B*tch
B*tch
"Ibu punya proyek apa sama mama Denada?" aku bertanya, mengingat keterkejutanku saat ibunya muncul di depan kamar Denada.
"Mau bikin panti asuhan bareng perusahaan orang tuanya Denada kalau ga salah." ujarnya sambil membereskan perkakas bekas makanan kami ke wastafel. Aku terlalu kenyang untuk bergerak, jadi aku membiarkannya yang melakukannya.
"Aku ngobrol banyak sama Denada pagi ini." ujarku sambil menatapi punggungnya yang sedang berdiri membelakangiku karena dia sedang mencuci piring.
Astro menoleh padaku, tapi tak mengatakan apapun. Dia menyelesaikan pekerjaannya, mengelap tangannya dengan handuk dan kembali duduk di sebelahku, "Boleh tau?"
"Harusnya aku yang nanya begitu."
"Apa yang kamu mau tau?"
"Mm ... ga jadi. Aku udah niat mau nunggu kamu aja yang jelasin. Aku ga mau banyak nanya."
Astro mengangkat kakinya dan bersila menghadap ke arahku, lalu menopang pelipisnya dengan tangan yang diletakkan di meja makan, "Faza."
Aku hanya menggumam sambil menatapi matanya yang terlihat jauh lebih hangat dari pada saat kami bertemu di rumah Denada tadi pagi.
"Thank you." ujarnya dengan senyum lembut di bibirnya.
Kurasa aku tahu apa yang dia maksud. Jika bukan karena Denada, mungkin aku tak akan menyadari bahwa dia sedang menahan diri untuk mengungkapkan perasaannya padaku. Aku memang sedikit nekat karena mengungkapkan perasaanku lebih dulu, tapi kurasa aku tidak menyesalinya karena sekarang kami bisa saling jujur dengan perasaan kami selama ini.
"Tapi kalau kelamaan mungkin aku ..." aku sengaja menggantung kalimatku untuk menggodanya.
"No, you won't (Ga, kamu ga akan begitu). Kamu udah janji, Faza." ujarnya. Ada sedikit kekhawatiran di matanya walaupun dia berkata begitu.
"Mau anter aku pulang jam berapa?" alih-alih membalas kalimatnya, aku memilih menghindarinya saja.
"Aku ga akan anter pulang kalau kamu menghindar begitu."
Baru kali ini dia menahanku hanya untuk mendapatkan sebuah jawaban. Entah aku harus merasa senang atau bagaimana.
"Aku akan nunggu kamu, sampai semua urusan kamu selesai. Aku tau kamu punya sesuatu yang lagi kamu kerjain." ujaku untuk membuatnya tenang. Kurasa dia sudah cukup menderita beberapa hari ini. "Aku juga punya banyak hal yang harus aku kerjain. Kamu kan tau."
"I'll help (Aku akan bantu), kamu tinggal minta."
Aku tidak menjawabnya. Lalu kami hanya saling menatap lama sekali, karena tak seorang pun mengatakan apapun. Walau begitu kurasa kami tahu apa yang masing-masing dari kami pikirkan.
***
"Kayaknya aku bisa coba." ujar Reno sesaat setelah bel berbunyi, tepat saat guru kami keluar kelas. Dia menarik kursinya untuk duduk di tengah-tengah Zen dan aku, yang jelas menghalangi jalan keluar kami.
"Bener?" Zen bertanya.
Reno hanya mengangguk.
"Anggota klub kita lengkap kalau gitu."
"Kamu mau daftar jadi member klub lukis?" aku bertanya untuk memastikan dugaanku dan Reno hanya mengangguk.
Beberapa waktu lalu saat Reno membantuku dan Zen menyiapkan alat lukis, dia memang terlihat tertarik. Namun tak pernah mengatakan apapun jika dia memiliki keinginan untuk belajar melukis.
"Aku kasih tau kak Sendy dulu." ujar Zen sambil mengetik sesuatu di handphonenya tepat saat terdengar ketukan di jendela di sebelahku. Saat aku menoleh, ada Astro di sana. Kurasa dia ingin mengajakku ke kantin.
"Nanti kabarin ya, Zen, aku mau ke kantin dulu. Misi dong Reno, ga bisa lewat nih." ujarku sambil bangkit dari dudukku.
Reno menggeser kursinya dan memberiku ruang yang cukup lalu melanjutkan percakapannya dengan Zen.
"Mau ke kantin? Sorry hapeku mati, aku lupa ngisi baterainya semalem." ujarku sesaat setelah sampai di sisi Astro.
"Kamu ga ada powerbank?"
"Mm ... baru kepikiran mau beli karena kamu ngomong."
Kurasa aku akan membelinya melalui toko online saja. Aku tak memiliki banyak waktu untuk mencarinya ke toko yang aku pun tak tahu berada di mana. Terlalu merepotkan.
"Kita ke kelasku dulu kalau gitu. Sementara kamu bisa pakai powerbank punyaku." ujarnya sambil berjalan mendahuluiku.
"Hei Astro!" Beni yang sedang berada di depan pintu kelasnya menyapa Astro. Aku ingat Beni adalah murid laki-laki yang pertama kali Astro kenalkan padaku saat di perpustakaan dulu.
"Apa kabar Wakil Ketua OSIS?"
"Ah jangan panggil gitu lah. Ooh ... hai Faza, masih betah sama Astro ya?" ujar Beni dengan senyum iseng.
"Selamat ya jadi wakil ketua." ujarku yang sengaja mengabaikan kalimat yang terakhirnya.
"Thank you. Eh mana softwarenya?" Beni bertanya ke Astro.
"Ada di kelas. Ayo deh ambil sekalian." ujar Astro yang melanjutkan langkah menuju kelasnya. Aku dan Beni mengikuti di belakang.
"Faza kalau punya temen cewek kenalin dong." ujar Beni.
"Bukannya kamu waktu itu lagi nempelin Donna?" aku bertanya karena mengingat Beni pernah memanggil Donna dengan sebutan bebeb.
"Udah nyerah, Donna susah ditaklukin."
"Aku ga ada temen lain sih. Sorry."
"Yah ..." Beni terlihat kecewa, tapi sepertinya dia baik-baik saja.
Kami sampai di kelas Astro tak lama kemudian. Awalnya aku ragu akan ikut masuk atau menunggu saja di luar, tapi melihat Beni masuk, maka aku mengikutinya saja. Aku baru tahu bahwa Astro duduk di depan meja guru saat dia menghampiri ranselnya.
"Coba liat siapa yang dateng?" aku mendengar suara yang cukup jelas untuk didengar seisi kelas. Saat aku menoleh, aku menemukan Angel sedang duduk dikelilingi dua orang temannya. Salah satunya adalah yang beberapa waktu lalu menemaninya ke toko di Anjungan. "Ga cukup nempelin Zen sekarang nempelin Beni juga?"
Aku masih mendengarnya bicara. Aku akan mengabaikannya andai saja bukan aku yang dia maksud. Angel berdiri dan menghampiri kami, dua orang temannya mengikuti.
"Kamu harus liat kenyataan, Astro. Dia nempelin cowok-cowok populer gini. Ga heran kan kalau dia nempelin kamu juga. Pasti ada maunya." ujar Angel.
"Ngomong apa sih kamu?" Astro menegurnya dengan alis mengernyit mengganggu.
"Liat dong! Cewek yang kamu kejar ini tuh emang doyan nempelin cowok-cowok. Ga pantes buat kamu tau, bikin malu aja." ujar teman Angel yang menemaninya ke toko.
"Kamu yang harusnya diem kalau ga tau apa-apa, Riri!" ujar Astro.
"Udah keliatan jelas begini kok. Ga tau apa-apa gimana? Mukanya aja sok alim, kelakuannya malu-maluin gini." ujar Angel.
Sebetulnya aku tak begitu mengerti dengan apa yang terjadi, tapi aku tak akan salah mengira bahwa mereka memang sedang mencoba mempermalukanku.
"Sorry, kamu siapa ya? Aku ga kenal." ujarku dengan nada dan ekspresi wajah yang sengaja kuperlihatkan biasa saja.
"Aku Princess Angelica Kusumohardjo, tapi ga perlu salaman lah ya. Kita beda level." ujar Angel.
"Udah, Za, cuekin aja. Yuk ke kantin." ujar Astro sambil mendorong lenganku pelan menggunakan powerbank. Aku tahu Astro sedang bermaksud mengajakku menghindari pembahasan ini.
"Kamu tuh bener-bener buta ya, Astro? Buka dong mata kamu. B*tch kayak gini kok dibelain. Aku tau kok dua minggu lalu dia keliaran di mana. Aku punya sumber terpercaya." ujar Angel dengan kobaran api di matanya.
=======
Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..
Kalian bisa add akun FB ku : iamno
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..
Btw, kalian bisa panggil aku -nou-