This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Asalkan Kau Tetap Menyayangi Putra Kita



Asalkan Kau Tetap Menyayangi Putra Kita

"Kau … mencintaiku?" ucap Luca sedikit ragu dengan pendengarannya. Otaknya tiba-tiba menjadi kosong.     

Mihai tertegun.     

Luca juga diam saja, menunggu….     

Otak Mihai sedang memproses….     

"EHHH?!! KAU TIDAK TAHU TENTANG PERASAANKU?!"     

Luca menggeleng.     

'Argghh!!' Tubuh Mihai merosot ke lantai dengan kedua tangan menjambak-jambak rambutnya. Rasanya ingin menangis saja.     

Bagaimana tidak?     

'Kau sudah menggali kuburanmu sendiri, Mihaiku sayang!!!' batinnya sarkas bercampur kesal.     

Dirinya semakin yakin bahwa apa yang telah ia lakukan sepanjang hari ini benar-benar sia-sia! Bagaimana mungkin cara itu bisa memberinya solusi? Bahkan akar permasalahan yang menjadi dugaannya tidaklah tepat!     

Apalagi, karena terlalu banyak memikirkannya, asumsi-asumsi itu terdengar seperti sebuah fakta yang sudah terbukti seratus persen benar sampai bagian kecil dari hati Mihai sudah menerimanya sebagai suatu kepastian. Hasil akhirnya adalah keinginan untuk menusuk dirinya sendiri di tempat!     

Mihai bersumpah tidak akan sok pintar lagi! 'Aku akan langsung melabraknya apapun yang terjadi!'     

Sementara Mihai tenggelam dalam penyesalannya yang tak berujung, Luca mengira Mihai sedang sakit karena tiba-tiba merosot ke lantai.     

Tangannya refleks terulur, ingin menanyakan keadaan pria itu tapi sebelum mencapai Mihai, pergerakannya terhenti.     

'Aku tidak perlu mengkhawatirkannya,' batinnya seraya menarik kembali uluran tangan itu. Walaupun begitu, Luca berpikir bahwa ia perlu mengatakan satu-dua kata kepada Mihai.     

Luca berdiri dari posisi duduknya lalu berjalan sedikit menjauh dari posisi Mihai berada sebelum berhenti. "Ini adalah masalahku, bukan karena perbuatanmu," ujarnya dengan masih memunggungi Mihai.     

Mihai mengernyit bingung. Sambil kembali berdiri, ia berkata, "Kalau begitu, mengapa kau menghindariku seperti ini? Jika bukan karena aku berbuat salah, lalu apa penyebabnya?"     

Mulut Luca terbuka, hendak menjawab, tapi tertutup kembali. Jari jemari tangannya, yang terlipat di dada, mengetuk-ngetuk lengan dengan irama yang seragam, penuh dengan pertimbangan.     

"Kau…," ucap Luca akhirnya setelah beberapa detik berlalu.     

Tubuh Mihai langsung menegang dan tanpa sadar, ia menahan nafasnya selama menunggu kalimat selanjutnya diucapkan.     

"…apakah kau tahu tentang mixed blood?"     

"Mixed blood?" Mihai mengerjap-ngerjap bingung. "Aku tidak pernah mendengarnya."     

Luca mengangguk kecil dan keheningan kembali menyelimuti mereka.     

Mihai merasa ia bisa dibunuh oleh keheningan yang mengecam ini. 'Ayolah! Cepat katakan sesuatu!' omelnya dalam hati tapi ia tidak mengeluarkan keresahannya itu melalui kata-kata karena instingnya mengatakan bahwa Luca sedang membutuhkan keheningan ini.     

Helaan napas yang sangat lembut tertangkap telinga Mihai – jika ia tidak memiliki kemampuan pendengaran half-beast, mungkin ia tidak akan pernah menangkap helaan napas itu karena benar-benar sangat lembut seperti hembusan angin biasa. Walaupun lembut, Mihai bisa menangkap suasana yang berat dan suram dari helaan itu membuat ia menatap Luca dengan penuh tanda tanya.     

'Sebenarnya apa yang sedang membebanimu? Apa aku telah melakukan sesuatu yang menyulitkanmu?' Walaupun Luca mengatakan itu bukan karena perbuatannya, Mihai tidak bisa percaya sepenuhnya karena jika ia tidak melakukan sesuatu yang salah tentunya Luca tidak akan tiba-tiba memperlakukannya dengan dingin.     

Mihai berharap Luca mau memberitahukannya secara jujur jadi, jika ini adalah kesalahpahaman, Mihai bisa memperbaiki kesalahpahaman itu dan jika ternyata Mihai memang salah, ia akan berusaha menebus kesalahannya.     

Namun, harapannya harus pupus ketika Luca berkata, "Aku tidak bisa mengatakan semuanya secara jelas."     

Mihai ingin menyela tapi Luca sudah melanjutkan kalimatnya.     

"Tapi yang jelas, aku bisa mengatakan bahwa kau tidak pernah melakukan hal yang salah yang memicu masalah ini…."     

'Setidaknya, kau tidak melakukannya secara sadar…,' tambahnya dalam hati. Ia sudah yakin untuk yang satu ini karena ia sudah memastikan bahwa Mihai benar-benar tidak tahu menahu tentang mixed blood. Berarti, jika Mihai memiliki identitas asli sebagai mixed blood pun, Luca yakin Mihai sendiri tidak mengetahuinya.     

"Tapi—" Mihai ingin memprotes lagi tapi Luca mengangkat tangan untuk menghentikannya.     

"Percayalah bahwa ini benar-benar masalah pribadiku. Namun … hah…." Luca kembali menghela napas panjang.     

"Aku harus mematahkan perjanjian kita karena aku benar-benar tidak mau melihat wajahmu. Aku ingin kau sebisa mungkin tidak muncul dalam jangkauan pandanganku untuk ke depannya."     

'Ini untuk yang terbaik….' Luca terus meyakinkan dirinya di dalam hati.     

Ia begitu membenci mixed blood karena makhluk itu telah merenggut nyawa orang tercintanya dan ia bersumpah untuk memusnahkan makhluk itu dari dunia ini. Namun, walaupun ia bisa membunuh mixed blood yang lain, ia tidak bisa melakukannya pada Mihai, sebenci apa pun dirinya kepada pria harimau itu – tidak tahu alasannya tapi otaknya telah menyadarkannya atas kenyataan itu.     

Jadi, setiap kali ia melihat Mihai, ia akan dipenuhi kebencian. Namun, ia tidak bisa memusnahkan pria itu yang membuatnya semakin diingatkan dengan kebencian masa lalu tersebut. Ketidakmampuan ini membuat ia tidak nyaman.     

Mungkin ini yang dinamakan frustasi … begitulah analisa Luca.     

Dan untuk menyelesaikan ini, ia hanya bisa memusnahkan Mihai secara simbolis, yaitu mencegah seluruh yang berhubungan dengan Mihai termasuk sosok dan suaranya tertangkap oleh kelima indra Luca.     

Luca yang masih memunggungi Mihai tidak menyadari sepasang mata kuning-kehijauan yang memerah dan berkaca-kaca.     

Mihai segera menggosok matanya dengan kasar, tidak membiarkan air jatuh membasahi wajahnya.     

"Aku…." Suaranya bergetar membuat Mihai terhenti sejenak, berusaha mengontrol suaranya, sebelum kembali berkata, "…aku tidak mengerti. Jika aku tidak melakukan sesuatu yang salah mengapa kau begitu marah hingga tidak ingin melihat wajahku?"     

'Aku tidak marah…,' koreksi Luca tapi ia tidak mengucapkannya.     

Benar apa yang dikatakan Mihai. Luca tidak menjelaskan apa pun, bagaimana mungkin Mihai bisa paham. Namun, Luca tidak punya kewajiban untuk menceritakan masa lalunya kepada sosok yang ia benci.     

"Mengertilah."     

"Sudah kubilang aku tidak mengerti!"     

Mihai tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan langkah besar-besar, ia mendekati Luca dan tanpa basa basi menarik kerah kemeja pria itu, memaksanya menoleh. Semua umpatan sudah menunggu di ujung bibirnya, bersiap untuk meluncur tapi….     

Kedua pasang mata bertemu.     

Seluruh umpatan itu tertelan kembali.     

"Lepas," gumam Luca tanpa kehilangan ketegasannya.     

Mihai masih tidak bergerak. Matanya tetap lurus pada sepasang mata merah gelap di hadapannya.     

Luca mengernyit dalam. Ia tidak mau menatap wajah Mihai lebih dari ini. Tanpa pilihan lain, ia melepaskan genggaman Mihai pada kerahnya secara paksa. Yang tidak ia duga, genggaman itu dengan mudah lepas tanpa perlu mengeluarkan energi.     

Mihai mundur beberapa langkah. Ekspresi wajahnya begitu rumit hingga Luca tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pria ini.     

Namun, secara refleks, ia memalingkan wajahnya, tidak ingin lagi melihat ekspresi itu. Dadanya kembali seperti ditusuk-tusuk oleh jarum-jarum kecil yang tumpul – tidak sakit maupun berdarah, tapi cukup mengganggunya.     

"Baiklah." Akhirnya Mihai membuka suara.     

Mihai menarik napas dalam-dalam untuk beberapa kali sebelum melanjutkan. "Aku juga sudah mengingkari janjiku untuk tidak jatuh cinta jadi aku tidak keberatan karena apa pun yang terjadi, perjanjian itu tidak lagi bisa aku penuhi…."     

Hembusan napas lega keluar dari mulut Luca. Otot-otot tubuhnya mengendur. Ternyata tanpa ia sadari, selama pembicaraan ini, tubuhnya telah menjadi begitu tegang bagaikan balok kayu.     

"Aku berjanji tidak akan pernah muncul di depanmu. Kau tidak perlu lagi makan bersama denganku seperti biasa. Tapi…." Mihai berhenti sejenak untuk menarik napas.     

Tubuh Luca sedikit menegang lagi ketika ia mendengar kata terakhir Mihai tapi ia tidak mendesak pria itu dan menunggu dalam diam.     

"…aku ingin kau tetap memenuhi beberapa syarat."     

"Apa itu?"     

"Pertama, tetap makan bersama dengan Liviu dan membawa Liviu jalan-jalan seminggu sekali. Tenang saja, aku tidak akan ikut serta sesuai janjiku. Yang penting kau tetap menyayangi putra kita. Kedua, aku akan tetap tinggal di kediaman ini sebagai istrimu. Ini bukan karena aku ingin berusaha membuatmu membalas perasaanku, tapi murni sebagai pertanggung jawaban karena aku sudah melahirkan anakmu. Selama kau tetap membiayai hidupku dan membiarkanku tinggal bersama Liviu di sini, aku tidak akan mengganggu hidupmu. Ketiga…."     

Kepalan tangan Mihai mengerat hingga buku-buku jarinya memutih. Kuku-kukunya yang tajam menancap sangat dalam hingga membuatnya kesakitan.     

"Ketiga … aku berharap kau tidak mencari pasangan lain di luar. Namun, jika kau memang membutuhkan hubungan intim dengan seseorang, baik itu jangka panjang maupun jangka pendek, lakukanlah itu di luar jangkauan pandanganku. Itu saja syarat dariku."     

Dada Luca tiba-tiba sesak tanpa suatu alasan yang pasti. Ia pun tanpa sadar menggigit dinidng mulutnya dan ketika ia tersadar, rasa besi sudah memenuhi mulutnya.     

Ia ingin menyetujui syarat itu tapi mulutnya tiba-tiba begitu berat hanya untuk mengucapkan satu kata itu saja.     

'Apa yang membuatmu seperti ini? Bukankah syaratnya bukanlah sesuatu yang sulit untuk dipenuhi?'     

Benar. Bahkan syarat itu terlalu menguntungkan Luca! Seharusnya ia sangat bersyukur untuk itu. Namun, mulutnya tetap tidak mau bergerak.     

"Bagaimana menurutmu?" tanya Mihai, tidak lagi bisa bersabar.     

Setidaknya, putranya harus tetap memiliki interaksi dengan Luca dan mendapatkan kasih sayang Luca sebagai ayahnya.     

Luca akhirnya berhasil memaksa mulutnya untuk berkata, "Baiklah."     

Mihai mengangguk puas. "Keluarkan kertas perjanjian yang dulu aku tanda tangani itu. Ubah isinya sesuai dengan syarat tadi dan aku akan menandatanganinya lagi."     

Luca tidak menyangka bahwa Mihai akan bersikap setenang ini.     

'Yah … lebih baik dia tenang dibandingkan penuh dengan amarah seperti biasanya…,' pikir Luca seraya mengeluarkan kertas perjanjiannya itu dan membiarkan Mihai menandatanganinya.     

Seharusnya ia puas dan lega tapi tidak ada jejak pikiran itu sama sekali. Sebaliknya, kesesakan di dadanya menjadi semakin kuat.     

Selesai menandatangani perjanjian itu, Mihai langsung berbalik dan berjalan menuju pintu perpustakaan. "Bye," gumamnya sebelum menghilang dibalik pintu yang kembali tertutup.     

Liliane yang langsung menyembunyikan dirinya ketika Mihai masuk dan menonton semuanya segera mengutuk putranya. "Dasar bodoh! Tidak peka! Otakmu berada di dengkul!"     

Wanita itu langsung terbang menembus pintu perpustakaan untuk mengejar Mihai.     

Luca berdiri diam sambil menatapi pintu perpustakaan yang tidak lagi bergerak. Tangannya meremas kemeja di bagian dadanya dengan erat hingga terasa akan robek tapi kesesakan itu tidak kunjung hilang….     

*****     

Liliane berjongkok sedih di depan Mihai yang duduk di lantai kamarnya sambil memeluk kedua lutut. Punggungnya bersandar pada sisi tempat tidur sementara kepalanya terbenam di dalam tekukan lututnya. Bekas air mata begitu jelas di sudut matanya yang tertutup rapat dan dengkuran halus menggema di dalam kamar.     

"Akhirnya dia tertidur," gumam Liliane setengah berbisik.     

Ketika Liliane mengejar Mihai sampai ke kamarnya, ia sudah menemukan pintu kamarnya lepas dan tergeletak di atas lantai serta Mihai yang sudah membulatkan tubuhnya seperti sekarang dan menahan isak tangisnya agar tidak membangunkan Liviu.     

"Mihai, mengapa kau menerima keinginan dia? Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri." Jika ia bukan roh, ia sudah akan memeluk Mihai erat-erat, berharap dengan menyalurkan kehangatan, ia bisa menutupi sedikit kesedihan yang memenuhi pria itu.     

"Aku tidak punya pilihan lain setelah melihat tatapan matanya yang penuh dengan rasa sakit…."     

Mengingat kembali kalimat itu, Liliane benar-benar ingin membunuh putranya. Jika sudah seperti ini, ia tidak punya pilihan lain.     

'Aku akan membujuk Mihai untuk meninggalkan Luca!'     

___     

Extra:     

Kronologi pintu kamar Mihai lepas lagi:     

Mihai berlari masuk ke dalam kamar. Ia memutar gagang pintu dan mau membuka pintu. Tiba-tiba tak! Engsel pintu sudah terlepas. Mihai akhirnya meletakkan pintu itu di lantai secara pelan karena tidak mau membangunkan Liviu…..     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.