Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Sungai



Sungai

  Hanya ada enam pesanan kerajinan tangan dengan desain spesial yang kubuat hari ini. Pesanan selebihnya adalah produk yang sudah ada sejak beberapa hari lalu karena aku terbiasa membuat beberapa produk lain sebagai stok.    

  Aku menatap jam di dinding, pukul 16.20. Sepertinya sudah hampir dua jam opa dan Astro menghabiskan waktu di ruang baca. Entah apa yang mereka bicarakan hingga Astro tak juga menemuiku sampai saat ini.    

  Aku mengepak semua pesanan pelangganku. Ada 12 paket yang akan kutitipkan pada pak Said untuk dikirim melalui ekspedisi besok pagi. Kurasa aku akan mencari Astro ke ruang baca dan akan mencoba peruntunganku andai aku diperbolehkan mengikuti perbincangan mereka.    

  Aku baru saja akan mengetuk pintu saat opa membuka pintunya dari dalam. Sepertinya suasana hati opa terlihat lebih baik sekarang.    

  "Mafaza sudah selesai?" opa bertanya.    

  "Udah, Opa."    

  "Astro makan malam di sini ya. Opa istirahat dulu sebentar." ujar opa pada Astro.    

  "Iya, Opa." ujar Astro.    

  Opa berlalu sesaat setelahnya. Sepertinya akan ke kamar untuk menyegarkan kembali tubuhnya.    

  "Mau main?" aku bertanya pada Astro yang masih berdiri di depan pintu sambil menutup pintu ruang baca.     

  "Ini udah sore, Nona."     

  "Cuma main ke sawah sebentar. Lagian belum sore banget kok. Setengah jam aja." ujarku yang tak menunggu jawaban darinya dan langsung berlalu ke dapur untuk meminta izin pada oma.    

  Aku kembali dan menemukan Astro baru saja keluar dari mobil dengan pakaian yang berbeda. Kaos lengan pendek berwarna kuning lembut dan celana selutut berwarna hijau tua.    

  "Kamu ganti baju di mobil?" aku bertanya karena penasaran.     

  Astro menggumam mengiyakan, "Ga usah dibayangin."    

  "Aku kan cuma nanya." ujarku yang disambut senyum menggodanya yang biasanya.     

  Aah sepertinya aku baru saja membuatnya berpikir bahwa aku sedang memikirkan hal yang tak semestinya kupikirkan....    

  "Aku ga mikirin itu." ujarku untuk memprotesnya, tapi dia justru mendahuluiku berjalan keluar halaman.    

  Astro tak menanggapi kalimatku yang terakhir. Dia terus berjalan ke deretan pohon karet di sisi jalan setapak. Pohon karet itu mulai membuat bayang-bayang panjang ke arah timur, yang membuatku mengingat hari pertama kami bertemu. Di pertengahan jalan setapak dia berbelok menuju sawah, aku hanya mengikuti langkah kakinya saja.     

  Langit belum gelap, masih ada semburat jingga berpadu biru tua dan abu-abu menggantung megah. Aku sangat suka senja. Begitu cantik, terasa hangat. Seperti ada sesuatu yang hilang, kembali padaku.    

  Kami turun melewati beberapa undak sawah, menuju ke sungai kecil berair jernih untuk irigasi. Udara di sini menyenangkan sekali. Sejuk berangin lembut. Aroma khas tanah, beberapa bunga yang tumbuh liar, juga aroma belalang yang menambah kesukaanku pada area ini.    

  "Di sini aja ya?" ujarku sambil melipat celanaku naik agar tak terlalu basah saat terkena air, lalu memasukkan kaki ke dalam sungai kecil itu. Kakiku terasa dingin dan segar. Sudah berapa lama sejak terakhir kali kami ke sini?    

  "Kamu harus cerita ke Zen tentang kondisi opa." Astro membuka suara setelah membiarkanku bermain beberapa lama. "Opa dapet kabar dari Zen soal kejadian bullying ke kamu."    

  Aku menghentikan kakiku yang sedang berjalan di atas batu dan duduk di sisinya, "Tadi kalian lama ngobrolin itu?"    

  "Yang bikin lama karena nemenin opa main catur sih, tapi opa minta penjelasan sebelum kamu nganter minum."    

  "Tapi opa ga bahas apapun sama aku."    

  "Karena aku yang harusnya jaga kamu, Faza. Aku udah janji sama opa. Kamu harus bilang sama Zen kalau ada hal-hal yang ga seharusnya dibahas atau penyakit opa mungkin aja kambuh." ujarnya sambi menatapku lekat.    

  "Besok aku kasih tau Zen. Sorry bikin kamu repot."    

  Astro menggeleng sesaat, "Tadi aku bilang opa pelakunya udah ketemu. Dia juga udah janji ga begitu lagi, jadi opa bisa lebih tenang."    

  "Kamu ga bahas apapun soal itu ke aku."    

  "Sorry. Aku pikir karena kondisinya udah mendingan sejak kelas kamu aman. Aku ga mau bikin kamu khawatir, makanya aku ga cerita. Dia udah ngaku salah dan janji ga begitu lagi kok."    

  "Aku mau tau. Siapa?"    

  Astro menatapku lama sekali. Seperti sedang menimbang akan memberitahuku atau tidak. Mungkin khawatir aku akan membalas?    

  "Kamu inget Riri?"    

  "Temennya Angel yang kita liat di toko?" aku bertanya karena mengingat namanya saat Astro menyuruhnya diam.    

  Astro mengangguk, "Aku dapet info dari Beni. Katanya di jam kalian olahraga waktu itu dia liat Riri lewat. Aku interogasi Riri dan dia bilang dia lakuin itu bukan karena disuruh Angel, tapi karena inisiatifnya sendiri. Masalahnya Angel juga tau kalau dia punya beberapa rencana buat kamu dan ga berusaha nyegah. Jadi emang dua-duanya salah."    

  Aku memang sudah menduganya, tapi menuduh tanpa bukti akan terasa egois sekali. Lagi pula hal itu sudah lama berlalu dan aku tak lagi memikirkannya.    

  "Kamu bilang tadi kamu nemenin opa main catur, emang kamu bisa?" aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan kami.    

  "Aku minta opa ngajarin. Ga susah kok ternyata."    

  Aku berpikir sesaat, "Kadang aku masih sering heran kamu bisa ngerjain apa aja."    

  "Maksud kamu?"    

  "Kamu tau ... kamu tuh laki-laki, tapi kamu bisa masak. Kamu juga bisa jadi kapten basket kalau aja kamu ga berhenti dari klub. Kamu bisa bikin game, bikin website, nilai sekolah kamu juga selalu bagus. Kamu ikut lomba robotik yang aku tau pasti susah. Yang aku ga abis pikir kamu juga ngelola resort sama restoran. Dan aku masih juga sering heran kalau ternyata kamu bisa ngerjain yang lain juga."    

  "Are you complaining (Kamu lagi ngeluh)?" Astro bertanya dengan senyum menggodanya yang biasa.    

  "Aku ga ngeluh. Aku cuma lagi mikir istri kamu nanti pasti beruntung banget." ujarku begitu saja. Aku segera mengalihkan pandanganku ke hamparan sawah di sekitar kami saat menyadari hal bodoh yang baru saja kukatakan.    

  "Say it again (Ulang kalimat kamu barusan)."    

  Aku mengabaikan permintaannya dan menahan diri untuk tak menatapnya kali ini, tapi senyum di bibirku tak dapat kusembunyikan saat aku baru saja menyadari bahwa aku lah yang bersedia menunggunya.    

  "Faza ... aku mau denger lagi kamu ngomong apa barusan." ujarnya. Aku bahkan bisa membayangkan ada sebuah senyum yang begitu lebar di bibirnya.    

  Aku menutup wajahku yang terasa panas dengan kedua tanganku. Aku berharap dia tak menyadari wajahku sedang merona merah sekali.    

  "Kamu ga seharusnya denger aku ngomong gitu." ujarku dengan tangan masih menutup wajahku. Aku berharap kami segera kembali, jantungku berdetak kencang sekali saat ini.     

  Aah haruskah aku menyalahkan hormonku untuk kejadian yang baru saja terjadi?    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.