Cake
Cake
Astro menyebutku workaholic (gila kerja) beberapa hari lalu saat mengeluh tak bisa menemuiku di akhir minggu. Sepertinya kata-kata itu menjadi kata-kata andalannya belakangan ini saat dia merasa diabaikan olehku.
"Hai, Nona Workaholic." Astro menyapaku di balik kemudinya saat aku baru saja duduk dan menutup pintu.
Hari ini adalah hari kamis, seharusnya jadwal klub lukis dimulai jam tiga dan selesai jam setengah lima. Namun ada insiden Reno menumpahkan dua kaleng cat sehingga kami harus membersihkan ruangan sebelum pulang. Aku melirik jam di lenganku, pukul 17.22.
"Sorry lama, tadi Reno ga sengaja numpahin cat jadi kita bersih-bersih ruangan dulu." ujarku yang mencoba memberi penjelasan. Aku tahu seharusnya kami sudah pulang sejak satu jam yang lalu. "Kamu laper?"
"Mau dinner? Kita bisa ke resto." Astro berbalik bertanya padaku dan menatapku dengan mata berbinar.
"Ga kejauhan?"
"Aku bisa nyetir lebih cepet."
Aku berpikir sesaat. Aku tak ingin membuatnya sakit karena tak cukup beristirahat. Satu bulan ini juga melelahkan baginya karena mempersiapkan lomba robotik yang akan diselenggarakan minggu depan.
"Kamu ga capek?" aku bertanya.
"Kalau ada kamu ga capek kok." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa. Aku tahu dia sangat berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganku.
"Aku ijin opa dulu ya." ujarku sambil mengambil handphoneku dan baru saja akan menelpon opa saat mendengar Astro bicara.
"Aku udah minta ijin. Opa bilang harus anter kamu pulang sebelum jam sepuluh, karena besok masih harus masuk sekolah."
Aku menoleh untuk menatapnya yang masih memasang senyum menggodanya yang biasa. Namun Astro segera menyalakan mobilnya dan memulai perjalanan kami. Sepertinya dia tahu aku tak akan menolak jika sudah mendapatkan izin dari opa.
"Ternyata kamu emang udah bikin rencana ya?" aku bertanya dengan senyum yang tak bisa kusembunyikan.
Astro tak menjawab pertanyaanku, hanya memberiku senyum yang membuatnya terlihat semakin tampan. Andai saja aku tak terbiasa dengannya sejak lima tahun yang lalu, mungkin sekarang aku akan menjadikannya bias seperti Siska menjadikan aktor korea favoritnya sebagai biasnya. Di titik ini, sepertinya aku bisa memahami kenapa Angel begitu terobsesi dengannya.
"Persiapan lomba kamu gimana?" aku bertanya untuk mengalihkan pikiranku.
"Udah selesai kok, seminggu ke depan aku bisa istirahat. Makanya weekend nanti aku aja yang anter kamu cek fisik ke cabang."
"Aku mau kamu istirahat, Astro. Kamu udah kerja keras dua bulan ini." aku menatapnya lekat dan mencoba memberi pengertian.
Sebetulnya Astro terlihat lebih kurus selama sebulan ini sejak Angel dikeluarkan dari tim. Terbayang jelas olehku bagaimana melelahkannya apapun yang dia dan timnya kerjakan dengan robot mereka.
"Aku masih bisa istirahat kok. Kan aku cuma nganter trus nontonin kamu seharian. Aku anggep nontonin kamu jadi waktu istirahatku."
"Kamu aneh." ujarku yang baru tahu bahwa menonton kegiatan seseorang bisa berubah menjadi waktu istirahat bagi yang lainnya. Bukankah hal itu justru terlihat seperti sedang menguntit?
"Aku ga keberatan jadi aneh kalau ada kamu yang nemenin." Astro membalas kalimatku dengan keras kepala, membuatku menyerah akan membalasnya dengan kalimat apa. "Aku anter kamu ya weekend ini."
"Okay ..." ujarku. Sepertinya akan percuma saja menolaknya lagi dan dia terlihat senang sekali. "Aku boleh tidur sebentar? Kepalaku agak pusing."
Astro mengangguk, "Nanti aku bangunin."
Aku mengambil selimut dari jok tengah dan menyelimuti diriku sendiri. Selimut ini nyaman sekali hingga aku tak mengingat apapun lagi setelahnya selain suara musik yang mengalun sayup-sayup dari stasiun radio kesukaan Astro.
Aku terbangun dan merasa ada yang aneh, gelap sekali di sekitarku. Sepertinya Astro memarkir mobil jauh ke dalam, di tempat yang kurang mendapatkan cahaya. Astro juga tak ada di kursi kemudinya, biasanya dia akan berdiam diri dan menungguku terbangun.
Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan Astro berada di luar, tepat di belakang mobil. Dia sedang berbincang bersama seorang laki-laki yang sepertinya dua atau tiga tahun lebih tua. Kurasa aku akan menunggu di sini, entah kenapa firasatku tak begitu bagus mengenai laki-laki itu.
Aku hanya memperhatikan gerak-gerik mereka karena tak bisa mendengar apapun. Sepertinya mereka bicara sekitar lima belas menit sebelum laki-laki itu pergi. Astro menunggu mobil laki-laki itu meninggalkan area parkiran sebelum kembali ke mobil.
"Kamu udah bangun?" Astro bertanya saat melihatku sudah melipat selimut yang tadi menutup tubuhku.
"Yang tadi siapa?"
"Nanti aja bahasnya. Masuk dulu yuk."
Aku mengangguk dan Astro mengajakku masuk ke restoran. Ada beberapa orang yang menoleh saat melihat kami. Aku baru menyadari kami masih memakai seragam sekolah kami sekarang, tak mengherankan melihat ekspresi mereka yang bertanya-tanya mengingat sekolah kami berjarak cukup jauh dari sini.
"Dateng juga. Ayo ke atas." ujar Ray saat melihat kami masuk dan menoleh pada salah satu chef sesaat setelahnya. "Tolong anter minumannya dulu. Siapin makanannya lima belas menit lagi ya."
Ray memimpin kami naik. Dia memilih meja yang jauh dari teralis dan mengambil satu kursi lain dari meja terdekat. Sepertinya dia memiliki sesuatu yang ingin dibahas bersama Astro. Namun tak ada yang bicara di antara kami sampai pramusaji mengantar minuman dan kembali turun.
"Gimana?" Astro bertanya pada Ray, yang sepertinya masih berpikir bagaimana akan memulai pembicaraan.
Ray melirik ke arahku. Sepertinya ragu apakah akan baik-baik saja jika aku mendengar pembicaraan mereka.
"Ga pa-pa kok." ujar Astro.
"Tadi pagi ada yang minta ketemu aku, katanya mau beli resort sama resto ini." ujar Ray sambil mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku apronnya dan menyodorkannya ke Astro. "Kamu tau siapa."
Astro melihat kartu itu dan mengernyitkan alisnya, "Tiba-tiba dateng mau beli?"
Ingin rasanya aku meminta kartu di tangan Astro dan mencari tahu siapa yang mereka maksud, tapi kurasa aku akan menunggu. Aku akan membiarkan mereka menyelesaikan topik pembicaraan mereka lebih dulu.
"Menurut staf reservasi resort, dia sempet nginep dua hari. Baru minta ketemu pas mau check out tadi pagi." ujar Ray yang menghentikan kalimatnya sesaat sebelum melanjutkan. "Aku bilang ini resort keluarga, aku ga ada niat buat jual. Masalahnya ... kita liat aja nanti dia bakal lakuin apa. Aku punya firasat ga enak."
"Kakek Arya udah tau?" Astro bertanya.
Ray hanya menggeleng dalam diam.
"Okay. Nanti aku coba omongin ke ayah dulu. Yang lain baik-baik aja?"
"Yang lain baik-baik aja. Sorry ya, jadi ganggu kencan kalian." ujar Ray yang mengeluarkan senyum isengnya yang biasa, walau jelas ada kekhawatiran di matanya. "Aku tunggu tanggal fix kalian. Nanti aku bikinin wedding cake spesial."
Aku bisa merasakan wajahku memerah mendengar Ray mengatakannya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya hingga bisa membahas tentang pernikahan sekarang.
"Kita baru kelas sebelas." ujarku yang mencoba memberi pemahaman yang mungkin dia lewatkan.
"Ga masalah buat keluarga kita." ujar Ray dengan senyum iseng yang membuatnya terlihat sangat tampan. "Coba liat kalian berdua, imut banget."
Aku menoleh ke arah Astro karena Ray mengatakan hal itu. Wajah Astro terlihat bersemu merah sekali. Aku belum pernah melihatnya seperti itu walaupun kami sudah saling mengenal sejak lima tahun lalu.
=======
Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Btw, kalian bisa panggil aku -nou-