This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Pilihan yang Salah, Nyawa yang Hilang (1)



Pilihan yang Salah, Nyawa yang Hilang (1)

Dalam sekejap, satu bulan telah berlalu dan sekarang adalah pertengahan musim dingin….     

Keadaan Emilia berangsur-angsur membaik. Sedikit demi sedikit, sinar kembali terpancar pada sepasang matanya, tidak lagi terlihat seperti mayat hidup yang terus bergumam bagaikan sebuah kaset rusak. Ia juga mulai mengenali sekelilingnya dan sesekali bertukar dialog dengan Luca bahkan mulai tersenyum atau tertawa karena lelucon-lelucon kecil yang dilontarkan oleh pria itu. Melihat ini, Luca mulai bisa mengendurkan ketegangan di tubuhnya.     

Hanya saja, itu hanya berlaku ketika gadis itu bersama Luca 'saja'.     

Jika ia melihat bayi mixed blood itu, Emilia akan kembali histeris. Bahkan di awal ketika gadis itu mulai mendapatkan kembali akal sehatnya, Luca secara perlahan mulai membujuk Emilia untuk setidaknya melihat bayi itu dan menerimanya sedikit demi sedikit. Namun, baru saja Luca menggendong bayi itu mendekat, Emilia hampir melempar bayi itu dan menghilangkan nyawanya jika Luca tidak menghentikannya.     

Sejak saat itu, jika Emilia tersadar dari tidurnya, Luca memastikan bayi tersebut tidak memasuki pandangan sang gadis.     

Namun, Luca masih tidak menyerah karena Luca yakin Emilia juga bisa merubah impresinya seperti Luca yang telah menerima bayi itu secara penuh sebagai putranya setelah mengurus bayi mungil itu untuk beberapa saat.     

Bagaimana mungkin tidak?     

Bayi mixed blood itu begitu cerdas dan imut. Bayi itu tidak pernah menyulitkan Luca. Bahkan, sering memberikan semangat baru baginya yang sedang bersedih. Bisa dikatakan, bayi itu adalah salah satu faktor yang membuatnya masih pantang menyerah dan penuh semangat hingga sekarang, melihat betapa sulitnya keadaannya sekarang.     

Akan tetapi, Emilia benar-benar keras kepala. Luca bahkan hanya mengatakan kata 'bayi' dan Emilia sudah akan menggila. Bahkan setelah sebulan ini, Emilia masih menolak untuk mendengarkan cerita mengenai bayinya. Untungnya, Emilia tidak lagi menjerit dan bertindak brutal dan hanya berwajah masam seraya menutup telinga dan berpura-pura tidur sebagai bentuk penolakannya.     

Tentunya ini bukanlah tanda yang buruk. Bagi Luca, perubahan ini adalah sebuah bentuk harapan! Ia yakin dalam waktu yang tidak lama lagi, Emilia akan mulai membuka hatinya untuk bayi itu dan ia tidak menyangka bahwa ia akan melihat tanda-tanda penerimaan tersebut dalam waktu yang begitu dekat, yaitu sekarang.     

Sekarang ini, Luca sedang memberikan bedak kepada bayi itu setelah mengelap badannya dengan air hangat. Tentunya ia tidak berlama-lama karena cuaca yang masih begitu dingin dan ia melakukannya di luar rumah karena ia tidak ingin membuat Emilia yang sedang makan di dalam rumah kembali tidak senang. Dengan lihai, Luca mengenakan pakaian tebal pada bayi itu diiringi dengan tawa kecil yang sangat imut dari makhluk mungil itu.     

Melihatnya, Luca tidak bisa menahan diri untuk mengangkat bayi itu dan menggesekkan pangkal hidungnya pada perut bayi itu membuat bayi itu tertawa semakin kuat. Gemas oleh keimutannya, Luca mencubit lembut pipi tembamnya.     

"Bayi Ayah sudah harum dan rapi, sangat tampan!" serunya dengan suara tiruan dan ekspresi yang aneh sambil mendaratkan ciuman yang bertubi-tubi pada bayi itu.     

Bayi itu langsung tertawa-tawa geli. Tawanya yang begitu polos dan imut memberikan kehangatan yang besar di hati Luca, begitu besar hingga ia bahkan bisa mencintai dunia yang penuh dengan ketidakadilan ini. Demi bayi ini, ia rela melakukan apa pun, asalkan ia bisa membuat dunia ini sebagai suatu tempat yang nyaman dan aman bagi putranya.     

"Daa! Aaa!" Bayi itu tersenyum lebar hingga kedua matanya membentuk bulan sabit sempurna. Kedua tangannya menggenggam rambut panjang Luca dengan erat – sebuah kebiasaan yang Luca temukan ketika bayi itu mulai belajar menggenggam. Bayi itu sepertinya sangat menyukai tekstur rambut Luca dan akan terus memainkannya. Apalagi, rambut Luca sudah mencapai pinggang sehingga bayi itu akan sangat mudah mencapai rambutnya dan memainkannya seperti sekarang.     

Ketika Luca puas mencium putranya dan hendak kembali mengerjakan tugas hariannya, bayi kecil itu juga menggapai wajah Luca dan mendaratkan ciuman ringan pada pipi dan bibir Luca – Dulu ketika pertama kali bayi itu mulai mencium bibirnya, Luca kaget dan hendak menghentikannya. Namun, sepertinya bayi itu suka mencium bibirnya dan jika dilarang, ia akan menangis. Luca merasakan hatinya disayat-sayat setiap kali melihat putranya menangis jadi ia tidak lagi melarangnya. Lagi pula, ciuman ringan bayi kecil itu tidak akan merugikannya.     

Melihat perilaku manis itu, Luca kembali memeluk bayi itu dengan gemas dan penuh kasih sayang. Ia kembali menirukan suara-suara aneh dan menggumamkan betapa imutnya putranya itu. Mendengarnya, bayi kecil itu kembali tertawa geli.     

Hal yang paling Luca sesalkan hingga sekarang hanyalah, bayi mungil yang sangat ia sayangi ini belum memiliki nama.     

Sejak bayi ini lahir, Luca hanya bisa memanggilnya dengan sebutan anak ayah, atau kesayangan ayah, atau panggilan lainnya. Ia sempat berpikir untuk memberinya nama tapi bayi ini bukanlah darah dagingnya. Orang yang paling berhak memberinya nama adalah Emilia sebagai ibunya dan ia yakin Emilia akan bisa memberinya nama yang terbaik.     

Untuk itu, pertama-tama, Emilia harus bisa menerima bayi ini!     

'Baiklah! Hari ini, aku akan berusaha lagi!'     

"Da."     

Gumaman bayi itu menarik kembali Luca ke dunia nyata. Bayi itu dengan gelisah menenggelamkan tubuhnya ke dalam pelukan Luca, sepertinya ingin menyembunyikan dirinya dari sesuatu. Sepasang mata bulatnya menatap lurus ke belakang Luca.     

"Emilia!" seru Luca ketika menoleh mengikuti arah pandang putra kecilnya.     

Tanpa ia sadari, pintu rumah yang tepat berada di belakang punggungnya telah terbuka dan sosok Emilia berdiri diam di sana. Matanya yang gelap sedang menatap ke arah Luca, tepatnya pada makhluk yang ada di dalam pelukan Luca.     

"Tunggu sebentar! Aku akan membawanya ke dapur!" Dengan tergesa-gesa, Luca berdiri, hendak membawa bayi itu ke dapur yang berada di halaman belakang untuk menjauhkannya dari pandangan Emilia.     

Namun, tidak disangkanya, Emilia akan menghentikan perbuatan itu.     

"Biarkan aku menggendongnya."     

Luca terbelalak. Saking kagetnya, tubuhnya mematung untuk beberapa saat sementara otaknya menjadi kacau.     

'Apa yang aku dengar tadi? Apa aku berhalusinasi?'     

Menyadari kekacauan yang sedang melanda pria itu, Emilia berdehem kecil seraya duduk di teras. Senyum tipis terlukis di wajahnya dan kedua tangannya terulur. "Biarkan aku menggendongnya. Aku akan mengurusnya selama kau pergi berburu."     

"Eh? Be—benarkah?! Emilia kau…!" Luca terlalu bahagia hingga ia tidak bisa mengeluarkan sisa kata yang ingin ia ucapkan. Wajahnya memerah senang hingga ia tidak menyadari kegelisahan bayi yang ada di dalam pelukannya.     

Emilia mengangguk. "Aku akan menerimanya jadi biarkan aku mengurusnya. Kau pasti kesulitan berburu sambil membawa bayi itu."     

Luca semakin senang. Semua usaha kerasnya tidak sia-sia!     

Ia tidak bisa menahan dirinya untuk berjingkrak senang dan tanpa pikir panjang lagi menyerahkan bayi itu kepada Emilia.     

Bayi itu terlihat enggan lepas dari Luca tapi ia tidak meronta sedikit pun. Hanya sepasang mata bulat yang menatap Luca lurus-lurus, seperti ingin mengkomunikasikan sesuatu. Namun, Luca yang terlalu bahagia tidak menyadari apa pun.     

Dengan riang, pria itu berpamitan dan berjalan memasuki hutan.     

Setelah beberapa saat berjalan, ia baru menyadari kebodohannya. Ia tidak membawa alat berburu!     

Mau tidak mau, ia berputar balik kembali ke rumah karena ia tidak memiliki kemampuan super untuk menangkap buruannya dengan kekuatan tangan sendiri.     

Langkah kakinya ringan dan sesekali meloncat kecil dengan riang. Ia masih tidak bisa menyangka Emilia telah berubah. Bayangan kehidupannya yang harmonis dan penuh canda tawa di masa depan memenuhi benaknya.     

Namun, semuanya hilang tak berbekas digantikan dengan mata yang terbelalak ketika ia sampai di halaman rumahnya.     

Adegan di hadapannya kembali membuat jantungnya terasa jatuh ke perut.     

Bayi kecil itu terbaring di atas lantai teras yang dingin. Kedua tangan dan kaki mungilnya terus meronta-ronta dan bulir-bulir air mata membasahi wajahnya. Di atasnya, dengan satu tangan, Emilia mencekik bayi itu. satu tangannya lagi memegang pisau dapur. Bilah tajamnya mengarah tepat pada bayi itu, siap menikamnya kapan saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.