Gara-gara KB
Gara-gara KB
Sambil melihat Ethan yang sudah lelap di ranjang bayinya, sangat sabar Jamal menggendong Nathan, sambil mengusap-usap kepalanya. Dengan gerakan mengayun, laki-laki menggoyangkan tubuh ke kanan dan ke kiri supaya bayi yang usianya belum genap satu tahun itu lebih cepat terlelap dalam tidurnya.
"Mal...!" Panggil Rio dari tempat tidurnya.
"Hem..." sahut Jamal tanpa menoleh. Cowok itu juga harus menekan nada suaranya, supaya si kecil yang kepalanya sedang tidur nyaman di dadanya ini, tidak sampai tersentak, lalu terbangun.
Dada bidang Jamal memang sudah menjadi tempat paling nyaman, versi anak-anaknya,termasukRio untuktidurataubersandar. Bahkan mereka akan malas beranjak dari sana, kalau sudah terlanjur merasakan betapa nyaman nya dada Jamal.
Bagi Rio Jamal adalah simbol ayah sekaligus suami idaman.
"Masih belum pules tidurnya, Nathan?"Remaja yang sedang beranjak dewasa itu tengah duduk menyandar pada kepala ranjang, dengan kedua kaki yang ia selonjorkan bebas.
Jamal merunduk, mengintip wajah Nathan. "Udah, tapi ntar aja nidurinya."
Bukan apa-apa, meski Nathan sepertinya sudah lelap, tapi biasanya bayi itu suka terbangun kalau akan dibaringkan di tempat tidurnya. "Nunggu beneran pules." Ucapnya.
"Emang lu nggak capek?"
"Ditambahin gendong lu, juga gue masih kuat."
Rio mengusung senyum, menatap kagum kepada sosok Jamal yang terlihat begitu sabar kepada anaknya.
Melihat bagaimana Jamal sekarang, membuat remaja itu mengambil sebuah kesimpulan bahwa; sekelam dan sejahat apapun masa lalu seorang pria, ia akan berubah menjadi sosok laki-laki sejati kalau sudah menjadi seorang ayah. Sekeras apapun hatinya, ia akan menjadi luluh kalau mendengar mulut mungil sang bayi memanggil nya ayah.
"Yaudah, gue tidur duluan." Kemudian ia membaringkan tubuhnya, tidur miring memunggungi ayah dari anak-anak yang ia kandung, sambil memeluk gulingnya.
Di posisinya, Jamal masih berdiri mematung. Keningnya berkerut menatap bokong Rio yang seolah seperti menyapa dirinya. Atau mungkin itu hanya perasaan Jamal saja.
Setelah menelan ludahnya susah payah, Jamal kembali mengintip wajah Nathan. Merasa yakin kalau sang anak sudah sangat lelap, cowok itu lalu berinisiatif membaringkan Nathan di ranjang bayi, yang berjejer dengan ranjang bayi milik Ethan.
Lantaran takut anaknya terbangun lagi, Jamal menahan napas, dan sangat hati- hati saat sedang menidurkan si bayi.
"Huuft..." Akhirnya cowok itu bisa menghela napas lega, setelah berhasil membaringkan Nathan di tempat tidurnya tanpa menangis.
Jamal mengulas senyum, melihat wajah mungil sang anak yang terlihat begitu nyenyak dalam tidurnya.
Menggunakan ibu jari, dengan lembut ia mengusap kening sang anak, kemudian-- cup, Jamal mendaratkan ciumannya di kening Nathan, lalu ia diamkan kecupan penuh kasihnya, hingga beberapa saat disana.
Setelah mencium Nathan, remaja itu juga melakukan halserupa kepada Ethan mencium kening, sambil mengusap puncak kepalanya.
Selesai dengan urusan mencium kening, Jamal berjalan dengan gagah ke arah tempat tidurnya dimana ada cowok yang sudah resmi menjadi istrinya, sedang meringkuk disana.
Ngomong-ngomong, berbeda dengan Cakra, Anum yang sudah tidur terpisah dengan kedua orang tuanya sejak bayi, lain halnya dengan Nathan dan Ethan.
Meskipun dua bayi itu memiliki ranjang masing- masing, tapi mereka masih berada di dalam satu kamar dengan kedua orang tuanya.
Sebenarnya itu atas kesepakatan mereka berdua yang ingin supaya kedua anaknya tetap satu kamar dengan mereka. Dengan begitu, Jamal dan Rio merasa benar-benar sudah menjadi orang tua, dan lebih dekat dengan anak-anaknya.
"Nathan sudah tidur," Kata Jamal sambil membaringkan tubuhnya disamping Rio. Tidak ada respon dari cowok yang masih memunggungi nya, kemudian ia beringsut, memangkas jarak lebih rapat lagi, dengan cowok yang sudah mengandung anak-anak nya.
"Yo..." panggilnya kemudian.
"Apa?" Sahut Rio dengan mata yang masih terpejam.
Lantaran mendapat jawaban, Jamal mengulas senyum, lalu mengalungkan tangannya dibagian dada Rio. Ia juga mengangkat kakinya, lalu dijatuhkan tepat di atas pinggang milik cowok yang masih saja memejamkan mata. Jamal mendekap tubuh Rio erat. "Nathan udah tidur," ucapnyakembali.
"Ooh," Sahut Rio.
"Kok oh?" Protes Jamal.
"Yaudah, sekarang giliran lu yang tidur." Suaranya terdengar paru. Atau mungkin karena ia sudah sangat mengantuk. "Besok kan lu kuliah." Hingga pada saat mengatakan itu, kedua matanya juga masih enggan terbuka.
Kening Jamal berkerut. "Malah nyuruh gue tidur? Bukanya lu tadi nungguin gue?"
"Nungguin apa?" Wajah Rio berkerut.
"Eghm..." Jamal mengeratkan pelukkan, merasakan hangat tubuh cowok dalam dekapan nya. "Tadi nyuruh nidurin Nathan kan? berati lu nungguin gue." Ia menekan bagian depan selangkangannya membuat bokong Rio bisa merasakan benda tumpul miliknya, mengganjal sudah menegang keras. "Lu ngajakin kan?" Sambil menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher, milik remaja yang bagian dadanya sedang ia remas-remas.
Kata-kata Jamal memaksa Rio akhirnya membuka mata. Gerakan pinggul Jamal yang sedang menggoyang-goyang bokong, ditambah dengan benda tumpul yang ia rasakan sudah mengeras sempurna, membuat remaja itu mengerti apa yang sedang diinginkan oleh cowok dibelakang nya.
Rio memutar tubuh, berhadapan dengan Jamal masih tanpa jarak. "Ngajakin apa?" Heran Rio sambil melatakan telapak tangannya di wajah Jamal. Tidak hanya itu, Rio juga mengangkat kakinya, lalau ia letakan di atas pinggul suaminya memeluknya erat. "Gue nyuruh lu nidurin Nathan takutnya lu capek, besok kesiangan, ntar lu bolos kuliah."
Jamal mendengkus. Akan tetapi dengan keadaan seperti itu pelukan tanpa jarak, membuat pangkal selangkangan mereka saling bersentuhan. Meski masih terhalang oleh lapisan kain celana tidur, tapi Jamal bisa sangat merasakan kalau benda tumpul milik Rio yang bersentuhan dengan miliknya, sedang bergerak menggeliat.
"Ntar aja tidurnya..." Jamal tersenyum nyengir, lalu cup cowok itu mendaratkan ciumannya tepat di mulut Rio. "Engh..." desah Jamal, menikmati bibir bawah Rio yang sedang ia lumat.
Meski Rio hanya diam tidak membalas ciuman yang sudah mulai bekerja agresif, tapi rasa nikmat tidak bisa ia tolak. Hembusan napas yang memburu, dan hisapan dari mulut Jamal pada bibirnya, menjadi kombinasi sempurna membawanya melayang, menggugah gairah syahwat. Miliknya yang masih berada di dalam celana, otomatis menegang keras, bahkan sempurna.
Dalam keadaan bibir yang tidak ingin ia lepaskan dari mulut Rio, telapak tangan Jamal mulai membuka satu persatu kancing baju piyama berwarna birulangit, yang sedang dikenakan oleh Rio.
"M-mal..." mulut yang masih bertautan, membuat suara nya agak sedikit tertahan. "J-jamal..." panggil Rio kembali, meski masih kesusahan ketika bersuara.
Namun sayang, sepertinya hasrat ingin menuntaskan syahwatnya sudah di ujung tanduk. Panggilan dari Rio tidak dihiraukan oleh Jamal. Bersama deru napas yang memburu, dan debaran dada yang berpacu lebih cepat, Jamal semakin tergesa-gesah membuka satu persatu kancing piyama tersebut.
"Jamal...!"
Hingga sampai pada bagian kancing paling bawah, Jamal terpaksa menghentikan aktivitasnya, lantaran Rio melepaskan ciumannya secara mendadak.
"Kenapa?" Nada suaranya terengah, sorot mata Jamal lurus menatap mata Rio. "Gu-gue belum ke dokter Mirna. Gue belum KB."
Tidak harus menunggu lama, detik itu juga, tubuh Jamal otomatis mendadak lemas tak berdaya. Cowok itu teridam, sambil menelan ludah menahan rasa jengkel di hatinya.
Percayalah, ketika hasrat syahwat sudah berada di ujung tanduk, dengan jiwa yang sudah terbang melayang-melayang, namun harus dihentikan secara mendadak karena suatu alasan, rasanya itu benar-benar sangat menyiksa. Tubuh yang sedang melayang tadi, seakan- akan seperti jatuh terbanting, ke lantai. Jadi jangan salahkan Jamal kalau hal itu membuat wajahnya menjadi cemberut, cenderung dongkol.
Setelah mengatakan itu, Rio tersenyum kecut melihat suaminya memasang muka masam. "Sory, gue belum sempet nemuin dokter Mirna." Aku Rio kemudian.
"Lu kan nggak perlu repot-repot nemui dokter Mirna." Sahut Jamal. "Dia udah jadi dokter pribadi kita sekarang. Lu tinggal telfon, biar dia aja yang datang ke sini." Jamal mendengkus. "Udah dua minggu lebih, dari kemaren masih belum aja."
"Iya tau... tapi gue males. Gue juga malu kalau keseringan KB."
"Katanya lu takut hamil lagi, yah harus KB lah," balas Jamal tidak maukalah.
Sekedar informasi, walaupun Rio mempunyai rahim dan bisa hamil, tapi jangan dilupakan kalau ia adalah seorang pria. Jadi remaja itu tidak mengalami datang bulan seperti yang dialami oleh seorang wanita pada umumnya.
Hal itu juga yang membuat dokter Mirna sedikit merasa kesulitan untuk mendeteksi kapan masa subur dan masa kosong dialami oleh Rio. Karena itu dengan berbagai pertimbangan yang sudah dibicarakan, Jamal dan Rio akhirnya sepakat memilih KB melalui jalur suntik. Jadi artinya Rio harus bertemu dokter dengan Mirna selama tiga bulan sekali untuk melakukan suntik KB.
Rio membuang napas kasar, ia jadi merasa tidak adil dengan apa yang terjadi padanya. "Lagian, kenapa lu nggak aja sih, yang KB." Gerutunya sambil memasang kembali kancing baju piyamanya.
"Yang punya rahimkan elu," pungkasJamal. "Masa gue yang KB."
"Iya, tapi lu bisa pake pengaman."
"Kan udah pernah bilang, gue nggak mau make itu nggak enak. Nanggung." Ucap Jamal mengingatkan. "Lu juga pernah ngomong, katanya lu nggak nyaman, ngerasa aneh kalau gue pake kondom."
"Yah sekali-kali kan nggak apa-apa." Sama seperti Jamal, Rio juga tidak mau mengalah.
Jamal mendengkus. Tidak ingin melanjutkan perdebatan, kemudian cowok itu memutar tubuh, tidur miring memunggungi Rio. "Dah lah, percuma debat sama lu. Gue nggak akan menang." Jamal memeluk erat gulingnya mengabaikan cowok yang sudah syah menjadi istrinya.
Sementara Rio hanya menatapnya bingung.
Mungkin atas dasar perasaan sayang, dan juga cinta yang sudah tumbuh di hatinya, atau mungkin juga karena cowok itu sudah ikhlas menerima jati dirinya sebagai seorang istri, sehingga sikap dan kata-kata Jamal barusan membuat ia jadi merasa bersalah.
Sekedar ingin menenangkan cowok yang sudah ia terima dengan ikhlas sebagai suami, Rio menggeser tubuhnya memangkas jarak hingga merapat di punggung sang suami.
"Sorry deh." Ucap Rio sambil melingkarkan tangannya di dada Jamal-- Rio mendekapnya erat. "Gue usahain secepatnya ketemu sama dokter Mirna." Bujuk Rio berharap Jamal berhenti merajuk.
Bukan apa-apa, Rio cuma ingin tidur nyenyak tanpa beban karena ngambeknya cowok yang sedang ia cium bagian tengkuknya.
"Terserah," ketusJamal. "Yang jelas, gue tegangnya sekarang."
Rio membuang napas gusar, "gitu aja marah."
Entahlah, sejak perasaan cinta itu sudah mulai tumbuh dari Jamal, cuma sikap ngambeknya saja yang paling Rio takuti. Lebih tepatnya membuat ia jadi gelisah.
Rio masih ingat betul bagaimana Jamal mendiamkannya selama beberapa hari, lantaran ia sudah membohonginya prihal masa nifas selama empat puluh hari. Rio tidak igin hal itu terulangkembali.
"Nggak marah gue." Sahut Jamal.
"Trus."
"Kesel, sakit kepala gue jadinya."
Oke mungkin Rio bisa bernapaslega lantaran Jamal ternyata tidak marah seperti apa yang ia duga. Tapi perasaan bersalah karena sudah membuat Jamal kecewa, masih belum hilang dari dalam diri nya.
"-nanggung." Lanjut Jamal. Nada suaranya masih terdengar ketus.
"Yaudah trus lu maunya gimana?" Pasrah Rio.
"Tuntasin lah. Gue keluarin diluar." Tantang Jamal.
"Ogah." Serga Rio. "Gue nggak yakin. Entar lu kelepasan... lu pernah bilang ke gue, katanya kalau enggak dikeluarin di dalem, rasanya enggak enak. Nanggung. Gue kan takut hamil lagi. Anak kita masih kecil-kecil masa iya mau nambah. Lu mah enak, nggak ngerasain gimana hamil itu."
Mendengar jawaban Rio membuat Jamal mendengkus, kesal. Tidak ingin melanjutkan perdebatan tanpa hasil, kemudian Jamal merih selimut di bawah kaki nya, lalu ia gunakan untuk menutup tubuhnya sampai ke bagian leher. "Yaudah kalau lu nggak mau, gue mau tidur."
Sementara Rio hanya bisa menghela napas panjang. Perasaan bersalah semakin ia rasakan di hatinya. Ia terdiam, wajahnya datar menatap wajah Jamal yang sudah terpejam.
"Mal..." panggil Rio setelah ia berpikir beberapa detik.
"Apa?" Sahut Jamal.
"Yaudah, guemau.Tapi benaran ya keluarin diluar." Putus Rio akhirnya.
"Yakin?" Jamal membuka matanya, namun tidak menatap wajah cowok yang masih menatapnya, datar.
Rio menghela. "Iya..."
Akhirnya, sedikit demi sedikit Jamal mulai mengulas senyumnya. Kemudian ia memutar tubuh, menatap wajah Rio yang juga sedang menatap dirinya. "Nah gitu dong. Lu kan istri gue. Nggak baik kalau nolak permintaan suami." Sambil meraih pundak Rio.
Rio memutar bola matanya malas. Jarak wajahnya kini semakin dekat dengan wajah Jamal, lantaran cowok itu menariknya.
Senyum Jamal semakin mengembang. Ia mengarakan mulutnya ke bibir Rio, membuat jarak semakin terpangkas. Hingga akhirnya, cup jarak bibirnya dengan bibir Rio, kini benar-benar sudahmeng hilang.
"Enghm..." desah Jamal ketika mulutnya berhasil menjepit bibir bawah milik Rio, dalam lumatannya.
Kali ini, tidak ada alasan lagi bagi Rio untuk tidak membalas ciuman itu. Selain kalimat yang mewakili kata sepakat sudah terucap, gerakan mulut Jamal yang sedang menghisap bibirnya, sukses membuat gairahnya kembali tergugah. Rasanya, terlalu sayang jika ciuman itu hanya di diamkan begitu saja tanpa adanya perlawanan. Tidak hanya itu, bahkan Rio mulai membuka sendiri kancing piyama yang sedang ia kenakan.
"Eghm... eghm..." sambil menikmati bibir Rio Jamal melakukan apa yang dilakukan oleh pasangannya, membuka kancing piyamanya, satu persatu.
"Eeghm..." debaran dada Rio semakin cepat berpacu, ketika merasakan sebuah lidah menjulur keluar, lalu tanpa permisi menerobos masuk ke dalam mulutnya, berakhir bertautan dengan lidahnya.
Sambil menikmati pergulatan lidah di dalam mulut Rio, telapak tangan Jamal mulai aktif berjalan meraba dari perut sampai kebagian dada yang sudah terbuka. Menggunakan ibu jari dan telunjuk, Jamal menjepit puting dada Rio, lantas memilinnya.
"Eenghm..." desah Rio. Permainan Jamal di bagian putingnya, membuat gairahnya semakin meningkat, dan menambah agresif pada ciumannya.
Took.... took... took...!!!
Took... took... took...!!!
Suara ketukan pintu dari luar kamar, sukses menghentikan gerakan agresif yang mereka lakukan. Keduanya sontak terdiam, saling berpandangan dalam keadaan bibir yang masih saling bertautan. Pada detik berikutnya, kening Jamal berkerut, aura dongkol tergambar jelas di raut wajahnya.
"Siapa... sih...?" Kesal Jamal setelah ia menjauhkan mulutnya dari bibir Rio. "Ganggu aja." Jamal membuang napas kasar.
"Biar gue liat." Meski sebenarnya ia juga kesal dengan pelaku yang sudah mengetuk pintu, namun Rio masih bisa bersikap tenang.
Took... took... took...!"
"Iyaa..." teriak Rio. Kemudian ia turun dari atas ranjang, lalu berjalan ke arah pintu sambil mengaitkan kembali kancing piama nya.
Sesampainya di depan pintu, Rio merapikan piama dan juga rambutnya yang masih-masih terlihat acak- acakkan. Setelah yakin dirinya sudah benar-benar rapi, remaja itu menghela napas sebelum akhirnya ia meraih handle pintu sambil membuka kuncinya.
Dari balik pintu yang sudah setengah terbuka, kening Rio berkerut, melihat salah satu Baby siter sudah berdiri mematung sambil merundukkan kepala. Tapi ternyata tidak hanya ada baby sitersaja, melainkan ada anak gadisnya juga ikut berdiri di sana.
Rio baru menyadari kehadiran Anum, begitu gadis kecil itu nyelonong masuk ke dalam kamar tanpa sepata kata pun.
Rio tersenyum. Pandangannya mengikuti langkah kecil anaknya yang sedang berjalan ke arah tempat tidur, hingga naik di atasnya. Dalam senyumnya, ia menggelengkan kepala melihat gadis kecilnya langsung memeluk sang ayah di tempat tidur.
Melihat bagaimana senyum Jamal ketika sedang mencium pipi Anum, sepertinya perasaan kesal yang baru saja dirasakan olehnya langsung menghilang.
Rio memutar kepalanya, kembali menatap baby siter yang masih merunduk takut. "What's wrong Phueng?" Tanyanya kemudian.
Baby siter yang berasal dari Thailand itu pun lantas mengangkat kepalanya, menatap sang majikan "I'm sorry, miss Anum said that she wants to sleep with you."
"Oh," Lagi, Rio menoleh ke arah ranjang, melihat Anum yang sedang bercanda bersama Jamal sebelum akhirnya ia kembali menatap Phueng-- nama baby sitter tersebut. "It is okay."
"Thank you sir." Phueng mengangguk sopan, sebelum akhirnya ia berlalu dari hadapan Rio.
Setelah menutup dan mengunci pintu kamar, Rio berjalan kembali ke arah tempat tidur, dimana sudah ada suami dan gadis kecilnya sedang berbaring disana.
"Anum kenapa?"Tanya Rio begitu ia sudah berada di samping tempat tidur.
Kemudian ia naik ke atas ranjang, tidur miring di belakang punggung sang suami membuat Jamal berada di tengah-tengah antara dirinya dengan Anum. Satu tangan ia gunakan untuk menyangga kepala supaya bisa melihat Anum yang berada di depan suaminya, sedang tangan satunya menyelip di bawah lengan Jamal memeluk dada bidangnya.
"Anum mau bobok di sini mom," sahut Jamal.
Seperti biasa jika di hadapan anak-anaknya, Jamal dan Rio tidak pernah menyebut nama. Bahkan, panggilan 'elu dan gue' langsung berganti menjadi 'papa dan moma'. Bukan apa-apa, kedua anak kembarnya yang pertama saat ini sedang memasuki usia keemasan. Mereka Cakra dan Anum gampang sekali mengingat apa yang mereka dengar. Jamal dan Rio cuma tidak ingin kejadian waktu itu terulang kembali.
"Kangen sama papa katany," Lanjut Jamal.
"Hemm..." Rio memanyunkan bibir bawahnya. "Bohong, paling pengen dipeluk moma."
Ngomong-ngomong Rio sudah menyerah dan pasrah mengajari Anum supaya memanggilnya papi. Mau bagaimana lagi? Gadis kecil itu sangat susah diajari. Sebutan moma sudah melekat, dan sangat leus di ucapkan oleh Anum. Siapa lagi yang mengajarinya kalau bukan laki-laki yang saat ini sedang dipeluk mesra oleh Rio.
"Moma," celetuk Anum tiba-tiba.
"Hem..." sahut Rio. "Kenapa sayang?"
Sambil menatap wajah pria yang ia panggil moma, telapak tangannya yang mungil, memukul-mukul kasur di belakang tubuhnya. "Moma cini, moma cini." Rengek Anum dengan ciri khas anak balita.
"Emang kenapa kalau moma disini aja?" Tanya Jamal.
Anum menggelengkan kepalanya. "Nggak mau moma cini." Pinta Anum sambil menarik-menarik pergelangan Rio.
Rio menghela napas. Meski berat, tapi karena tidak ingin mendengar anaknya terus merengek, ia terpaksa mengurai pelukannya dari tubuh hangat Jamal, seraya berkata. "Iya-iya, moma pindah situ."
Ia berjalan merangkak, melewati Jamal, lalu berbaring di belakang tubuh mungil anaknya.
Hal itu membuat Anum lantas tersenyum bahagia. Berada di tengah-tengah antara papa danmoma-nya, membuat ia merasakan kenyamanan.
"Oh iya pah... besok mama ngajak kita jalan-jalan." Ucap Rio sambil mengusp-usap rambut lurus milik Anum.
"Papa alan-alan..." celetuk Anum. Gadis itu memang sering mengikuti kata-kata yang baru masuk di indra pendengarannya.
"Iya ke mana?" Sahut Jamal.
"Kata mama si ke taman bermain."
"Oh..."
Kalau Rio mengusap rambut Anum, sementara Jamal menepuk-nepuk paha anaknya. Di dalam hatinya, ia sangat berharap supaya si kecil cepat tertidur pulas. "Trus moma yang ke rumah mama, apa mama yang ke rumah kita?"
"Mama yang ke sini katanya," Jawab Rio. "Afkar juga mau ikut, mumpung libur katanya."
"Moma itut alan-alan. Ituuut..." ucap Anum dengan suara cadelnya.
"Iya besok ikut jalan-jalan, tapi sekarang Anum bobok ya udah malam." Bujuk Rio selembut mungkin. Sama seperti Jamal, ia juga menginginkan anak gadisnya cepat tertidur pulas.
Anum menggelengkan kepalanya. "Gak au bobok..." polos Anum tanpa perduli perasaan kedua orang tuanya.
Secara bersamaan, Jamal dan Rio menghela napas.