Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Citrus



Citrus

Astro pulang saat aku baru saja memutuskan untuk menelepon oma, yang juga membuatku membatalkan niatku. Dan aku tak tahu bagaimana harus memulai percakapan tentang opa yang memiliki anak asuh karena Astro terus bercerita tentang proyek robotnya yang akan diikutsertakan untuk kompetisi.     

"Kapan kompetisinya?" aku bertanya.     

"Akhir tahun ini." ujarnya dengan senyum tipis dan wajah berseri.     

Aku mengelus jarinya yang sejak pulang terus menggenggamku, "Semangat ya."     

Astro menatapku dalam diam sebelum bangkit dan mengangkat tubuhku, membuatku memeluk bahunya tiba-tiba.     

"Ini masih siang kalau kamu mau ngajakin aku making love, kamu tau?"     

Astro mengecup bibirku, "Aku cuma mau nemenin kamu berendem. Mau bath bomb lavender? Tadi aku beli aroma citrus sekalian pulang, mau coba?"     

Aku tersenyum manis, "Terserah kamu aja."     

Aku mengelus rambutnya dan mengecup dahinya. Aroma green tea menguar dari sana. Membuatku ingin berlama-lama memeluk kepalanya, tapi di dalam hati aku tahu dia mengkhawatirkanku.     

"Thank you." bisikku di telinganya saat dia menaiki tangga. "Aku bisa jalan sendiri, kamu tau? Aku kan berat."     

"Berat apanya? Berat kamu naik tiga kilo pun aku masih sanggup gendong."     

Kurasa aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Aku mengecup tengkuknya dan mengelus rambutnya selama dalam perjalanan kami ke kamar.     

Astro menurunkanku di tempat tidur, "Aku isi bath tub dulu."     

Aku hanya mengangguk dan menatapnya berlalu dalam diam. Aku menghela napas dan membaringkan tubuhku telentang. Aku sudah menyadari kepalaku terasa berdenyut sejak menelepon Paolo. Telentang seperti ini membuat denyut di kepalaku perlahan reda. Aku baru saja memejamkan mata saat Astro mengecup dahiku, membuatku membuka mata dan menatapnya dalam diam.      

"Mau istirahat aja?" Astro bertanya.     

Aku menggeleng, "Bath tubnya udah?"     

"Udah." ujarnya sambil meraih kaos yang kukenakan dan melepasnya. "Sekali?"     

Aku mencubit pipinya, "Katanya cuma mau nemenin aku berendem?"     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Bercanda, Honey."     

Aku memberinya tatapan sebal, tapi membiarkannya melepas pakaianku. Dia mengangkat tubuhku dan menurunkanku ke dalam bath tub perlahan sebelum melepas pakaiannya sendiri dan duduk di dalam bath tub tepat di belakangku.     

Astro mengecup tengkukku sambil melepas ikat rambut yang kupakai, lalu membasahi rambutku dan mengusapkan sampo beraroma green tea. Dengan aroma citrus yang menguar dari bath bomb di air, membuatku meradakan sensasi segar di tubuhku.     

Entah sudah berapa kali aku membiarkannya melakukan ini sejak kami menikah. Saat pertama kali dia melakukannya aku merasa malu, tapi sekarang aku tak akan malu-malu bahkan jika aku lah yang memintanya lebih dulu.     

"Anything you want to share with me (Ada yang mau kamu ceritain ke aku)?" Astro bertanya sambil memijat kepalaku.     

Laki-laki ini benar-benar mengerti aku, membuat sesuatu di dalam dadaku terasa hangat dan sebuah senyum terkembang di bibirku.     

"Kamu tau opa punya anak asuh?" aku bertanya.     

"Aku tau. Kamu tau dari mana?"     

"Tadi aku nelpon Paolo. Aku nanya dia sedikit soal opa."     

"Kamu mau ketemu anak asuh opa?"     

Aku memejamkan mata untuk menikmati pijatannya di kepalaku, "Kamu tau mereka ada di mana?"     

"Di yayasan ibu."     

Aku membuka mata, "Aku pernah ke panti asuhan sekali. Maksud kamu di sana?"     

"Di yayasan, Honey. Opa ngambil hak asuh anak waktu bunda kamu pergi dari rumah. Anak-anak asuh itu sekarang udah dewasa, kamu tau? Opa minta beberapa orang kerja buat yayasan waktu ibu ambil alih yayasan dari almarhum kakek. Setauku mereka masih kerja di sana, tapi yang lainnya aku ga tau mereka ke mana. Kamu bisa tanya opa kalau kamu mau."     

Aku menoleh untuk menatapnya, membuatnya menghentikan pijitannya di kepalaku. Kenapa tatapan matanya sendu?     

"Aku kelewatan ya?" aku bertanya.     

Astro menggeleng dan mengelus pipiku, "Kamu cuma kebanyakan mikir. Kamu selalu bisa nanya ke opa apapun yang kamu mau tau."     

"Tapi kalau emang bund ..."     

"Bunda kamu urusan lain." ujarnya untuk memotong ucapanku. "Tapi bukan berarti kamu bisa nganggep semuanya sama."     

Aah....     

Aku menghela napas, "Sorry.. Aku cuma ... aku ga tau aku kenapa."     

Entah kenapa aku memeluk lututku dan membenamkan kepalaku di sana. Aku tak tahu akan melakukan apa. Aku justru merasa lelah tiba-tiba.     

Astro merapatkan tubuhnya dan memelukku, "Aku ngerti ini berat buat kamu, tapi jangan sampai kamu kehilangan arah pikiran kamu."     

Aku tahu dia benar. Bagaimana mungkin aku bisa berpikir jernih saat pikiranku sedang begitu kacau?     

"Jangan ngerjain apa-apa dulu beberapa hari ini ya. Kamu harus istarahat." ujarnya sambil mengecup tengkukku.     

Aku menghela napas, "Kerjaanku banyak. Aku juga harus buka bisnis perhiasanku beberapa hari ke depan."     

"Kalau gitu hari ini kamu istirahat. Hari ini aja."     

Aku terdiam sebelum bicara, "Aku harus kerja jam tujuh nanti."     

"Sama Zen?" dia bertanya sambil mengelus bibirku.     

Tunggu sebentar....     

"Zen bilang opa bantu dia waktu dia bikin cafe. Kamu tau?"     

Astro terlihat terkejut.      

Sial ... aepertinya aku baru saja salah bertindak. Astro pernah meragukan opa yang menerimanya menjadi menantunya. Jika Zen menerima bantuan dari opa, mungkin saja opa memiliki niat lain.     

Aku menggeser dudukku menghadap ke arahnya dan mengelus rambutnya, "Ga perlu dipikirin, ya?"     

Rahangnya mengeras, "Dia ... bukan, dugaanku kayaknya bener."     

"Maksud kamu?"     

"Inget aku pernah punya dugaan soal hubungan Zen sama opa? Aku ga mau bilang ke kamu karena aku ga mau buru-buru nyimpulin, tapi kayaknya dugaanku bener."     

Aku menatapnya dalam diam sebelum bicara, "Kalau Zen bener-bener dianggap cucu sama opa, apalagi kalau opa ternyata punya banyak anak asuh, bukannya wajar aja opa bantu Zen buka cafe? Tapi ... aku inget soal ayah yang dibantu modal buat buka coffe shop waktu bunda pergi dari rumah. Menurutku, itu aneh."     

Lalu hening di antara kami. Kami sibuk berkutat dengan pikiran kami masing-masing.     

"Kita bisa nanya sama opa langsung soal ini?" aku bertanya untuk memecah keheningan.     

"Jangan. Kita ga perlu bahas apapun soal ini ke opa. Kita liat perkembangan dulu, ya?"     

Kurasa aku tak memiliki pilihan lain, maka aku mengangguk. Aku mengelus rambutnya dalam diam sambil terus berpikir. Entah kenapa aku merasa opa dan Zen memiliki hubungan yang lebih dalam dari yang kuketahui. Aku bahkan mulai menyesali keputusanku karena aku jarang sekali menemani opa saat bermain catur dengan Zen hingga aku tak tahu apa saja yang mereka bicarakan selama ini.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.