ngurung diri di kamar dua minggu. Sama sekali ga mau ketemu aku. Aku pikir aku ga akan pernah liat ibu lagi, tapi ternyata ibu cuma butuh waktu buat nenangin diri. Aku masih inget sampai sekarang gimana perasaanku dua minggu ga ketemu ibu. Aku bisa paham kalau kamu ngalamin hal yang jauh lebih berat." ujarnya sambil menatap mataku lekat dalam setiap kata yang diucapkannya.
Aku tahu dia tulus sejak pertama berkenalan dulu. Sepertinya sekarang aku tahu alasannya tak bisa membiarkanku sendirian dan kenapa dia sangat perhatian. Dia tak pernah mengasihaniku. Dia melakukannya karena peduli.
Entah apakah karena aku terlalu terharu. Mataku basah dan ada air menetes di pipiku. Aku berusaha mengelap mata dengan ujung kemeja yang kupakai, "Sorry, aku ga tau kenapa aku nangis."
Ini adalah air mata pertama sejak bertahun lamanya. Entah kenapa sulit sekali berhenti. Bahkan sepertinya air mataku mengalir semakin deras.
"Kamu udah laluin bertahun-tahun ini dengan baik. Aku bakal jadi orang paling bodoh kalau aku ga milih kamu." ujarnya.
Dari sela-sela penglihatanku yang kabur, aku bisa melihatnya tersenyum lebar. Aku ingat bertahun setelah melewati jembatan menuju rumah pohon untuk pertama kalinya. Dia membiarkanku menangis hingga aku menyelesaikan emosi dalam diriku. Dia membiarkanku mengelolanya sendiri.
Sepertinya saat ini dia sedang melakukan hal yang sama. Bahkan kurasa, senyumnya saat ini pun sama dengan senyumnya bertahun lalu.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, lalu mengelap sisa air mata saat merasa cukup tenang untuk bicara. Aku menatap matanya yang masih menatapku lekat, "Thank you."
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-