Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Pembuluh



Pembuluh

Melampiaskan kekesalan pada papan sasaran tembak ternyata membuat tubuhku dialiri perasaan menyenangkan. Terasa seperti ada banyak muatan adrenalin menyebar di setiap pembuluh darah dan aku menyukainya.     

Pikiranku jauh lebih jernih setelah bicara dengan Opa, juga setelah menaruh gugatan untuk Vinny ke pengadilan. Terlebih, aku sudah mengantongi surat kesepakatan dengan Sari dan Giana. Aku akan menawarkan kesepakatan yang sama pada Gon andai dia bersedia.     

Setelah kami menyelesaikan urusan di toko cabang, kami langsung pulang ke Surabaya. Om Chandra ikut bersama kami atas saran dari Opa. Opa meminta Om Chandra tinggal di Surabaya selama seminggu untuk memberi kami berbagai arahan.     

Sekarang adalah hari jumat malam. Kami sedang berada di arena latihan menembak yang dekat dengan pantai. Arena latihan menembak ini hanya berjarak tak lebih dari satu jam dari workshop. Aku menggunakan kartu akses khusus milik Opa yang ternyata bisa digunakan di arena latihan menembak ini.     

Empat papan sasaran tembak sudah penuh terlubangi di hadapanku. Aku tahu aku sudah lebih mahir menembak dibandingkan saat pertama Kyle mengajariku menembak satu malam sebelum resepsi pernikahanku yang berantakan. Terlebih, ini adalah hari ke lima kami belajar menembak malam hari setelah kami pulang ke Surabaya. Entah apakah jernihnya pikiranku yang membuat segalanya terasa lebih baik, tapi aku harus mengakui aku memang merasa lebih fokus setelah berbincang dengan Opa malam itu.     

"Cukup!" teriak Om Chandra.     

Aku melepaskan satu peluru ke papan sasaran tembak dan tepat mengenai titik tengah sebelum menurunkan senapan, lalu menoleh untuk mencari keberadaan Om Chandra. Om Chandra sedang memberi tepukan tangan dan berjalan ke arahku.     

"Besok siang kita latihan lagi. Ini udah hampir tengah malem." ujar Om Chandra sambil menepuk bahuku dan berlalu untuk menghampiri Astro. "Sebulan latihan intensif kayaknya kamu bisa belajar jadi sniper."     

Astro tertawa, "Seriously? Ga sekalian rekrut aku jadi pasukan?"     

Om Chandra menggeleng, "Kalau kamu jadi pasukan repot. Yang mau bantu Faza ngurusin perusahaan siapa?"     

Astro menoleh dan menatapku sambil memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Ditawarin juga pasti aku tolak. Aku ga akan kuat pisah sama istriku yang cantik kalau masuk barak."     

Aku mendengus pelan, tapi tersenyum. Laki-laki itu benar-benar tahu cara meluluhkan hatiku.      

Astro mengelus puncak kepalaku setelah kami melepas semua perlengkapan keamanan untuk latihan, "Makan yuk."     

Aku menatapnya tak percaya, "Ini udah hampir tengah malem."     

"Aku laper."     

"Seriously?" aku bertanya sambil meneliti ekspresinya.      

Aku tahu dia tak akan melepas kesempatan untuk mengajakku makan karena dia ingin aku tetap gemuk, tapi ... yang benar saja? Memangnya aku harus segemuk apa lagi? Berat badanku yang biasanya hanya 49 kg, sekarang menjadi 52,5 kg karena ulahnya.     

"Ayo cari makan." ujarnya sambil memeluk pinggangku dan mengajakku menjauh dari arena latihan menembak. Dia menoleh pada Om Chandra yang sedang menggeleng-gelengkan kepala, "Om ga boleh ikut, langsung ke basecamp aja. Kita mau kencan."     

"Terserah kalian deh. Dasar bucin." ujar Om Chandra sambil tertawa dan berjalan menjauh mendahului kami.     

Aku mencubit pipi Astro, tapi dia tertawa.     

"Jangan cemberut terus, nanti cepet tua." ujarnya sambil mengelus puncak kepalaku.     

"Yeah, right."     

Astro mengecup dahiku, "Mau seafood?"     

"Terserah kamu aja, tapi beli sedikit aja buat kita makan berdua. Aku ga mau makan kebanyakan, ini udah hampir tengah malem."     

"Fine."     

Kami berjalan keluar dari gedung arena menembak dan berkendara menggunakan motor ke sebuah restoran. Aku melihat Kyle membuntuti kami dengan sebuah motor dari jarak yang cukup, tapi saat kami memasuki restoran, aku tak melihat Kyle di jarak pandang mataku.     

"Ga ada kabar dari Gon?" Astro bertanya setelah kami memesan makanan.     

Aku menggeleng. Gon memang tidak menghubungiku, Sari, atau Giana. Entah ada apa dengannya, padahal aku yakin surat gugatanku untuk Vinny sudah sampai beberapa hari lalu. Aku menduga Vinny tak memberitahunya atau mungkin sebetulnya dia tahu, tapi memilih untuk menyembunyikan diri karena malu.     

Gon biasanya selalu bersemangat untuk membuat desain-desain kerajinan tangan baru. Aku tahu dia memiliki bakat dan kepribadian yang menyenangkan. Akan masuk akal jika dia belum memiliki keberanian untuk menghubungiku karena merasa bersalah dengan perbuatan saudari kembarnya.     

Aku menatapi laut yang gelap dalam diam. Suara desir ombak yang menghampiri pendengaranku meninggalkan sensasi tenang dan nyaman di hatiku. Aku tahu kali ini pun, kami akan baik-baik saja.     

Aku sudah berdiskusi banyak dengan Astro tentang Abidzar sejak kami pulang ke Surabaya. Walau aku mendapatkan kenyataan bahwa Abidzar membunuh keluargaku, entah kenapa aku justru merasa lega. Setidaknya aku tak perlu memikirkan keterlibatan keluarga Zenatta lagi.     

Abidzar hanya memiliki satu pewaris sah, yang adalah Donny. Sedangkan Donny sudah memiliki kesepakatan dengan Opa dengan berjanji akan melindungiku seumur hidup. Astro berpendapat kesepakatan itu adalah kesepakatan sempurna karena jika Abidzar berniat mencelakaiku lagi, Donny akan mendapatkan informasi itu lebih dulu dan akan mudah bagi kami untuk membuat rencana pencegahan.     

Aku memang tidak menghubungi Donny lagi atau berusaha bertanya tentang kesepakatannya dengan Opa. Kupikir akan lebih baik jika Donny tetap berpikir aku tak tahu-menahu tentang kesepakatannya itu. Aku akan bersikap biasa saja seolah aku tak pernah tahu. Aku baru akan membahasnya jika sudah tiba waktu bagiku menagih janjinya.     

Astro mengecup pipiku dan membuatku menoleh padanya, "Makan dulu."     

Sudah ada seporsi kerang, seporsi lobster berukuran besar, dan seporsi salad di meja di hadapan kami. Entah kapan makanan ini datang, aku tak terlalu memperhatikan.     

Astro menyodorkan satu suapan lobster padaku, "Nanti langsung istirahat ya. Lanjutin kerjaan besok pagi aja."     

Aku hanya mengangguk dan menerima suapan darinya. Kami makan sambil bercanda dan membahas kemungkinan Om Chandra yang masih belum menikah. Karena sepengetahuan kami, dia masih sendiri.     

"Besok aku tanya." ujarku sambil menyodorkan daging kerang pada Astro.     

"Ngapain? Kepo banget kamu."     

Aku tersenyum walau tak mengatakan apapun. Jika Astro begitu kesulitan menahan hasrat, bukankah menjadi Om Chandra terasa berat? Sudah berusia seperti dirinya dan belum menikah. Dia pasti sangat baik mengendalikan diri atau mungkin justru membahayakan diri.     

"Honey."     

Aku hanya menggumam dan menatapnya.     

"Kamu udah sembilan belas tahun dan aku dua puluh tahun."     

Aku terdiam. Aku baru menyadarinya. Aku lupa dengan bertambahnya umur kami.     

Astro tersenyum lembut, "Maaf ya kita ga ngerayain ulang tahun."     

"Apa sih? Biasanya juga ga. Aku ga masalah kok."     

Astro mengangguk, "Tapi kamu pasti lupa."     

Dia benar-benar mengerti aku. Aku hanya tersenyum untuk menanggapi kalimatnya karena dia benar. Sebetulnya ulang tahun kami tak terpaut jauh, hanya selisih sembilan hari walau berbeda bulan dan Astro memang setahun lebih tua dariku.     

Banyaknya kejadian yang menguras pikiran memang membuatku lupa dengan ulang tahun kami. Walau kami memang tak terbiasa merayakan hari kelahiran, tapi melupakannya tetap saja hal yang tak lazim.     

"Ada yang kamu mau?" Astro bertanya.     

"Apa?"     

"Apa aja. Barang?"     

Aku berpikir sesaat sebelum bicara, "Aku mau kita baik-baik aja. Itu aja cukup."     

Astro tersenyum lembut dan mengangguk, "Kalau kita pindah kita akan baik-baik aja."     

Aku tersenyum manis. Kuharap begitu.     

Aku sama sekali tak tahu apa yang akan terjadi. Om Hubert belum menunjukkan tanda-tanda akan membalas dendam dan Abidzar sama sekali tak terlihat akan melakukan apapun lagi. Entah ini adalah hal yang baik atau buruk. Namun aku mendapatkan firasat kami akan mendapatkan masalah lagi dari salah satu di antara mereka, atau mereka berdua.     

"Aku lupa ngasih tau. Aku mimpi anak kecil itu lagi sebelum kamu bangunin aku karena toko kebakar." ujarku tiba-tiba.     

Astro menatapku penuh minat, "Ngapain dia?"     

Aku menaikkan bahu, "Dia ga ngomong apa-apa. Kayaknya dia ga mau ngomong sama aku, tapi dia ngerti kalau aku ajak ngomong."     

Astro terdiam walau manik matanya berkilat.     

"Aku nanya apa dia bener mau pergi karena kamu pernah bilang begitu. Dia cuma ngangguk."     

"Seriously? Kamu harus hati-hati sama dia, kamu tau?"     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.