Klappertaart
Klappertaart
"Ready?" Astro bertanya saat aku sedang mengamati arsitektur depan bangunan restoran.
"Mau ga mau kan? Kita udah sampai sini."
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, lalu mendahuluiku berjalan menuju restoran. Dia memberiku isyarat untuk berjalan di sisinya dan aku menurutinya.
Restoran itu dibangun dengan desain modern tradisional. Material kayu dan baja yang kokoh terlihat mendominasi bangunannya. Aku sempat menarik napas panjang saat memasuki area restoran.
Astro mengajakku melangkah lebih dalam, menaiki tangga yang memiliki teralis baja berukir elegan menuju lantai tiga. Dia menghentikan dan menoleh padaku sebelum sampai di anak tangga paling atas, "Mungkin lebih baik kalau kamu pegang tanganku."
Sudah berbulan-bulan lamanya sejak terakhir kali kami saling menyentuh. Mungkin dia menawarkan diri agar aku merasa lebih tenang. Aku memang merasa gugup, tapi kurasa aku bisa mengendalikannya sekarang.
"Ga usah. Kita kan udah janji yang waktu itu yang terakhir."
Aku tahu ada tatapan menyayangkan di matanya, membuatku menyadari bahwa mungkin dialah yang membutuhkan genggaman tanganku. Namun dia tak mengatakan apapun tentang itu, maka aku akan berpura-pura tak tahu.
"Aku udah bilang belum kalau mungkin bakal ada Donny di sini?" Astro bertanya.
Aku terkejut sekali mendengarnya. Aku akan memilih pulang dari pada harus bertemu Donny sekarang. Kelebatan kejadian berbulan-bulan lalu masih segar di ingatanku.
Astro menggeleng perlahan dan mengamit tangan kananku, "Hari ini aja."
Sebetulnya aku curiga dia sengaja menyebut Donny sebagai alasan untuk menggenggam tanganku, tapi mau tak mau aku akan menurutinya. Kemampuan kalimat persuasifnya benar-benar harus kuwaspadai lain kali.
Astro membimbingku masuk ke sebuah ruangan besar. Sepertinya ini adalah ruangan privat yang didesain untuk perkumpulan tertentu, dengan banyak spot sofa, satu bar lengkap dengan bartendernya, dua meja panjang penuh penganan dan minuman, berbagai meja bundar untuk berkumpul dan spot terbuka yang lebar di balkon.
Ada sekitar 20-30 orang berkumpul di sini. Mereka memperhatikan kami saat kami memasuki ruangan, menatap tepat ke tangan kami yang saling menggengam.
Aku bisa mengenali Denada, Paolo, Kak Sendy, Riri, Angel dan Donny di berbagai spot yang berbeda. Denada bangkit dari salah satu sudut sofa dan segera menghampiriku dengan senyum yang lebar sekali.
Denada menatapi penampilanku tak percaya, "Aku pikir kamu ga jadi dateng. Kamu cantik banget."
Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Aku memang sempat mengatakan pada Denada bahwa aku merasa gugup semalam. Aku berniat akan membatalkan kedatanganku karena terlalu banyak berpikir. Denada mengajak kami ke sofa yang tadi dia tinggalkannya. Aku ingin segera memisahkan diri dan berbincang berdua saja dengan Denada, tapi Astro masih menggenggam tanganku dan sepertinya tak berniat melepasnya.
Aku mengedarkan tatapanku ke sekeliling. Aku melihat dengan jelas siapa saja yang berbisik-bisik membicarakan kedatangan kami, juga berbagai tatapan dengan arti yang berbeda. Aku tahu dengan jelas apa arti dari semua tatapan itu walau ada yang tersenyum canggung saat bertatap mata denganku.
Paolo dan Kak Sendy menatapku dengan senyum lebar. Aku membalas senyum mereka karena merasa tak sopan jika hanya diam saja. Mereka beranjak mendekat pada kami dan sepertinya ingin bergabung.
Angel dan Riri menatapku dengan tatapan kebencian yang sama seperti yang mereka perlihatkan padaku tahun lalu. Aku tak terkejut melihatnya dan aku akan mengabaikannya saja. Yang membuatku sedikit merasa aneh adalah Donny. Tatapannya padaku terasa berbeda. Walau aku akan tetap menghindarinya semampuku.
Banyak orang yang belum kukenal di ruangan ini, dengan tatapan mata yang memiliki intensitas yang berbeda. Sepertinya sekarang aku mengerti apa maksud Opa memintaku datang ke pertemuan ini.
"Dia yang kamu ceritain itu?" ujar seorang perempuan saat kami sampai ke sofa yang ditinggalkan Denada beberapa saat lalu.
Denada tersenyum dan mengangguk. Aku tahu yang dimaksud "dia" mungkin adalah aku.
Perempuan itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan padaku, "Aku Viona. Kamu Faza kan? Denada cerita banyak soal kamu."
Aku ingin membalas jabat tangannya, tapi Astro tak melepas genggaman tangannya. Hingga aku hanya mampu mengangguk dan tersenyum.
"Ternyata beneran protektif banget ya? Ga nyangka. Astro yang ga pernah dateng, sekalinya dateng langsung bawa pacar."
"Ini calon istriku." ujar Astro dengan senyum bangga.
Aku memberi Astro tatapan tajam. Aku yakin sekali semua orang di ruangan ini bisa mendengar kalimatnya, tapi dia justru memberiku senyum menggodanya yang biasa. Dia benar-benar menyebalkan.
Astro mengajakku duduk di salah satu sofa panjang yang kosong. Dia masih menahan ganggaman tangannya padaku hingga membuatku berpikir dia benar-benar tak akan melepasku hari ini.
Sudah ada beberapa penganan dan minuman di meja di hadapanku. Salah satunya adalah klappertaart yang menguarkan aroma manis yang khas.
"Kapan kalian mau nikah?" Viona bertanya.
"Tiga tahun lagi." ujar Astro.
Aku menegur Astro dengan memberi isyarat pada genggaman tangan kami, tapi dia mengabaikanku. Aku merasa malu sekali.
"Jangan ada yang berani ganggu mereka ya. Kelar hidup kalian kalau berani ganggu adik kelas kesayanganku." ujar Kak Sendy yang baru saja duduk di sebelah Astro, dengan Paolo yang menduduki bagian lengan sofa di sebelahnya.
"Kalian kenal juga?" Viona bertanya.
"Pelukis masa depan Indonesia, masa aku ga kenal?" ujar Kak Sendy.
"She is adorable, don't you think (Dia manis banget, kan)?" ujar Paolo.
Pujian dari mereka membuatku salah tingkah, tapi genggaman tangan Astro membuatku menahan diri untuk tak menutupi wajahku. Tangannya terasa hangat dan nyaman, seperti yang selalu kuingat.
"Kapan kalian jadian?" seorang laki-laki yang duduk di sebelah Viona bertanya.
"Tahun lalu." Astro menjawab dan menoleh padaku. "Dia Xavier, yang disebelahnya Hendry."
"Mm ... hai." ujarku.
"Suara kamu bagus. Tertarik jadi penyanyi? Nanti masuk label rekaman punya papaku." ujar Hendry.
Seingatku sapaanku tadi adalah pertama kalinya aku bersuara sejak masuk ke ruangan ini. Bagaimana dia bisa menilai seseorang dengan hanya sekali mendengarnya bicara?
"Aku ... ga pernah kepikiran sih."
Hendry mengeluarkan dompet dan memberiku satu kartu nama, "Telpon aku kalau kamu mau jadi penyanyi."
Aku menatap kartu nama yang diberikan Hendry. Ada nama Hendry Setyama, alamat dan nomor telepon, serta tulisan Nusantara First Records. Aku tahu label musik ini adalah yang terbesar dan paling populer di negara ini.
Percakapan kami terjadi secara natural setelahnya. Dari informasi yang kudapat, mereka benar-benar anak-anak orang berpengaruh dan jelas bahwa mereka adalah anak orang berada.
Kak Sendy ternyata adalah anak dari Hanum Cokronegoro, pelukis aliran surealisme kenamaan, yang juga adalah ketua perkumpulan kolektor barang antik seantero negeri. Paolo adalah anak dari Jendral TNI AL, dia cukup mengenal Om Ganesh karena papanya sering bertemu untuk urusan pekerjaan. Xavier adalah anak dari Sekretaris Kedutaan Besar Polandia. Sedangkan Viona adalah anak dari orang tua yang memiliki jabatan tinggi di imigrasi, restoran ini adalah milik keluarganya yang sudah resmi diwariskan untuknya.
Walau aku merasa mereka mungkin saja menggunakan nama orang tua untuk menapaki jalur sosialita, tapi mereka memiliki kemampuan dan impian mereka masing-masing. Aku bisa membaur dengan mereka dalam waktu singkat karena mereka memiliki kepribadian yang menyenangkan.
"Boleh tau orang tua kamu siapa? Astro ga akan milih perempuan sembarangan kan?" Xavier bertanya.
"Abaikan dia. Aku ga peduli kamu anaknya siapa, kamu cukup punya talenta buat jadi apapun yang kamu mau." ujar Hendry.
"Tapi Vier bener. Astro ga mungkin pilih sembarang orang." ujar Viona.
Aku dan Astro saling bertatapan. Sepertinya aku tahu apa yang ada di dalam pikirannya, maka aku mengangguk.
"Dia cucunya opa Dewanto." ujar Astro.
Seketika hening di antara kami. Teman-teman baruku saling menatap satu sama lain. Bahkan Kak Sendy dan Paolo bereaksi sama.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-