Arogan
Arogan
"Aku ga suka sama kamu."
"Aku juga ga suka sama kamu, tapi aku ga pernah ganggu kamu kayak kamu ganggu aku. Aku ga pernah ada niat nyakitin orang kayak kamu yang seenaknya bikin orang lain pingsan dan luka!"
"Oh, kita beda. Kalau aku ga suka, bakal aku hancurin. Yang keliatan ganggu bakal aku beresin!" ujar Donny sambil meraih lenganku dan meremasnya dengan keras.
Aku menepis tangannya dan membuatnya terkejut. Sejak mengikuti sesi kelas muay thai, aku memiliki refleks dan kekuatan tubuh yang bertambah. Sepertinya Donny baru saja menyadari bahwa aku saat ini bukanlah aku yang sama seperti beberapa bulan yang lalu ditemuinya.
"Kamu sakit jiwa ya? Emangnya kamu siapa? Mentang-mentang kamu ga suka trus kamu bisa hancurin apa aja?" aku bertanya sambil menunjuk dadanya. Ada sesuatu yang bergolak di dalam dadaku. Aku tak percaya ada manusia bebal yang menganggap dirinya superior dan memandang rendah orang lain hanya karena dia tidak menyukainya.
Ada ragu-ragu di tatapan mata Donny setelah aku mengatakannya. Mungkin dia sempat berpikir bahwa pendapatku benar, tapi sedetik kemudian tatapannya berubah kembali.
"Aku Donny Pranoto. Bisa lakuin apa aja yang aku mau. Sekarang, aku ga suka sama kamu dan aku mau kamu dapet pelajaran karena bikin mataku iritasi liat kamu keliaran." ujar Donny yang baru saja akan meraih bahuku, tapi aku mendorong tubuhnya hingga dia mundur selangkah ke belakang.
"Mata kamu iritasi katamu? Mata kamu baik-baik aja!! Mungkin hati kamu yang terlalu kotor buat biarin aku lewat aja pas kebetulan kamu liat. Dan kamu terlalu arogan buat biarin orang biasa kayak aku hidup damai tanpa diganggu." ujarku setengah tertawa.
Dari tatapan matanya sepertinya Donny menemukan kebenaran dalam kalimatku. Dia hanya terlalu tinggi hati untuk mengakui kesalahannya, tapi sedetik kemudian tatapannya berubah kembali.
"Banyak omong!!" ujar Donny yang berusaha menamparku, tapi lengannya ditahan oleh Zen.
"Kalau mau berantem sama aku aja, Don. Jangan sama perempuan. Kamu mau jadi pecundang?" ujar Zen sambil mendorong tubuhku mundur perlahan.
"Minggir. Aku ga ada urusan sama kamu." ujar Donny yang berusaha menghempaskan Zen ke samping, tapi Zen bertahan.
Donny mengepalkan tangannya ke wajah Zen, tapi Zen menangkisnya. Zen memukul dada Donny dan membuatnya mundur beberapa langkah ke belakang.
"Bantuin, beg*!" Donny berteriak memanggil temannya yang sejak tadi hanya diam.
Temannya terlihat ragu untuk maju, tapi tetap menurut. Mereka berdua menuju ke arah Zen, sepertinya berniat akan melawan Zen berduaan. Dasar pecundang.
Aku menangkis lengan teman Donny saat dia akan memukul Zen. Dia terlihat terkejut, tapi segera mengepalkan tangan ke wajahku. Aku menepisnya dengan menggenggam lengannya, lalu menendang dadanya untuk mendorong tubuhnya mundur.
Dia segera menyadari bahwa dia harus melawanku. Dia berlari ke arahku, tapi aku bisa menghindarinya dengan mengambil beberapa langkah ke samping karena dia terlalu emosi. Dia terjerembab ke tanah sesaat setelahnya.
Sialnya, dia menendang tulang betisku setelah terjatuh. Aku ikut terjatuh karena telat menghindarinya walau kami berdua segera bangun dengan tubuh oleng. Dia terlihat marah sekali.
"Kamu ngapain sih mau aja disuruh-suruh? Ini kan bukan urusan kamu. Emangnya kamu dibayar?" aku bertanya.
Andai saja dia tak begitu marah, mungkin dia masih memikirkan kalimatku sesaat lalu. Namun dia terlanjur merasa terintimidasi olehku, maka kalimatku sepertinya hanya semakin membuatnya bertindak tanpa berpikir. Dia maju untuk menjambak rambutku, tapi aku berhasil menghindar. Aku menendang kelaminnya dengan kencang dan membuatnya mundur sambil menatap kesakitan ke arahku.
Aku menoleh ke arah Zen dan Donny berada. Sudah ada darah bekas pukulan di pelipis Donny, sedangkan Zen sedang menendang tangan Donny yang berusaha meraihnya.
Aku melihat motor Beni datang dengan cepat, dengan dua motor polisi dan satu mobil polisi dibelakangnya. Mereka tidak memasang sirine dan mendatangi kami tiba-tiba. Kedatangan mereka membuat Donny dan temannya terkejut karena tak sempat menghampiri motor untuk melarikan diri.
Polisi-polisi itu membekuk Donny dan temannya tanpa perlawanan. Mereka memaksa Donny dan temannya masuk ke mobil polisi. Motor keduanya dibawa serta oleh polisi lain yang menumpang di mobil.
"Muka kamu parah, Zen." ujar Beni.
Baru saat itu aku benar-benar menyadari ternyata pipi dan pelipis sebelah kiri Zen terkena pukulan yang terlihat lebam dengan warna biru keunguan. Wajahnya terlihat menyedihkan. Lehernya juga memerah. Apakah Donny berusaha mencekiknya?
"Kalian juga ikut ke kantor buat dimintai keterangan." ujar salah satu polisi pada kami.
"Kamu ikut saya." ujar polisi lain pada Zen sambil membawa Zen ke motor polisi. Sedangkan polisi yang lain menunggui motor Zen sambil menelepon entah siapa untuk menjemputnya.
"Kamu sama aku ya, Za." ujar Beni.
Kurasa aku akan menurut saja. Beni mengajakku ke motor miliknya dan kami berkendara mengikuti polisi di depan kami.
"Thank you, Ben. Untung kamu dateng cepet." ujarku. Kakiku yang terkena tendangan tadi terasa nyeri sekarang.
"Harusnya aku lebih cepet. Tadi aku sempet debat sama polisi, dikira kita lagi adain lomba balap. Aku udah nelpon Astro pas nunggu mereka koordinasi. Astro bilang dia mau langsung pulang, tapi belum tau bakal sampai sini jam berapa. Dia nitipin kamu ke aku dulu sementara."
Aah, sial! Astro pasti marah sekali.
Aku meraih ransel dan mengambil handphone. Sudah ada 42 panggilan telepon masuk, semuanya dari Astro. Sepertinya aku terlalu fokus dengan teman Donny hingga tak mendengar telepon masuk. Aku membuka aplikasi pesan dan menemukan berderet pesan dari Astro.
Astro : Beni bilang kalian dikejar Donny. Kamu di mana?
Astro : Tolong baik-baik aja, Faza. Aku pulang sekarang
Astro : Kasih aku kabar. Aku khawatir
Astro : Ada Beni lagi nyari kamu. Kamu di mana?
Astro : Angkat teleponku
Pesan terakhirnya adalah tiga menit yang lalu.
Aku : Aku ga pa-pa, Astro. Beni bawa polisi. Udah aman sekarang, kamu ga usah khawatir
Aku menunggu Astro membalas, tapi pesanku bahkan tidak dibaca. Mungkin dia benar-benar langsung pulang saat ini juga.
Kenapa situasi ini harus terjadi saat Astro sedang berada entah di mana? Astro pasti marah dan khawatir sekali, bukan? Lalu bagaimana aku harus menjelaskan kejadian ini pada Opa? Aku tak mungkin berbohong saat sedang berurusan dengan polisi seperti ini.
Saat aku sedang berkutat dengan pikiranku, Beni menghentikan motornya. Kami sudah sampai di kantor polisi.
Beni mengajakku masuk dan kami tiba di depan sebuah ruangan yang diberi dinding kaca, ada Zen duduk di kursi panjang di depan sana. Dengan Donny dan temannya berada di dalam ruangan dinding kaca itu, sepertinya mereka di interogasi lebih dulu.
Aku duduk di samping Zen, tepat di sebelah kirinya dan mengambil salep luka dari ransel. Aku mengamit dagu Zen agar menoleh padaku sebelum mengoleskan salep di pipi dan pelipisnya yang bengkak berwarna biru keunguan. Aku juga mengoleskan salep di lehernya yang memerah.
"Sorry ya, Zen." ujarku setelah selesai sambil menaruh salep di tangannya. "Kamu harus pakai itu setiap hari. Kamu juga harus ke dokter."
Aku tahu dia menahan napas saat aku menyentuhnya. Aku bisa membayangkan betapa Astro akan cemburu sekali jika melihat kami saat ini, tapi ini adalah hal kecil yang bisa kulakukan karena dia membantu melindungiku.
"Aku udah nelpon pamanku yang pengacara. Nanti dia dateng ke sini bantu kita ngurusin laporan perdata." ujar Zen.
Aku tak sampai hati untuk meminta Zen melepas Donny saat ini. Bagaimanapun Zen memang memiliki hak untuk melaporkan Donny dengan segala bukti yang dia miliki. Aku mengalihkan tatapan pada Beni yang sedang menatap ke dalam ruangan kaca yang membuatku menatap ke arah yang sama. Donny dan temannya terlihat pucat menahan amarah.
Kami menunggu sekitar lebih dari satu jam dalam diam, hingga paman Zen datang dan membantu mengurus segala hal yang perlu diselesaikan. Aku tak mengerti dengan urusan kepolisian semacam ini, tapi sepertinya paman Zen cukup bisa diandalkan.
Paman Zen mengawalku dan Zen saat kami di interogasi di ruangan yang berbeda dengan Donny dan temannya. Kami memberikan keterangan sesuai dengan yang kami alami, lalu keluar dan kembali ke kursi panjang yang tadi kami tinggalkan sambil mengawasi Donny dan temannya yang masih berada di ruangan itu sejak tadi.
Beni menyodorkan kantong berisi roti, biskuit, beberapa minuman dingin dan susu. Sepertinya dia meminta izin saat aku dan Zen dimintai keterangan untuk membeli makanan karena ingat kami belum sempat makan siang.
Aku mengambil sebuah roti dan sekotak susu, "Thank you, Ben."
Beni tersenyum singkat dan duduk di sebelahku, "Kayaknya Astro masih di jalan. Aku coba nelpon dia tadi, tapi ga nyambung."
Beni mungkin saja benar. Aku hanya tak mampu menemukan kalimat yang tepat untuk menanggapinya. Aku melirik jam di lengan setelah selesai mengisi perut, pukul 16.48.
Apakah memang membutuhkan waktu selama ini jika berurusan dengan polisi? Kami sudah berada di sini selama setengah hari.
Aku membuang bekas kemasan roti dan susu ke tempat sampah di depan ruangan kaca, lalu kembali ke kursi yang tadi kutinggalkan. Aku mengambil topi di ransel dan menutupi wajah dengannya sambil menyandarkan punggung ke punggung kursi.
Aku memikirkan kembali apa saja yang telah terjadi. Apakah Donny bisa dihukum kali ini? Mengingat kejadian perusakan resort Astro berbulan lalu, walau Om Ganesh percaya kejadian itu ada hubungannya dengan keluarga Pranoto, tapi mereka bisa melepaskan diri dengan mudah.
Bagaimana pula aku akan menjelaskan hal ini pada Opa? Aku tak ingin Opa masuk rumah sakit lagi karena aku. Kurasa aku juga tak sanggup melihat tatapan Oma yang sedih seperti beberapa minggu lalu.
Uugh, kenapa aku selalu mendapat masalah saat Astro tak ada bersamaku?
"Faza." kudengar suara yang kurindukan sebelum topi yang menutupi wajahku terbuka.
Aku mendapati Astro sedang memegangi topiku. Dia berlutut di hadapanku dengan wajah khawatir, marah dan dilema di saat yang sama.
Dia benar-benar pulang.
"Why are you always in trouble while I'm not around (Kenapa kamu selalu kena masalah kalau aku ga ada)?" Astro bertanya dengan suara dan tatapan yang lembut, walau aku tahu dia sedang menahan amarahnya.
"I have no idea."
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-