Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Saliva



Saliva

Kami sampai di rumah saat Oma baru saja akan berangkat ke rumah sakit. Astro menolak meninggalkanku sendiri hingga menumpang mandi di kamar mandi dekat dapur dan berganti pakaian dengan pakaian ganti yang ada di mobilnya.     

Dia memilih tidur di sofa di ruang tengah karena tak ada kamar lebih di rumah ini. Satu-satunya kamar lebih yang seharusnya untuk kamar tamu sudah kuubah menjadi ruangan khusus mengerjakan semua pesanan kerajinan tangan bertahun lalu. Walau aku sudah memiliki toko, tapi ruangan itu belum kuubah kembali menjadi kamar tamu.     

Aku tak sampai hati membiarkannya tidur di sofa seorang sendiri, hingga memutuskan untuk menemani. Kami memilih sofa yang berbeda untuk berbaring, dengan letak sofa berhadapan dan meja yang memisahkan.     

"Astro." aku memanggilnya dengan mata terpejam karena mataku terasa berat sekali.     

"Something bothering you (Ada yang kamu pikirin)?"     

"Kaki Kakek kenapa?" aku bertanya karena mengingat Kakek Arya memakai tongkat saat kami masih di rumah sakit.     

"Kena tembak di Timor Leste. Kalau kamu mau tau cerita lengkapnya besok bisa nanya sendiri ke kakek."     

Aku memaksa membuka mata yang terasa berat dan mendapati Astro sedang menatapiku di seberang sana, "Aku pikir Kakek ga bisa ditemuin sembarang orang?"     

"Kamu kan bukan sembarang orang. Lagian emang kakek yang minta kita ke rumah besok."     

"Kita mau ngapain?"     

"Besok kamu liat sendiri."     

"Kamu ga bisa ngasih tau aja?"     

"Sayangnya ga bisa. Ada yang mau kakek omongin sama kamu."     

"Trus kamu mau ngapain?"     

"Nganter kamu."     

"Kalau cuma nganter aku bisa minta tolong Pak Said, jadi kamu bisa istirahat."     

"Kakek minta aku yang nganter."     

"Kamu ga bisa nolak?"     

"Menurut kamu aku bakal biarin kamu ke sana sendiri?"     

Aku tersenyum bodoh. Entah apa yang kupikirkan. Dia memang selalu memaksa menemaniku ke manapun. Kenapa aku masih juga bertanya?     

"Mafaza Marzia."     

Aku tak mengatakan apapun dan hanya menunggunya menyelesaikan kalimatnya.     

"Siapin diri kamu."     

"Buat apa?"     

Dia tak menjawab pertanyaanku dan justru memejamkan mata. Aku tak tahu apakah dia benar-benar tidur, tapi aku tak akan mengganggu. Dia sudah cukup lelah sejak kemarin. Terlebih, aku juga lelah.     

***     

Kami bertemu Denada dan Mayang yang baru saja akan pulang setelah menjenguk Opa.     

"Opa udah sadar, Za." ujar Mayang. Informasi ini membuat hatiku melepas beban berat yang sejak kemarin tak beranjak pergi. "Tapi aku harus pulang sekarang. Udah janji sama mama mau nemenin ke rumah temennya."     

"Aku juga ga bisa nemenin kamu di sini. Aku harus nganter Mayang. Nanti kalau ada waktu lagi, aku jenguk opa lagi ya." ujar Denada.     

"Ga pa-pa. Thank you udah dateng. Sorry, aku ga bisa nemenin kalian tadi." ujarku.     

Denada memberiku senyum pengertian sebelum menatap Astro, "Tolong bantu jaga sahabat kita ya."     

Astro tak mengatakan apapun dan hanya mengangguk dalam diam.     

"Aku masuk dulu ya, mau liat Opa. Kalian pulangnya hati-hati." ujarku sambil memeluk Mayang dan Denada bergantian, lalu berusaha berjalan secepat mungkin ke ruang rawat.     

Aku melirik jam di lengan, pukul 15.25. Aku dan Astro tidur nyenyak sekali. Kami baru bangun saat Bu Asih pamit pulang karena ada saudaranya yang melahirkan. Kami segera berangkat ke rumah sakit sesaat setelahnya karena tak ingin ada sesuatu terjadi jika kami hanya berdua saja di rumah.     

Ada Oma dan Ibu saat kami sampai di depan ruangan khusus Opa dirawat. Kami menyalami dan mencium tangan keduanya. Oma memeluk dan mengelus kepala, dengan kelegaan di tatapan matanya yang membuatku merasa lebih baik.     

"Masih ada ayah di dalem. Kalian berdua boleh masuk kok, tadi dokter ngijinin. Asal ga berisik dan bikin opa stres." ujar Ibu sambil mendorong kami perlahan menuju pintu.     

Astro membukakan pintu untukku dan kami masuk bersama. Kami menyalami dan mencium tangan Opa dan Ayah bergantian. Aku masih memegangi tangan Opa yang masih terasa lemah sambil berdiri di sebelah tempat tidur pasien dan membiarkan Ayah duduk di satu-satunya kursi yang ada.     

"Mafaza sudah makan?" Opa bertanya dengan suara pelan.     

Air mataku turun mendengar Opa mengatakannya. Kenapa yang diingat adalah aku sudah makan atau belum?     

Aku mengangguk dalam diam. Makanan terakhir yang masuk ke perutku adalah tadi pagi saat aku dan Astro sarapan. Kami belum sempat makan siang karena langsung berangkat setelah bangun tidur. Aku sengaja berbohong hanya agar Opa tak mengkhawatirkanku.     

"Jangan menangis. Opa sehat kok. Walau mungkin akan merepotkan Mafaza untuk mengelola perusahaan Abbas (ayahku), karena Opa harus memakai kursi roda."     

"Ga pa-pa, Opa. Faza yang harusnya makasih karena Opa udah mau bantu Faza ngurusin perusahaan Ayah." ujarku dengan air mata masih menggenangi pelupuk mata.     

Aku tahu sejak kemarin bahwa ini adalah saatnya aku mengelola perusahaan warisan ayahku. Aku sempat menelpon Pak Simon tadi pagi dan memintanya untuk datang sehari sebelum masuk sekolah karena aku ingin bicara.     

Aku menatapi kaki Opa dalam pandangan mataku yang kabur. Apakah kaki Opa tak bisa berfungsi lagi?     

"Kaki Opa kenapa?" aku memberanikan diri untuk bertanya.     

Opa menggeleng perlahan dan berusaha menggenggam tanganku, "Kaki Opa baik, hanya lemas. Dokter bilang lebih baik Opa pakai kursi roda untuk sementara."     

Sepengetahuanku, Opa tidak pernah berbohong selama ini. Kali ini pun Opa tak mungkin berbohong padaku, bukan?     

"Gimana proyek kamu?" Opa bertanya pada Astro.     

"Kayaknya bisa selesai lebih cepet, Opa. Opa ga perlu khawatir. Astro bisa handle kok."     

Opa mengangguk perlahan dan menatapku yang masih mengusap mata, "Besok Mafaza ikut Astro ke rumah Arya ya."     

Aku mengangguk. Astro sudah mengatakannya sebelum tertidur di sofa. Aku tak tahu apa yang mereka rencanakan dan akan lebih baik jika aku melihatnya lebih dulu. Aku percaya mereka tak mungkin menyakitiku.     

"Tadinya Opa mau nikahin kalian besok." tiba-tiba Ayah membuka suara.     

Aku mengalihkan tatapan pada Ayah karena terkejut. Aku menoleh ke arah Astro yang berdiri di sebelahku. Astro sedang menatap ayahnya dengan tatapan terkejut dan wajah yang merona merah sekali.     

Kami menikah besok? Yang benar saja?     

"Tapi Ayah bilang jangan dulu. Opa masih sehat dan kalian ga perlu buru-buru. Biar Astro selesaiin proyeknya. Ayah minta kalian sabar." Ayah melanjutkan penjelasannya.     

Ada tatapan antara Ayah dan anak laki-laki yang bisa kupahami dengan baik. Aku tahu Astro menelan salivanya sesaat setelah ayahnya menyelesaikan kalimatnya.     

Dia menoleh padaku dan aku segera mengalihkan wajah pada Opa. Aku tahu topik ini sensitif sekali. Aku tak ingin kami bertatapan saat ini. Bahkan sepertinya aku tak sanggup melihat wajahnya beberapa waktu ke depan.     

Uugh, kenapa pula hal ini harus dibicarakan di depanku? Aku merasa malu sekali.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.