Cowok Hamil

Bahagianya Cakra & Anum



Bahagianya Cakra & Anum

"Papa cini... papa cini...!"     

"Moma... cini... moma cini...!"     

Cakra dan Anum berteriak girang. Tangan mungilnya melambai- lambai ke arah Jamal dan Rio yang sedang duduk di tepi kolam berisi ribuan bola beraneka warna. Yang membuat kedua bayi kembar itu makin bahagia, karena akhirnya sang papa bisa ikut serta menemani mereka bermain. Ini adalah kali pertama dua anak itu bisa jalan- jalan bersama kedua orang tuanya. Yah, walaupun Nathan Riomal Putra dan Ethan Putra Riomal tidak ikut, tapi setidaknya anak kembar pengantin itu bisa merasakan kebahagian yang sempurna.     

Ngomong-ngomong, hari ini Jamal terpaksa harus membolos kuliah. Mau bagaimana lagi? kedua anaknya terus saja merengek ingin ikut bersamanya. Dari pada mengajak mereka ke kampus, lebih baik ia saja yang mengalah, ikut ke arena bermain bersama anak- anaknya.     

"Papa cini..."     

"Moma cini..."     

Tidak tahan dengan rengekan kedua anaknya, akhirnya Jamal dan Rio turun ke dalam kolam bola, ikut bermain bersama meraka dan baby siternya masing- masing. Namun kedua baby siter terpaksa harus naik ketepian, lantaran diabaikan oleh Cakra dan Anum, setelah kedua orang tuanya bergabung bersama mereka.     

Riang dan bahagia. Hanya itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan raut wajah Cakra dan Anum. Kedua anak itu tidak berhenti berteriak girang kala sang papa menenggelamkan dirinya, masuk ke dalam ribuan bola, lalu muncul secara tiba-tiba di hadapan mereka. Gelak tawa makin terdengar memecah saat Rio melempari Jamal menggunakan bola-bola tersebut. Pada detik berikutnya, Cakra dan Anum mengikuti apa yang dilakukan oleh Rio, melempari Jamal menggunakan bola. Kedua anak itu selalu loncat girang tiap kali lemparannya berhasil mengenai Jamal, kemudian sang ayah berpura- pura terjatuh.     

Terlihat ibu Marta di tepi kolam, juga tidak berhenti tertawa girang melihat orang- orang yang disayangi terlihat sangat bahagia. Sayang sekali Afkar memutuskan tidak ikut bersama mereka, lantaran anak itu lebih memilih di rumah bermain game, dari pada nanti harus bertengkar dengan Anum.     

Setelah puas bermain mandi bola, kemudian Jamal dan Rio mengajak anak- anaknya bermain prosotan, dan mencoba semua permainan yang ada di tempat itu. Mulai dari naik mobil- mobilan, kuda-kudaan dan banyak lagi permainan lainnya. Lantaran tempat bermain itu sudah dibooking oleh ibu Marta, sehingga mereka bebas melakukan apa pun tanpa merasa terganggu oleh pengunjung lain.     

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Entah sudah berapa jam mereka bermain, tidak ada yang menyadarinya karena terlalu bahagia. Namun, meski begitu Cakra dan Anum tidak merasa lelah sama sekali. Mereka masih bersemangat dan ingin terus mencoba semua permainan yang ada di tempat itu. Hingga akhirnya, mereka harus berhenti bermain saat ibu Marta melambaikan tangan seraya berteriak.     

"Jamal... Rio...!"     

Kedua remaja beranjak dewasa itu berjalan mendekati ibu Marta yang sejak tadi hanya duduk saja di tempat duduk yang sudah tersedia, bersama dua orang baby siter Cakra dan Anum.     

Terlihat Jamal sedang kerepotan menggendong kedua anaknya di sayap kiri dan kanannya. Sementara Rio berjalan santai mengekor di belakangnya, sambil menggoda anak-anaknya dalam gendongan sang ayah.     

Bukannya Rio tega atau tidak kasihan kepada suaminya, tapi Jamal sendirilah yang memaksa menggendong kedua anaknya itu, sendirian.     

"Ada apa mah?" Tanya Jamal setelah ia menurunkan kedua anaknya.     

Rio sudah berdiri di samping ibu Marta sambil mengusap puncak kepala Cakra, yang sedang memeluk kakinya.     

"Afkar dari tadi nelfonin mama, katanya dia bosan di rumah. Dia pengen pulang katanya."     

Jamal berdecak sebal. "Tadi kenapa nggak mau diajak? ganggu aja itu anak."     

"Namanya juga anak-anak," Bela ibu Marta.     

"Jangan terlalu dimanja mah," sela Rio sambil membersihkan keringat di kening Cakra.     

"Mama nggak manjain dia, kok." Sahut ibu Marta. "Terus gimana? Kalian mau ikut pulang apa masih mau lanjut main di sini?"     

"Yauda deh mah kita ikut pulang aja," putus Rio yang membuat Jamal berdecak, lalau menghela napas. "Kasihan juga anak-anak udah kecapean."     

"Gak mau pulang... gak mau pulang..." rengek Anum yang membuat Rio mengerutkan wajah.     

"Papi gak mau pulang... gak mau pulang..." imbuh Cakra.     

"Yaudah dari pada anak- anak kalian pada rewel, biar mama pulang sendiri aja naik taxi," Putus ibu Marta. Wanita sosialita itu membuka tas Prada miliknya, mengambil kunci mobil dari dalam tas tersebut. "Ini kunci mobilnya, kalian pulang bawa mobil mama," ucapnya sambil memberikan kunci itu kepada sang anak.     

"Oke..." ucap Jamal setelah kunci mobil milik ibunya, sudah berada dalam genggaman nya. Senyumnya mengembang, menatap anak kembarnya satu persatu. "Kita main lagi, nggak jadi pulang."     

"Hole... hole... hole..."     

"Hole... hole... hole..."     

Cakra dan Anum berteriak girang.     

Ibu Marta mengulas senyum, sambil menatap kedua cucunya. "Mama pulang dulu ya. Hati-hati, jaga anak-anak kalian," pesan ibu Marta yang ditanggapi dengan senyum simpul dan anggukan kepala oleh menantunya.     

"Sayang oma pulang dulu ya... kalian nggak boleh nakal." Ibu Marta mencium pipi Cakra dan Anum satu persatu.     

"Hati-hati ya oma..." pesan Rio.     

"Ati-ati oma..." Cakra dan Anum mengikutinya.     

Ibu Marta tersenyum simpul sebelum akhirnya wanita yang berpenampilan elegan itu, berlalu meninggalkan mereka.     

Setelah menatap punggung ibu Marta yang sudah menjauh, Jamal melebarkan senyum, menatap kedua anaknya satu persatu. "Yuk kita mainan lagi...!" Teriak Jamal girang.     

"Hole... hole... hole...!"     

"Hole... hole... hole...!"     

Cakra dan Anum tidak kalah bahagianya. Kedua anak itu memeluk kaki sang ayah, sambil loncat-loncat, khas anak balita.     

"Pa... kita makan dulu aja giman?" Usul Rio tiba-tiba. "Udah lewat jam makan siang. Kasihan anak-anak. Suster juga belum pada makan siang."     

"Yaudah kita makan," Jawab Jamal setelah berpikir selama beberapa detik. Remaja itu lantas menatap Cakra dan Anum secara bergantian. "Mam dulu ya, nanti abis mam kita main lagi. Isi bensin, biar mainnya semangat."     

"He,eh..."     

Dua anak kembar itu mengangguk kompak.     

"Papa lapel.." adu Cakra dengan suara cadelnya.     

"Makanya kita makan dulu. Oke?"     

Rio tersenyum simpul menyaksikan interaksi antara suami dan anak-anak nya. Kemudian remaja itu menatap baby siter yang sejak tadi hanya mematung di dekatnya. "Sus makanan Cakra sama Anum tolong bawa ya..." menggunakan wajahnya Rio menunjuk tupperware berisi makanan anak- anaknya yang sudah disiapkan dari rumah.     

"Baik tuan..."     

Dua baby siter itu mengangguk patuh.     

"Yuk kita cari restoran." Jamal mengarahkan kedua telunjuk ke arah Cakra dan Anum, isyarat supaya anak-anak menganggendeng dirinya.     

Peka dengan maksud ayahnya, Cakra dan Anum langsung meraih telunjuk Jamal dalam genggaman telapak tangan mungil mereka.     

"Pah..." panggil Rio, membuat Jamal lantas menoleh ke arahnya.     

"Kenapa mom?"     

"Papi ke mau toilet bentar. Kalian duluan aja ke restoran. Nanti papi nyusul."     

Jamal terdiam, laki-laki itu berpikir sambil mengangguk-anggukan kepalanya. "Kita nunggu aja. Ke restoran bareng-bareng." Putus nya kemudian.     

"Yaudah bentar bentar ya." Rio tersenyum simpul, lalu berlalu ke arah toilet yang letaknya tidak jauh dari area bermain.     

Sementara Jamal, ia mengajak anak-anaknya Cakra dan Anum duduk kembali di kursi yang sudah tersedia.     

"Sus, kalian pesenin meja buat kita ya. Nanti kita nyusul ke sana." Perintah Jamal kepada dua orang baby siter yang memakai seragam serupa. Remaja itu memberikan kartu kredit berwarna hitam ke salah satu baby siter tersebut. "Pakai kartu ini, suruh restorannya tutup pas kita makan di sana."     

"Baik tuan."     

Setelah mengangguk patuh, dua orang baby siter itu keluar dari arena bermain-- pergi menuju restoran yang masih berada di dalam mall tersebut.     

Di tempat berbeda, namun masih di dalam mall yang sama tempat di mana Jamal dan Rio bermain bersama anak- anaknya, ada Irawan baru saja menutup loker setelah ia mengganti bajunya, dengan pakaian kerja.     

"Lu kenapa ikut- ikutan bolos kuliah?" tanya Irawan pada sosok remaja yang sedang berdiri menyandar pada tembok, sambil melipat kedua tangannya di dada.     

"Nggak apa-apa, sekali- kali. Gue pengen nungguin lu kerja." Heru tersenyum simpul. Remaja berkacamata itu menjatuhkan kedua tangan yang ia lipat. "Yuk, lu udah masuk shift." Ucapnya sambil melihat arloji yang melingkari pergelangannya.     

Irawan mendengkus. Remaja beranjak dewasa itu berjalan menuju arena bermain, dimana ia akan bekerja di sana. Sementara cowok yang sudah ia akui sebagai pacar berjalan mengekor di belakangnya.     

Yah, Heru dan Irawan memang sudah meresmikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih sejak duduk dibangku SMA kelas sebelas. Tepatnya tiga bulan setelah keduanya sering tidur bersama, kemudian khilaf, melakukan hubungan intim layaknya suami istri.     

Merasa saling cocok dan nyaman, akhirnya keduanya sepakat mengikat hubungan yang mulanya hanya sebagai sahabat, berubah menjadi cinta. Mau bagaimana lagi? Tidak bisa dipungkiri, ternyata dari Heru, Irawan juga bisa mendapatkan banyak rasa. Mulai dari rasa bahagia, nyaman, dan bahkan rasa nikmat.     

"Gue penasaran... pengen tahu, kayak apa sih cucunya miliarder itu." Kata Heru setelah ia berhasil mengimbangi langkah kaki Irawan berjalan di sampingnya.     

Irawan hanya menghela napas.     

Langkah kaki Irawan dan Heru membawanya sampai pada pintu masuk arena bermain, di mall tersebut. Saat baru saja memasuki area bermain, Irawan menghentikan langkah. Remaja itu berdiri mematung, keningnya berkerut kala pandangannya menangkap sosok laki-laki yang masih sangat familiar di ingatanya, tengah duduk pada sebuah kursi bersama dua anak kecil dalam pangkuannya.     

Tentu saja ia merasa heran, bagaimana mungkin mantan ketua gangnya sewaktu masih SMP dulu, bisa berada di sana. Lalu siapa dua anak kecil yang sedang bersamanya?     

"Kenapa yank?" Tegur Heru. Ia menatap heran kepada cowok di sebelahnya. Sepertinya Heru belum menyadari keberadaan siapa sosok yang sedang diperhatikan oleh kekasihnya.     

"Itu kan, Jems." Sorot matanya tidak berpaling menatap Jamal yang sedang bercanda dengan dua anak kecil itu.     

Secara refleks Heru memutar kepala mengikuti arah pandang cowoknya. Tidak jauh berbeda dengan Irawan, Heru juga terkejut melihat remaja yang paling ditakuti di sekolahnya dulu, berada di sana.     

"Iya itu Jamal, eh Jems..."     

Kening Heru berkerut kala pandangan nya melihat dua anak kecil berada di dekat sosok Jamal. Melihat bagaimana sikap Jamal yang terlihat begitu hangat kepada dua anak kecil itu, membuat Heru menjadi merasa heran.     

"Trus anak-anak itu, siapa?" Sedetik kemudian ia tersenyum simpul melihat tingkah lucu Jamal yang sedang menggoda anak-anak itu.     

Ternyata, Jamal bisa manis juga ya? Heru membatin.     

"Kayaknya itu cucu- cucunya miliarder yang udah boking tempat ini deh." Tentu saja Irawan sangat yakin, pasalnya, tidak ada pengunjung lain di tempat itu selain mereka.     

"Kok bisa ada Jems si? Emang ada hubungan apa dia sama anak-anak itu?" kepo Heru.     

"Tau, keponakan atau sodaranya kali..." tebak Irawan. "Lu tau kan, orang tua Jems juga konglomerat."     

"Iya si." Heru mengangguk-anggukan kepala sambil menatap bingung kepada sosok Jamal dan dua anak kecil yang terlihat begitu akrab.     

"Yuk akh, samperin." Putus Irawan kemudia.     

Cowok itu melanjutkan perjalanannya mendekati mantan ketua ganknya sewaktu SMP.     

Meski dengan perasaan ragu dan masih sedikit takut, akhirnya Heru berjalan mengekor dibelakang Irawan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.