Hangat
Hangat
"Aku tiga belas tahun, kamu kan empat tahun lebih muda dariku. Kalau aku dewasa nanti, aku pasti ganteng banget. Nyesel kamu kalau ga mau sama aku." ujarnya dengan arogan, tapi entah kenapa tatapan matanya terlihat teduh.
Aku menatapnya tak percaya. Yang benar saja? Dia baru saja melamar anak perempuan berusia sembilan tahun! Kurasa aku akan mengabaikannya.
"Masih jauh?" aku bertanya.
"Masih jauh. Nanti aku lamar kamu lagi kalau umur kamu 22 tahun. Kamu pasti udah lulus kuliah kan?"
"Maksudku rel keretanya, Dio."
"Ck ... kamu biasanya manggil aku Kakak. Kak Dio. Bunda kamu pasti ngamuk kalau kita pulang nanti. Kamu bener-bener amnesia." ujarnya dengan gusar sambil berjalan menjauh untuk mencuci tangan.
Aku menatapnya dalam diam. Kenapa aku.merasa percakapan ini pernah terjadi?
Dio kembali berjongkok di depanku dan memberiku isyarat untuk memeluk bahunya, "Ayo aku gendong. Kita udah janji pulang sebelum sore."
"Tadi kamu bilang nama kamu Gerardio Evano?"
"Iya, ayo naik." ujarnya dengan kesal. "Aku anter kamu ke tempat pohon bunga lavender dulu. Katanya kamu mau gambar. Bagus kamu inget nama bunganya walau ga inget sama aku."
Anak laki-laki ini benar-benar aneh. Dia bisa saja langsung mengantarku pulang saat ini juga. Dia tak perlu memaksakan diri mengantarku melihat lavender jika memang benar aku amnesia.
Tunggu sebentar ... benarkah aku amnesia?
Namun aku mengingat namaku dengan jelas, namaku Mafaza Marzia. Aku juga mengingat nama bundaku, Danasti Rawika. Itu berarti aku tidak kehilangan ingatanku, bukan?
"Jangan bengong. Ini di hutan, ada banyak setan." ujarnya yang terus berjongkok untuk menungguku.
"Aku bisa jalan sendiri." ujarku yang langsung memaksa tubuhku bangkit. Lututku terasa sakit. Namun kurasa aku masih bisa berjalan. "Kita jalan ke arah mana?"
Dio mendongkak, "Dasar keras kepala."
Aku menunduk untuk memperhatikan ekspresi kesalnya yang terlihat lucu, "Katanya kita buru-buru?"
Dio bangkit dan mengamit tanganku, lalu membimbingku untuk berjalan di sisinya. Genggaman tangannya terasa hangat, seperti genggaman tangan seorang anak laki-laki yang tak bisa kuingat. Aku hanya mengingat sosoknya yang selalu menyebalkan.
Sial ... aku tak mungkin benar-benar lupa ingatan, bukan?
Kami melanjutkan perjalanan kami melewati berbagai jenis pohon dalam diam. Aku melihat ada beberapa tupai melompat di antara dahan pohon di atas kami. Aku juga mendengar suara burung berkicau tanpa bisa kulihat keberadaan mereka. Bahkan kurasa aku sempat melihat ada kepala ular menyembul di antara semak, atau mungkin aku hanya membayangkannya.
Suara deru kereta api terdengar sayup-sayup saat aku mencoba mengingat anak laki-laki menyebalkan yang tiba-tiba memasuki pikiranku. Sepertinya kami sudah dekat dengan lokasi lavender yang akan Dio tunjukkan padaku.
"Di sana. Kamu liat?" Dio bertanya sambil menunjuk ke suatu sudut tak jauh dari sebuah pohon besar. Dia benar. Ada sekumpulan bunga lavender tumbuh di sana. Cantik sekali dan beraroma harum.
Dio mengajakku berjalan mendekat dan menarikku duduk di sebelahnya. Dia baru saja akan memetik beberapa tangkai saat aku memukul lengannya.
"Jangan dipetik. Biarin dia tumbuh."
"Aku mau bawa buat bunda kamu."
"Biar dapet brownies gratis?"
Dio tersenyum manis yang memamerkan susunan giginya yang terlihat rapi, tapi tak mengatakan apapun. Sepertinya dia membatalkan niatnya untuk memetik lavender yang tumbuh liar itu.
Aku menatapnya dalam diam sambil melepas ransel, mengambil sebuah buku dan alat tulis, lalu mulai menggoreskan sebuah garis untuk membuat sketsa. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menggambar bunga kesukaanku.
Aku baru saja akan memberi warna ungu saat Dio meletakkan sesuatu di kepalaku, aku mengambilnya. Sebuah karangan tiara berbentuk bulat yang dibuat dari bunga dandelion. Yang membuatku berpikir, entah kapan dia membuatnya. Mungkinkah saat aku sedang fokus menggambar hingga tak memperhatikannya?
"Jangan dilepas." ujar Dio sambil mengamit karangan tiara bunga dandelion dari tanganku dan meletakkannya kembali ke kepalaku. "Cantik."
Cantik katanya? Aku ingat ada seseorang yang selalu memujiku cantik dan itu jelas bukan dia.
Aku menatapnya ragu-ragu, "Aku ... aku udah nikah, kamu tau?"
Dio menatapku tak percaya, "Nikah gimana? Kamu baru sembilan tahun."
"Aku serius. Aku udah nikah sama ..."
Entah kenapa tiba-tiba aku lupa. Tatapan menyelidik yang Dio berikan padaku membuatku merasa gugup. Apa yang sebetulnya terjadi? Aku mengingat laki-laki yang kunikahi, tapi tak mengingat siapa namanya.
"Kita harus pulang sekarang. Kamu bener-bener amnesia, Faza." ujar Dio dengan panik sambil mengamit buku dan alat tulisku, lalu memasukkannya ke ranselku dan memakainya di punggungnya.
Dio mengamit tanganku dan memaksaku berdiri. Dia mengajakku berjalan cepat, kembali ke arah kami datang. Sepertinya dia akan mengantarku pulang.
"Aku serius, Dio. Aku udah nikah. Aku nikah di pantai." ujarku sambil terengah karena kesulitan mengikuti langkah kakinya. Terlebih, lututku masih terasa perih.
Dio menatapku dengan tatapan khawatir. Dia jelas tidak mempercayaiku. Apa yang harus kulakukan? Aku tak sepantasnya berdua dengan laki-laki yang bukan suamiku di tengah hutan seperti ini.
Kami berjalan cepat melewati sungai tempat dia membantuku membasuh lukaku. Entah kenapa aku merasa takut.
"Aku cuci muka dulu sebentar." ujarnya.
Aku ingin sekali menolak, tapi genggaman tangannya erat sekali. Dia baru melepasku saat kami benar-benar berada di tepi sungai.
Entah bagaimana, tiba-tiba aroma lumpur menyeruak melewati indra penciumanku. Aku mengedarkan pandanganku untuk mencari asal aromanya, tapi aku justru melihat ombak air berwarna keruh yang menghantam tubuhku.
Aku mencoba berteriak, tapi aku tak mampu. Aku hanya mampu menatap Dio yang mencoba menggapai tanganku, tapi arus sungai membawaku pergi menjauh darinya.
Tubuhku terasa berputar, kepalaku berdenyut dengan kencang, napasku hampir putus saat aku tiba-tiba membuka mata dan menemukan seorang laki-laki sedang menatapku dengan tatapan khawatir. Suamiku.
"Astro!" ujarku sambil mencumbu bibirnya dengan rakus, betapa aku merasa lega karena mengingat namanya.
Tiba-tiba aku melepas cumbuanku karena aku merasa mual. Aku memaksa tubuhku bangkit dan berlari ke wastafel di kamar mandi untuk memuntahkan apapun yang mungkin keluar, tapi hanya ada air ludah yang keluar dan meninggalkan sensasi nyeri di ulu hatiku.
Aku menyalakan keran untuk membasuh wajah dan baru menyadari aku masih telanjang saat menatap ke arah cermin, dengan Astro sedang menatapku panik sambil menepuk punggungku perlahan. Dia sudah mengenakan celana boxer selutut, tapi dadanya masih telanjang.
Astro meraih sebuah handuk membantuku mengelap wajah sebelum mengangkat tubuhku, "Pakai baju dulu. Aku bikinin jahe anget ya."
Kurasa aku tak memiliki pilihan lain, maka aku menggumam mengiyakan sambil memeluk bahunya erat. Betapa aku merindukan hangat tubuhnya.
=======
Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..
Regards,
-nou-