This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Hancurnya Impian yang Indah



Hancurnya Impian yang Indah

"Tidak akan kubiarkan gadis jalang itu memiliki hidup yang baik mulai dari sekarang!" geram ayah Artur seraya menaiki jalanan bukit. Sampai sekarang, ia masih memegang teguh keyakinannya bahwa Emilia-lah yang telah menculik putranya. Hal ini juga yang membuatnya bersikeras untuk datang secara langsung untuk mencari putranya ketika mendengar kabar tersebut.     

Yuki, mengantisipasi kekacauan yang akan ditimbulkan oleh pria tersebut, tidak punya pilihan lain selain mengikutinya untuk mencegah kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Menaiki jalanan bukit yang tidak rata, wajahnya yang sudah pucat semakin memucat. Tangannya mengeratkan pakaiannya yang sedikit terlalu tipis untuk menghalangi angin malam awal musim dingin.     

Mendengar gerutuan ayah Artur, Yuki tidak ambil pusing untuk memberikan komentar. Namun, ia tidak bisa menahan alisnya untuk mengernyit kecil.     

Di belakangnya, Alex dan Luca yang ikut serta juga mengernyit dalam. Namun, arti kernyitan mereka sedikit berbeda.     

Luca mengernyit penuh amarah. Di antara Emilia dan Artur, tentunya Artur-lah yang lebih mungkin untuk dianggap sebagai pelakunya. Ia ingin menggerutu tapi tidak bisa secara terang-terangan karena tidak ingin memancing amarah ayah Artur lebih dari ini yang mungkin bisa berefek buruk pada Emilia nantinya, jadi pada akhirnya, ia hanya bisa mengeratkan kepalan tangannya dan berdecak kesal.     

Sementara itu, Alex disampingnya mengernyit dalam, sedikit marah mendengar kalimat ayah Artur tapi lebih banyak cemas ketika melihat wajah pucat Yuki. Tangannya sedikit terulur, ingin menarik Yuki dan menanyakan mengapa ia terlihat begitu buruk belakangan ini, hanya untuk terhenti di udara kosong. Ia sadar ia tidak punya hak untuk menanyakannya.     

"Tuan-Tuan, aku hanya bisa membimbing kalian sampai di sini." Suara petani itu menggema, menarik semua fokus kembali ke arahnya. Ia berhenti di tengah jalanan yang sedang mereka lalui, tepat pada pertigaan jalan yang mengarahkan mereka ke atas bukit dan ke area kanan bukit.     

Wajah ayah Artur menggelap. Ia ingin membentak petani itu tanpa menanyakan alasannya tapi Yuki segera menyela. "Mengapa begitu?" tanyanya dengan nada suara sedingin es.     

Petani itu menjawab dengan suara yang sedikit gemetaran. Tangannya ragu-ragu terulur ke arah kiri mereka. "Aku melihat sosok orang itu di area kiri bukit yang terbuang. Konon katanya, area kiri bukit ini juga terdiri dari ladang petani tapi tanahnya tidak terlalu subur jadi pada akhrnya menjadi area terbuang. Sudah lama tidak ada yang memasukinya dan sering terdengar lolongan makhluk misterius dari kedalaman hutan. Kami tidak berani memasukinya dan aku sendiri juga tidak familiar dengan rute di dalamnya."     

Yuki mengangguk paham dan akhirnya mengambil alih setelah berterima kasih dan mengirim petani itu pergi.     

"Dasar tidak berguna!" umpat ayah Artur.     

Tidak ada yang berani mengomentari putra kepala klan mereka dan hanya bisa terus berjalan memasuki kedalaman hutan dengan obor di tangan mereka. Yuki berjalan paling depan untuk membimbing mereka karena ia memiliki jangkauan pandangan mata yang lebih luas sehingga ia bisa melihat lebih banyak dibandingkan yang lain, tapi tidak banyak yang mengetahui mengenai hal ini. Mereka hanya mengikuti dengan patuh karena Yuki juga seorang sosok terhormat yang cukup ditakuti bahkan oleh klan rubah sendiri.     

Telinga para half-beast rubah tiba-tiba bergerak tegak ke arah depan mereka.     

"Kalian mendengarnya?" tanya salah satu penjaga yang langsung mendapatkan anggukan dari rekan lainnya. Yuki dan Ayah Artur pun mengangguk, ekspresi wajah mereka menegang.     

Hanya dua incubus yang tidak mendengar apa-apa dan saling berpandangan, penuh kebingungan. Mereka tidak punya kemampuan mendengar setajam half-beast.     

"Di sini!" seru Yuki setengah berbisik dan mulai menuntun mereka maju.     

Oleh karena sudah lama ditelantarkan, area ini tidak memiliki jalan dan mereka harus menerobos melalui tanaman-tanaman liar yang tumbuh ke segala arah. Setelah berjalan untuk beberapa saat, Luca dan Alex mulai dapat menangkap suara tangisan seorang gadis, awalnya samar-samar dan semakin lama semakin jelas.     

"Tidak … aku … u…!"     

"Emilia!" Luca langsung mengenali pemilik suara itu.     

Di saat yang bersamaan, sebuah rumah reyot yang terlihat akan roboh sewaktu-waktu tertangkap pandangan mereka. Suara yang awalnya hanya satu berubah menjadi dua, yang wanita begitu keras hingga menyayat hati sementara yang pria lebih samar tapi sesekali meninggikan suaranya. Kedua suara itu berasal dari dalam rumah reyot, mengalir keluar dari kusen pintu dan jendela kecil yang hanya ditutup oleh kain compang camping.     

"Tenanglah! Sebentar lagi … lahir … kita! Buah cinta … pasti akan … a!"     

"TIDAK! TIDAK MAU! AKU TIDAK MAU INI! BUNUH! BUNUH AKU SAJA!"     

Luca merasa jantungnya jatuh ke perut. Langkah kakinya semakin cepat. "EMILIA!"     

Alex dan yang lainnya juga berlari menuju rumah itu. Darah meninggalkan wajah mereka ketika sampai di depan kusen pintu. Mata mereka terbelalak lebar melihat adegan menyeramkan yang terpampang di depan mereka.     

Rumah itu hampir kosong, hanya terdapat beberapa buah liar yang memiliki bekas gigitan, sebuah matras jerami yang rusak, dan beberapa helai pakaian. Di ujung ruangan itu, terdapat dua sosok yang sangat kacau. Pria itu, Artur, berlutut di depan sang gadis, Emilia, sambil menahan kedua tangan Emilia yang terkepal erat. Ia terus membujuk Emilia dengan suara yang terkadang lembut terkadang kasar dan penuh bentakan. Di depannya, duduk Emilia yang dipenuhi air mata. Mulutnya terbuka lebar memuntahkan teriakan yang histeris. Rambutnya berantakan. Tubuhnya yang penuh bekas luka dan lebam terikat oleh tali.     

Jelas sekali bahwa pelakunya adalah Artur!     

Namun, Luca tidak bisa menghiraukan hal itu lagi. Dingin menjalar dari kulit kepala hingga ujung jari kakinya. Matanya memerah darah tapi tidak ada air mata yang tertetes dari sana. "Emi … lia…." Tiba-tiba tenggorokannya kering dan bibirnya bergetar hebat.     

Emilia yang masih terus menjerit tiba-tiba berhenti. Matanya terbelalak dan kesengsaraan terlihat jelas di wajahnya ketika ia menemukan keberadaan Luca. Air mata yang jatuh menjadi semakin deras.     

'TIDAK! JANGAN LIHAT! JANGAN LIHAT! TIDAK MAU! TIDAK MAU! AKU TIDAK MAU! BUNUH AKU! BUNUH AKU! TIDAKKK!!" jeritnya seperti orang gila. Ia segera menutupi perutnya … perutnya yang membulat besar, membawa sebuah nyawa di dalamnya!     

"Emilia! Tenanglah! Nanti bayi kita terluka!" seru Artur sambil menahan tangan Emilia yang mau memukul perutnya sendiri. Ia memicingkan matanya yang penuh kebencian kepada Luca. "Jangan mengganggu kami! Kau tidak lihat Emilia butuh istirahat agar bayi kami dapat lahir dengan aman, HAH?!"     

Luca tidak dapat berkata-kata. Ia belum bisa mencerna semuanya dengan baik.     

Di sampingnya, Alex mengernyit dalam.     

Kata-kata yang diucapkan Tuan Muda mereka tidaklah logis, penuh dengan kekacauan. Sorot mata Artur tidaklah fokus, bergerak ke mana-mana. Tidak hanya itu, ekspresi wajah Artur juga kacau, terkadang bahagia, terkadang sedih, terkadang marah, jelas sekali pria ini tidak pada pikiran yang jernih.     

Yang paling pertama terlepas dari keterkejutan ini adalah ayah Artur. Ia segera menarik putranya dengan kasar.     

"Apa?! TIDAK! AKU HARUS MENJAGA BAYIKU DAN ISTRIKU! TI—"     

PLAK!     

Tamparan keras mendarat di pipi Artur. Jika tangannya tidak sedang dipegang, tubuhnya mungkin akan terbang beberapa meter. Artur langsung tidak sadarkan diri sementara ayahnya yang mendaratkan tamparan itu masih belum puas dan terus menampar putranya. "DASAR TIDAK TAHU MALU! AKU TIDAK PUNYA ANAK SEPERTIMU! TIDAK PUNYA DAN TIDAK AKAN PERNAH PUNYA!"     

"Tuan! Tuan! Berhenti! Tuan Muda akan mati!" Para penjaga dengan susah payah menahannya tapi kekuatan mereka tidaklah cukup.     

Pada akhirnya, Yuki harus mengetuk titik akupuntur ayah Artur untuk membuatnya pingsan. "Bawa mereka kembali ke kediaman!"     

"Baik!"     

Yuki merasakan kepalanya berdenyut kuat. Tubuhnya hampir limbung dan jatuh menyentuh lantai jika pelayan pribadinya tidak dengan sigap menahannya.     

Alex yang awalnya ingin menangkapnya segera menghela napas lega. Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama diganti oleh kesedihan yang mendalam ketika ia melihat punggung pria muda yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.     

"Emilia…," gumam Luca seraya memeluk tubuh dingin gadis pujaannya. Kekeringan di matanya segera hilang bagaikan sebuah halusinasi belaka dan air mata mulai menetes, semakin dan semakin deras di setiap panggilannya kepada gadis itu.     

Siapa pun yang mendengarnya bisa merasakan hati mereka disayat berkali-kali. Namun, gadis yang menajdi sumber kesedihannya, bagaikan nyawanya telah diculik oleh dewa kematian, hanya menatap kosong ke langit-langit sambil bergumam, "Tidak … tidak…." Bagaikan kaset rusak.     

"Ayo bawa gadis itu kembali juga," ujar Yuki sedikit melembut.     

Alex mendekati Luca dan menepuk lembut punggungnya yang masih bergemetar. "Ayo," bujuknya.     

Keduanya sudah mau mengangkat Emilia ketika tiba-tiba gadis itu berteriak kesakitan. Cairan beserta darah segar mengalir turun mengotori kakinya. Dia akan segera melahirkan!     

"Emilia! Emilia!" seru Luca panik. Otaknya tidak bekerja dengan baik dan ia juga tidak paham bagaimana cara membantu seseorang melalui proses melahirkan.     

Alex juga tidak begitu paham.     

Untungnya, Yuki memiliki pengetahuan dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Ia segera menyuruh pelayan pribadinya untuk mengambil air dan mengusir dua pria tersebut keluar dari rumah. Untuk mencegah angin dingin masuk, ia mengambil beberapa potong kayu lapuk yang terbuang di tepi rumah dan setelah menggumamkan sesuatu, kayu lapuk itu berubah menjadi sebuah papan yang dapat menutupi kusen jendela dan kusen pintu dengan baik.     

Luca berjalan mondar mandir di depan rumah itu. Kedua tangannya terjalin erat seperti sedang berdoa memohon keselamatan. Sudah terlalu banyak wanita kaumnya yang meninggal karena melahirkan sehingga ia tidak tenang, takut akan terjadi sesuatu pada gadis pujaannya.     

Hati kecilnya juga bersumpah akan merawat Emilia dan bayinya tanpa memikirkan asal usul bayi itu. ia tidak akan menelantarkan gadis tercintanya dan menyayangi bayi kecil yang akan lahir itu layaknya darah dagingnya sendiri. 'Jadi, Emilia, janganlah menyerah! Aku akan menemanimu dan menjadi kekuatanmu! Aku tidak akan meninggalkanmu!'     

Setelah satu jam berlalu, akhirnya mereka bisa mendengar suara tangisan bayi. Yuki juga segera mengabarkan bahwa Emilia baik-baik saja dan bayinya – seorang putra – juga baik-baik saja. Namun, Luca tidak tahu bahwa baik-baik sajanya putra itu hanya akan memberikan mimpi buruk baru dalam hidupnya….     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.