Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Asisten



Asisten

  Dia pasti sedang bercanda, bukan? Aku bisa melihat tatapan iseng di matanya saat dia mengatakannya, tapi kenapa wajahnya merona merah seperti itu?     

  "Serius, Astro!" aku mencoba protes.     

  Astro mengalihkan pandangannya dariku dan membereskan barang-barang di sekitarnya. Dia memasukkan salep dan sisa perban ke dalam paper bag, lalu menyodorkannya padaku.     

  Dia beranjak sambil membawa pergi perban bekas dan sebaskom air kotor ke dapur. Dia kembali sesaat setelahnya dan duduk di tempat yang tadi dia tinggalkan. Wajahnya yang merah sesaat lalu berangsur menghilang.     

  "Aku manggil beberapa orang buat kamu interview. Kamu butuh asisten buat ngerjain pesenan kamu, kan? Jadi aku bikin pengumuman di website. Ada lima orang yang mau dateng hari ini sekitar jam sepuluh."    

  Aku mengintip dari kaca jendela tepat di belakangku. Pandanganku mataku menuju ke jam di dinding dapur, pukul 08.58. Syukurlah masih ada satu jam lagi.    

  "Aku sama sekali ga kepikiran buat bikin pengumuman."    

  "Kan aku udah bilang kalau kamu butuh bantuan bilang aja. Nanti kubantu."    

  Aku menatapnya yang terlihat seperti Astro yang biasanya, "Kalau kamu ga ada, hidupku kayak gimana ya?"    

  "Kenapa ga mikir kalau aku ada disamping kamu sampai kita tua?" Astro mengatakannya dengan tenang, seperti bukan hal besar mengatakan hal itu padaku.     

  Walau bwgitu, kalimatnya membekas dalam sekali di hatiku. Aku selalu ingin memiliki pasangan yang bersamaku hingga aku tua. Seperti opa dan oma. Apakah kami akan bisa menjadi seperti mereka?    

  "We can do it, Faza. Kita udah bareng lima tahun ini dan semuanya baik-baik aja." ujar Astro seperti mengerti apa yang sedang kupikirkan.    

  "Bukannya terlalu cepet bilang begitu?"    

  "I will make it happen." ujarnya yang masih menatapku lekat.    

  Terdengar ketukan beberapa kali dan suara salam dari pintu depan. Aku baru saja akan beranjak membukanya, tapi Astro mencegahku. Dia memberiku isyarat tetap duduk sambil beranjak dan berlalu.    

  Aku masih memikirkan ucapan Astro beberapa saat lalu. Bersamanya hingga kami tua? Kurasa aku bisa melakukannya. Bukan, kurasa kami bisa melakukannya.    

  Astro kembali dan duduk di sebelahku, "Zen."    

  "Zen?" aku bertanya untuk memastikan dan baru saja akan beranjak untuk melihatnya sendiri, tapi Astro menahanku.     

  "Dia ke sini mau main catur sama opa. Kamu di sini aja."    

  "Tapi dia temenku. Ga sopan kalau ..." aku baru saja akan mendebatnya, tapi Astro memberiku tatapan cemburu. "Aku pikir kamu udah biasa aja sam Zen."    

  Astro tak menanggapiku dan juatru melirik jam di lengannya, "Calon asisten kamu kayaknya sebentar lagi dateng."    

  "Aku rapihin rambutku dulu sebentar."    

  "Mau aku bantu kepangin rambut kamu?"    

  Aku menoleh dan menatapnya yang sepertinya benar-benar lupa dengan janjinya, "Bukannya kamu punya janji sama opa buat nahan diri?"    

  Wajah Astro memucat saat aku selesai mengatakannya. Aku hanya memberinya gelengan kepala sesaat, ternyata dia benar-benar lupa.     

  Aku meninggalkannya yang sedang berkutat dengan dirinya sendiri, kembali ke kamarku dan menyisir rambutku yang sudah mulai mengering. Aku mencoba mengepang rambut, tapi ternyata memang sulit dengan tangan terluka seperti ini. Kurasa aku akan membiarkannya tergerai saja.    

  Aku mengambil handphone yang tergeletak di meja sebelum keluar kamar. Ada oma dan bu Asih di dapur yang sepertinya baru pulang dari pasar, dengan Astro yang sedang membantu mereka merapikan berbagai belanjaan.    

  "Ga usah repot-repot lho, Den. Den Astro kan laki-laki." ujar bu Asih.    

  Aku duduk di salah satu kursi meja makan. Kurasa aku hanya akan menonton mereka karena aku tak bisa membantu saat ini.    

  "Ga pa-pa, Bu, udah biasa kok. Oma mau masak apa? Astro bantu."    

  "Oma mau bikin rendang sama sambel goreng hati, tapi Astro ga usah bantu. Astro temenin Faza aja." ujar oma.    

  "Bantu sebentar ga pa-pa kok, Oma. Nanti kalau calon asisten Faza dateng, Astro bantu Faza."    

  Sepertinya oma tak bisa menolaknya. Kemampuan Astro yang sejak dulu membuatku penasaran bagaimana dia melakukannya adalah kemampuan bicara dengan kalimat-kalimat persuasif yang sering membuat orang lain sulit menolak keinginannya. Seperti saat ini.     

  "Istrinya Den Astro beruntung banget ya nanti. Suaminya rajin." ujar bu Asih.     

  Aku melihat Astro menatap ke arahku sesaat setelah bu Asih mengatakan itu. Ada senyum yang lebar sekali di bibirnya yang membuatku mengalihkan pandangan ke handphone di tanganku. Aku tak memperhatikan pembicaraan mereka lagi setelahnya karena terlalu malu untuk mendengarkan.    

  Aku memeriksa notifikasi di handphoneku. Ada banyak pesan dari pelangganku yang mengatakan mereka ikut berduka karena aku mengalami musibah. Kemarin aku sempat memberi pengumuman untuk libur di sosial media karena tanganku terluka.    

  Ada pesan dari Mayang dan Denada di grup Lavender kami. Mereka menanyakan kabarku dan mendoakanku agar segera sembuh. Mereka juga berencana akan ke rumah siang ini.    

  "Ayo, udah dateng tiga orang. Yang dua orang kayaknya ga dateng." ujar Astro yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku. Sepertinya aku terlalu fokus dengan handphone beberapa saat lalu.    

  Aku bangkit dan mengikuti Astro menuju ruangan khusus untukku mengerjakan pesanan pelangganku. Aku memberi Zen senyum tipis saat melewatinya yang sedang bermain catur dengan opa di ruang tamu.    

  Aku menemukan tiga orang perempuan di ruangan khusus bekas kamar tamu. Aku memperkenalkan diriku terlebih dulu sebelum meminta mereka memperkenalkan diri mereka sendiri.    

  Satu orang bernama Sari, seumuran denganku walau sudah tidak bersekolah lagi. Satu orang berumur 19 tahun bernama Kathy. Dan yang lain bernama Putri, berumur 21 tahun.    

  Aku meminta mereka membuat satu kerajinan yang mana saja yang mereka sukai dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di ruangan itu. Aku memberi mereka waktu satu setengah jam untuk menyelesaikannya.    

  Kathy membuat sebuah macrame mobile yang cantik, dibuat dengan rapi dan cepat. Aku menyukainya.    

  "Bagus kak, nanti bisa ajarin aku bikin ini ya?" ujarku dengan sungguh-sungguh karena aku belum pernah membuat desain seperti itu.    

  "Ah harusnya kan aku yang belajar dari kamu." ujar Kathy sambil menatapku dengan tatapan aneh.    

  Aku memberinya senyum dan beralih ke aksesoris rambut buatan Sari. Masih belum selesai dan sepertinya dia melakukannya dengan terburu-buru. Walau aku bisa membayangkan hasil akhirnya akan bagus andai saja dia tidak merasa panik.    

  "Maaf ya belum selesai, tadi tanganku gemeteran." ujar Sari.    

  "Kenapa bikin desain ini?" aku bertanya.    

  "Soalnya ... materialnya bagus. Aku kebayang mau bikin satu buat adikku." ujarnya malu-malu.     

  Aku mengangguk pada Sari sebelum beralih pada sebuah vas kecil yang terbuat dari lilitan kawat yang terlihat rumit. Ada beberapa aksesoris daun dan bunga di vas itu. Aku baru pertama kali melihatnya dan sangat menarik perhatianku.     

  "Idenya bagus, Kak. Dapet referensi dari mana?" aku bertanya pada Putri yang membuat vas itu.    

  "Sebenernya ga yakin sih mau bikin itu. Kemarin sempet liat di pinterest, tapi karena di kosan bahannya ga ada jadi aku coba bikin pas liat bahan itu di sini." ujar Putri.     

  "Jadi ini baru pertama kali bikin, Kak?" aku bertanya. Dia hanya mengangguk.    

  Sepertinya aku sudah menetapkan pilihanku. Aku berterima kasih pada mereka karena sudah menyempatkan diri untuk datang. Aku akan menghubungi kembali nanti sore untuk memberitahu mereka siapa yang akan kupilih menjadi asistenku. Mereka pergi sesaat setelahnya dengan diantar Astro ke teras depan.    

  Astro kembali ke ruangan tak lama setelahnya, "Gimana?"    

  "Kayaknya aku pilih Putri sama Sari."    

  "Kenapa?"    

  "Putri teliti dan mau eksplor desain baru. Kalau Sari ... aku pilih dia karena dia keliatannya tipe yang mau belajar."    

  "Kenapa ga pilih Kathy? Macramenya bagus."    

  "Aku ga suka sama sikapnya. Kayaknya bakal ada masalah kalau sikapnya begitu ke aku."    

  Astro tersenyum lebar sekali, "Kamu udah belajar banyak ya?"    

  "Thanks to you."    

  Sejak opa memberiku kepercayaan mengelola toko kain sendiri, aku belajar banyak dari Astro bagaimana cara menilai orang lain. Karena dalam bisnis, menilai kepribadian orang yang bekerja sama dengan kita adalah hal yang penting. Sepenting menentukan masa depan perjalanan bisnis kami nantinya.    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.