Ucapan Terima Kasih (2)
Ucapan Terima Kasih (2)
Setelah berlari hingga ke lantai satu dan menjauhi tangga, akhirnya Mihai berhenti. Tenaganya terkuras habis membuat ia harus menopang tubuhnya pada dinding dengan kedua tangan. Napasnya ngos-ngosan dan jantungnya berdebar begitu kuat hingga terasa sakit. Liviu buru-buru menarik sapu tangan yang ada di dalam saku celana Mihai – sapu tangan yang diberikan Ecatarina agar Mihai tidak sembarangan mengusap keringatnya dengan tangan yang kotor – dan membantu Mihai mengusap keringat yang mengalir dengan deras.
"Ada apa sih…?" Toma juga ikut menggerutu di sela napasnya yang tersengal-sengal. Lantaran, ia terpaksa berlari karena Mihai tidak mau melepaskannya tanpa memahami situasinya dengan jelas. Genggaman Mihai begitu kuat hingga ia merasa pergelangan tangannya akan remuk.
Setelah keduanya berhasil mengatur kembali napas mereka, Mihai baru menjelaskan.
"Aku sedang diam-diam mengamati Luca dan Paman tiba-tiba memanggilku. Hampir saja ketahuan Luca dan ingkar janji lagi!"
Toma ber-oh singkat sebagai jawaban. Ia bisa menduga bahwa Mihai sedang mengamati Luca, berharap bisa menemukan akar permasalahan yang terus ia sebut beberapa hari ini. 'Aku rasa Tuan Luca sudah menyadarinya?' pikirnya tapi ia tidak mengucapkannya karena ia tahu Mihai akan kembali panik.
Sebagai gantinya, ia segera memberitahukan tujuannya untuk menemui Mihai dan menyerahkan ponsel barunya itu.
Mata Mihai langsung berbinar. "Wuahh! Livi, lihat! Ini versi terbaru!" serunya kagum. Karena ia miskin, ia hanya bisa membeli ponsel bekas yang sudah berada di ambang kerusakan dengan tipe yang sudah sangat ketinggalan jaman.
"Aku belum pernah memainkan ponsel tipe seperti ini yang sudah tidak punya tombol tapi seharusnya cara kerjanya tidak begitu berbeda. Biarkan aku coba dulu." Mihai mulai mengotak-atik ponsel itu dan terus bergumam ketika menemukan fitur baru yang tidak pernah ia lihat.
"Livi, lihat! Kita bisa berfoto!"
"Daa!!"
Mata papa dan anak itu berbinar bahagia. Liviu bahkan mengulurkan tangannya, ingin memegang ponsel itu juga dan melakukan pergerakan yang sama dengan yang dilakukan papanya untuk mengaktifkan fitur keren nan asing itu.
Toma tidak bisa berhenti tersenyum melihat sikap kekanakan keduanya. Memikirkan bahwa dulu ia sempat berpikir untuk memanfaatkan Mihai membuat ia merasa sangat bersalah. 'Bagaimana bisa aku berpikiran jahat seperti itu kepada anak muda sepolos ini.'
Semakin ia berpikir, ia semakin membenci dirinya.
"Oh ya, Paman! Boleh aku pakai ponsel ini untuk menghubungi Papaku? Ponselku sudah rusak dan aku belum bisa beli yang baru. Sudah lama aku tidak menghubungi keluargaku."
Mendengar kata 'Papa' dari mulut Mihai, Liviu semakin bahagia. "Daa! Daa!"
"Tentu saja! Tapi setelah itu, jangan lupa ajari aku, OK?"
*****
Ioan menghentikan tangannya yang sedang mencuci piring ketika ponselnya berdering. Ia segera membilas tangannya dari busa-busa sabun lalu mengambil ponsel itu. Alisnya mengernyit ketika ia menemukan nomor asing yang sedang meneleponnya.
'Siapa?' Ia agak ragu untuk menerimanya tapi instingnya mengatakan bahwa ia harus menerima panggilan itu. Pada akhirnya, ia mengikuti instingnya.
"Ah! Akhirnya di angkat! Papa!"
"Daa!!"
Suara dua orang yang sangat riang muncul dari balik sambungan.
Mendengar itu, beban yang menekan tubuh Ioan langsung terangkat. Akhirnya, ia bisa memastikan dengan telinganya sendiri bahwa anak dan cucunya benar-benar baik-baik saja.
Namun, yang muncul dari ucapannya bukanlah sapaan ramah melainkan, "MIHAI SIALAN! SUDAH BERAPA KALI PAPA BILANG UNTUK TERUS MENGABARIKU! KAU TIDAK MEMIKIRKAN PAPAMU YANG MENCEMASKANMU SAMPAI MAKAN PUN TIDAK NAFSU, TIDUR PUN TIDAK NYENYAK, HAH?!! KAU INGIN KUBUAT JADI DAGING CINCANG?!"
Mihai langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Sepertinya ia telah terlalu lama tidak menelepon hingga kebrutalan papanya sudah mencapai level dewa.
Liviu sudah pucat pasi karena tidak pernah melihat kakeknya yang seperti ini. Bayangan kakeknya yang lembut dan penyayang langsung pecah berkeping-keping.
Mihai hanya bisa mengelus kepala Liviu untuk menghiburnya walaupun hatinya sendiri ketar-ketir oleh amarah papanya. Sudah pengetahuan umum bagi Keluarga Asaka bahwa kemarahan Papa mereka adalah yang paling tidak boleh dipancing. Bahkan, Viorel yang paling ganas pun akan gemetar seperti tikus kecebur air got jika sudah menghadapi Ioan yang marah besar.
"Baiklah. baiklah, Pa. Maafkan Mihai. Jangan marah lagi ya? Livi sampai ketakutan nih," bujuk Mihai menggunakan Liviu sebagai tamengnya.
Nama Liviu benar-benar ampuh karena sedetik berikutnya, Ioan sudah kembali melembut.
"Maaf Livi sayang, Kakek membuatmu takut ya. Habisnya Papamu yang BODOH dan MENYUSAHKAN ini benar-benar membuat Kakek kehilangan kesabaran." Bahkan dalam keadaan melembut pun, Ioan masih tidak bisa berhenti mengeluarkan kemarahannya dengan menekankan dua kosa kata yang menggambarkan Mihai.
"Daa!" Liviu membalas kembali senang. Akhirnya, kakeknya kembali seperti yang ia kenal.
Ioan tertawa bahagia. "Livi, boleh biarkan Papamu dan Kakek berdua saja untuk sementara? Ada yang ingin Kakek bicarakan berdua saja."
Mihai merasa jantungnya berhenti berdetak. Wajahnya memucat dan ia terus memberi tanda kepada Liviu untuk tidak menerima permintaan Ioan.
Namun, Liviu kali ini melewatkan tanda itu dan sudah ber-da ria seraya terbang menuju pelukan Toma.
Pada akhirnya, Mihai mendapatkan omelan yang luar biasa panjangnya selama satu jam penuh. Mihai bahkan tanpa sadar berlutut dengan rapi di atas lantai hingga kram.
"Pokoknya, cepatlah beli ponsel baru dan selalu kabari kami setiap hari! Mengerti?"
"Mengerti…," gumam Mihai lemas.
Ioan akhirnya mau melepaskan Mihai dan menutup sambungan telepon.
"Dasar anak itu!" gerutu Ioan setelah sambungan terputus tapi kontras dengan gerutuannya, wajahnya tersenyum penuh kelegaan.
"Sudah kubilang dia baik-baik saja, makanya jangan terlalu khawatir."
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari atas kepala Ioan. Ia refleks mendongak. Mata bulatnya terbelalak lebar.
Entah sejak kapan, jendela dapurnya sudah terbuka dan sekarang Steve sudah muncul di sana dengan satu tangan menopang dagunya dan satu tangan lagi melambai riang kepada Ioan.
Ioan berdecak kesal. Seluruh tubuhnya bergemetar hebat.
"Sudah kubilang…." Suara Ioan berubah sangat dalam hingga membuat Steve merinding. Alarm bahaya berbunyi memperingatinya, tapi sudah terlambat.
"AKU TIDAK KENAL KAU JADI JANGAN MUNCUL LAGI DI HADAPANKU!"
Sebuah tendangan kuat mendarat di wajah Steve dan pria jangkung itu segera terbang beberapa meter sebelum sangkut di semak-semak yang tebal. Wajahnya penyok sebelah dan darah mengalir keluar melalui lubang hidungnya.
Ioan meludah ke luar jendela sebelum menutup jendela itu dengan kasar.
"Yah … tendangan Io masih yang terbaik," ujar Steve dengan senyum masih menghiasi wajahnya.
Jack yang segera membantunya bangun langsung terang-terangan berekspresi jijik. "Mohon berhenti mengucapkan pernyataan masokis Anda. Nama baik Keluarga Pavel bisa tercoreng."
Steve tidak peduli dan masih terus tertawa seperti orang aneh. Ia tidak peduli caranya yang penting ia bahagia karena setidaknya, hari ini, Ioan kembali mengucapkan beberapa patah kata kepadanya dan tidak mengabaikannya sepenuhnya seperti beberapa hari yang lalu.
Jack, walaupun mengucapkan kalimat itu, juga ikut bahagia untuk tuannya.
Sementara itu, di dalam rumah, Ioan bersandar pada jendela dengan wajah merah padam. Ia masih terkejut karena tidak mengira Steve akan tiba-tiba muncul. Ia kira Steve sudah menyerah dan pergi sebelum malam tiba.
Jantungnya berdegup kencang dan walaupun ia seharusnya tidak merasakan ini tapi tanpa ia sadari, ia sangat bahagia karena Steve masih tidak menyerah akan dirinya dan anak-anaknya….
'Aku benar-benar bodoh!'