Menolak
Menolak
Astro menoleh ke arahku, sepertinya bertanya-tanya apa yang dilakukan Zen di rumah opa. Karena aku pun bertanya-tanya hal yang sama, maka aku menaikkan bahuku tanda tak tahu.
Kami menyalami dan mencium tangan opa seperti yang biasa kami lakukan saat kami sampai di teras depan. Namun kali ini ada yang berbeda, aku mendapati sebuah papan catur Shogi berada di atas meja.
Sepengetahuanku catur Shogi adalah catur yang berasal dari Jepang. Bagaimana cara memainkannya aku tak begitu mengerti. Aku hanya pernah melihatnya sekali, dipajang di lemari kaca saat menemani ayah ke rumah temannya.
"Maaf ya Opa, Faza pulangnya telat. Tadi Astro nemenin Faza ke makam dulu." ujarku.
"Bukan masalah. Astro sudah makan malam?" Opa bertanya.
"Belum Opa." ujar Astro.
"Kita makan dulu ya, makanannya sebentar lagi siap. Opa mau ke ruang baca sebentar. Kalian bisa langsung ke dapur, ada Oma di sana." ujar Opa sambil mengangkat catur Shogi dari atas meja.
Kami menuruti perintah opa untuk langsung menuju ke dapur. Kami memberi salam dan mencium tangan oma sebelum duduk. Sepertinya oma dan bu Asih baru saja selesai memasak karena sudah ada beberapa menu di atas meja.
"Mm ... Oma, temen Faza tadi ngapain ke rumah?" aku mencoba bertanya pada oma yang sedang mencuci tangan.
"Zen? Tadi nemenin opa main catur. Kemarin dia nganter jaket Faza trus sempet ngobrol lama sama opa, tapi Oma ga tau apa yang diobrolin. Kalau Faza mau tau bisa tanya sendiri ke opa, ya?" ujar oma.
Aku dan Astro bertatapan dalam diam. Kami tahu sekarang bukan saatnya mengutarakan apa yang ada di dalam kepala kami. Tidak saat ada oma di sekitar kami.
***
"Guys, yang mau ikut ke lokasi lomba robotik buat dukung sekolah kita merapat ke mejaku sekarang!" Tasya berteriak sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi.
Donna yang duduk di depanku berdiam diri di mejanya. Zen juga tak beranjak dari mejanya yang berada di sampingku. Fani, Siska, Reno, dan Toro bergantian merapat ke meja kami.
"Segini aja nih? Ini sih kebanyakan tim dekor agustusan kemarin." ujar Reno.
"Delapan orang ya " ujar Tasya setelah selesai menghitung. "Muat kan Zen kalau kamu bawa mobil kamu lagi?"
"Harusnya sih. Mau jalan jam berapa?" Zen bertanya.
"Acara mulai dari jam sembilan, tapi giliran lombanya belum ketauan. Mungkin kalau dateng agak siang ga pa-pa kali ya? Sekitar jam setengah sebelas sampai sana?" Tasya mengemukakan pendapat.
"Okay."
"Ada yang mau dibawa ga Tasya? Umbul-umbul atau apa gitu?" Siska bertanya.
"Sekolah kita punya booth di sana, katanya ada bendera kecil logo sekolah. Kita bisa minta aja." ujar Tasya.
"Kita pakai baju apa ke sana?" Donna bertanya.
"Karena lombanya tahun ini dibuka umum buat narik minat kalangan luar, jadi boleh pakai baju apa aja." ujar Tasya.
"Okay. Udah gitu aja?" Reno bertanya.
Tasya hanya mengangguk.
"Ya udah. Ke kantin yuk Zen." ujar Reno.
"Males ah. Nitip roti maryam dong dua." ujar Zen sambil menyodorkan uang pada Reno.
"Kebiasaan nih anak. Yuk, Ro." ujar Reno pada Toro yang mengikuti di belakangnya.
"Ikut dong." ujar Fani.
"Ikut ke kantin ga, Za?" Donna bertanya padaku saat Tasya, Fani dan Siska mendahuluinya berjalan keluar kelas mengikuti Reno.
"Aku ga dulu, kalian aja." ujarku. Aku memang tak berniat ke kantin karena berencana akan tidur sebentar. Aku baru saja akan memasang earphone dan menyandarkan kepala ke meja saat mendengar Zen bicara.
"Aku baru tau kamu punya banyak kerjaan."
Aku baru mengingat kunjungan Zen ke rumah untuk menemani opa bermain catur kemarin. Aku membatalkan rencanaku untuk tidur dan akan bertanya beberapa hal padanya.
"Apa aja yang kamu tau?" aku bertanya sambil menatap matanya. Aku ingin melihat ekspresinya saat bicara.
"Kamu nerusin toko opa kamu, sama ngerjain craft yang kayaknya kamu jual di bazar lalu?"
"Opa ngasih tau kamu kalau Astro bantu aku?" aku sengaja bertanya dengan menyebut nama Astro dan berharap Zen menemukan sinyal untuk berhenti.
"Opa ngasih tau. Aku ga perduli kamu sama Astro punya hubungan apa. Aku cuma mau kamu tau, kalau kamu bisa minta bantuanku juga."
"You don't have to (Kamu ga perlu begitu)."
"Aku ga keberatan, Faza. Kamu cuma udah terbiasa sama Astro. Kamu belum terbiasa sama laki-laki lain."
"Zen ..."
"Aku ga akan maksa kamu. Aku cuma mau kamu tau kalau aku bakal ada kalau kamu butuh."
"Aku berterima kasih sama niat kamu Zen, tapi kalau kamu ngarep kita punya hubungan yang lebih dari sekedar ini, maaf. Aku ga bisa."
"Aku ga masalah sama pertemanan kita sekarang."
Aku menatap mata Zen yang berwarna hitam itu cukup lama. Menimbang apa lagi yang akan kukatakan padanya. Aku baru saja menolaknya dan dia tetap keras kepala.
"Aku ga akan bertindak lebih dari sekadar ini. Aku cukup tau diri kok." ujar Zen saat tak mendapat tanggapan lain dariku.
Aku mendengar ketukan di jendela di sebelahku, ada Astro di sana. Tatapan matanya pada Zen tajam sekali. Apakah dia mendengar semua percakapan kami?
Aku tak menyadari Astro datang karena aku menatap Zen yang berada berlawanan arah dengan jendela. Seharusnya Zen melihat Astro saat dia datang, bukan? Apakah Zen memang sengaja mengatakan semua yang dia katakan padaku?
Astaga .. kuharap Astro tak mendengar percakapanku dan Zen sesaat lalu.
Aku beranjak keluar meninggalkan Zen dan menghampiri Astro dengan jantung yang berdetak kencang, "Bukannya tadi pagi kamu bilang mau ada meeting sama pak Sugeng di jam ini?"
"Aku denger semuanya." ujar Astro dengan tatapan yang tak bisa kutebak.
Aku tak tahu harus bagaimana menanggapi Astro dalam situasi seperti ini. Tiba-tiba kepalaku terasa berdenyut mengganggu.
"Thank you. Aku lega kamu bilang begitu." ujar Astro.
Aku menatapnya dalam diam. Aku benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana. Sepertinya aku benar-benar bodoh sekali.
=======
Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Btw, kalian bisa panggil aku -nou-