Rencana jalan-jalan
Rencana jalan-jalan
"Oma.... oma... oma...!"
Cakra dan Anum berteriak sambil loncat-loncat girang khas anak kecil, begitu melihat ibu Marta wanita yang mereka panggil oma, turun dari pintu kemudi-- sedan Jaguar nya.
Senyum wanita elegan itu mengambang, satu tangannya melambai, menyapa dua cucunya,sementara tangan satunya menjinjing tas Prada miliknya.
Ibu Marta menoleh ke kepada anak laki-laki yang juga baru saja turun dari mombil jaguar nya, "mainannya Cakra sama Anum udah dibawa semua sayang?"
Afkar mengangkat paper bag yang ia bawa, "udah Mah..." jawab anak laki-laki itu, yang kini tengah duduk di bangku kelas lima sekolah dasar.
"Yaudah yuk..." ibu Marta mengalungkan pergelangan nya di pundak Afkar, lalu berjalan ke arah dua cucunya yang tidak berhenti meneriakan namanya ada Rio dan beberapa baby siter sedang mengasuh Nathan dan Ethan, di teras depan rumah.
"Cucu oma..." ibu Marta menambah kecepatan langkah meninggalkan Afkar di belakang. Wanita itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan anak kembar pengantin itu, lalu memeluknya secara bersamaan.
"Oma kangen..." ucap ibu Marta sambil mencium satu persatu pipi kedua cucunya. "Cakra sama Anum kangen oma nggak?"
"He, eh."Cakra dan Anum menganggukan kepalanya secara bersamaan.
Senyum keibuan terbit dari bibir merah ibu Marta. "Yaudah tuh samperin om Afkar, bawa mainan."
"Hole... hole..." kedua anak kembar itu berteriak girang, lantas berlari kecil, meninggalkan ibu Marta yang sudah berdiri di hadapan Rio.
"Kamu sehat Ri?" Tanya ibu Marta, sambil memberikan cupika-cupiki pada menantunya.
"Sehat ma," sahut Rio.
"Bagus, jangan terlalu capek ya..." pesan ibu Marta yang ditanggapi senyum simpul olehRio.
"Iya mah..."
Senyum ibu Marta kembali mengembang setelah ia mengalihkan perhatiannya pada Nathan dan Ethan yang sedang tiduran di stroller baby nya masing-masing. "Eh... cucu- cucu oma..." wanita itu kembali berjongkok, menyapa dua cucu kembarnya.
Semantara itu terlihat Anum dan Cakra sudah berbaris, di hadapan Afkar, sambil mengarahkan tangan mungil mereka ke arah paper bag, sambil merengek, "mainan- mainan..."
Seperti biasa Afkar lebih dulu mengerjai dua keponakan nya, sebelum ia memberikan mainan itu. Ia berjongkok di hadapan Cakra dan Anum, sambil menyembunyikan paper bag di baliktubuhnya.
"Cium dulu..." pinta Afkar.
Demi sebuah mainan, Cakra dan Anum memberikan ciuman pada bagian wajah yang ditunjuk oleh Afkar, yaitu pipi kanan, pipi kiri, dan keningnya.
"Pinter." anak laki-laki itu mengcuak puncak kepala Cakra dan Anum, lalu mengambil paper bag dari balik tubuhnya. Dari dalam paper bag, ia mengeluarkan satu mainan robot super hero milik Cakra, seraya berkata, "Bilang apa?"
"Ma'ci tata..."
Meski kalimat yang diucapkan oleh Cakra tidak jelas, tapi ia tahu kalau keponakan nya itu baru saja mengatakan; 'terima kasihkakak'.
Ngomong-ngomong, jangan heran kalau Cakra menyebutnya kakak, bukan om seperti yang seharusnya. Anak itu tidak pernah mau dipanggil om lantaran ia merasa masih anak-anak. Panggilan om terlalu tua untuk anak seusia Afkar.
Setelah Cakra berlari ke arah ibu Marta sambil membawa mainan, perhatian Afkar beralih pada gadis kecil yang sedang tersenyum nyengir padanya. Kepada Anum, anak laki-laki itu memasang wajah sini. Hanya akting saja sih, ia cuma sedang mengerjai keponakan yang menurut nya paling susah diatur.
"Ngapin lu?" Ketus Afkar.
"Ainan Anum... om." Rengek gadis kecil itu.
Berbeda dengan Cakra, Anum memang tidak pernah mau memanggil Afkar dengan sebutan kakak. Tentu saja itu atas didikan Jamal dan juga Rio. Itu sebabnya Afkar selalu memasang wajah jutek, di hadapan Anum. Walapun begitu, ia sangat menyayangi keponakannya.
Afkar mendengkus, "nggak ada. Lu nggak dapet mainan kalau nggak mau panggil gue kakak."
"Ainan-ainan..." rengek Anum.
"Nggak ada..." tegasAfkar. "Kak mainan..."Bujuknya mengajari Anum.
Bibir mungil Anum cemberut, sambil melihat mainannya yang masih berada di dalam paper bag.
"Ayo bilang, kakak mainan," Perintah Afkar kembali.
"Tata ainan..." ucap Anum dengan wajah polosnya.
"Nah gitu dong." Afkar tersenyum puas. Anak laki-laki itu mengambil mainan dari dalam paper bag, lalu ia berikan kepada Anum, seraya berkata. "Bilang apa?"
"Ma'aci tata..."
"Bagus..."
Setelah berhasil mengambil mainan miliknya, gadis kecil itu berlari mendekati Rio, seraya berteriak. "Om... om... om... om..."
Mulut Afkar memicing. "Dasar kunyuk," sambil berjalan mendekati keluarganya.
"Oh iya Ri, nanti kita nggak jadi ke taman," Ucap ibu Marta yang kini sudah menggendong Ethan.
"Kenapa mah?" TanyaRio. Ia sedang dudukdi lantai teras, menjaga Cakra dan Anum yang sedang bermain dengan mainan barumereka.
"Kita ke arena bermain yang ada di MEGA mall aja. Mama udah telfon manajer nya, supaya menutup khusus arena bermain. Jadi Cakra sama Anum bisa puas bermainnya."
Dengan Black Card yang di miliki, wanita itu bisa melakukan apapun. Tidak hanya arena kusus bermainnya saja yang bisa ia tutup-- mall nya pun, jika ingin berbelanja tanpa ada yang mengganggu, ia juga bisa menutup mall tersebut. Hanya orang-orang tertentu khusunya miliarder, yang bisa memiliki kartu unlimited tersebut.
"Oh yaudah..." ucap Rio.
"Trus Jamal mana?" Tanya ibu Marta.
"Jamal lagi siap-siap. Mau mau berangkat kuliah..."
"Oma... amal uliah... amal uliah."
"Amal uliah oma..."
Ibu Marta menggigit bibir bawah, sedangkan Rio mengerutkan kening, ketika mendengar Cakra dan Anum menyebut nama Jamal. Itu adalah salah satu alasan mengapa mereka Jamal dan Rio tidak pernah menyebut nama jika di hadapan anak-anaknya. Hasilnya, nama Jamal selalu buat nyanyian jika didengar oleh Cakra dan Anum.
"Sayang, nggak boleh gitu. Panggil papa..." ucap ibu Marta menasihati kedua cucunya.
"Cakra, Anumn ggak boleh. Ayo panggil Papa..." imbuh Rio.
"Ini amal... ni... ini amal..."
"Ini amal.. ini amal... ini amal..."
Dua anak kembar pengantin itu malah semakin bersemangat, begitu melihat sosok yang ia sebut Jamal, baru saja muncul dari dalamrumah.
Menggunakan telunjuk mungilnya, dua anak kembar itu menujuk sosok pria tesebut, sambil berteriak girang tanpa dosa.
"Ini amal... ini amal... ini amal...!"
"Ini amal... ini amal... iniamal...!"
Hal itu tentu saja membuat Jamal langsung memasang muka masam, melirik ke arah Rio yang sedang mengerutkan kening, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Moma nggak ngajarin kok pah..." ucap Rio seolah bisa menembus pikiran Jamal.
"Iya nggak ada yang ngajarin kok," imbuh ibu Marta. "Anak-anak kamu emang pinter-pinter."
"Terserah..." ketus Jamal. "Yaudah papa berangkat kuliah... ati-ati kalau mau jalan jalan."
Brak!
Brak!
Cakra dan Anum melempar mainan mereka kemana saja, begitu menyadari, kalau sang ayah akan pergi berangkat kuliah. Keduanya berlari cepat mendekati Jamal yang sudah rapi memakai jeans robek, dan kemeja tangan panjang yang ia gulung.
"Itut papa... itut papa ituuut..." teriak Anum. Gadis itu kini sudah menggelayut di paha Jamal. "Papa ituuut... papa ituut..."
"Papa ituut... papa ituut...." kalai ini Cakra yang berteriak, sambil loncat-loncat, berharap sang ayah menggendong dirinya.
"Duuh..." Jamal meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sayang papa mau kuliah... kan kalian mau jalan-jalan." Bujuk Jamal.
"Ituut... papa..."
"Papa itut..."
Cakra dan Anum terus merengek.
Menarik napa dalam-dalam, sebelum akhirnya Rio hembuskan secara perlahan. Ia beranjak dari duduknya, lalau berjalan mendekati kedua anak dan suaminya.
"Sayang, papa mau kuliah... kita jalan-jalan aja sama oma."
Afkar memutar bola matanya malas. Walapun sejak tadi anak itu sudah bermain game, tapi ia peka dengan apa yang tengah terjadi di sekitarnya. "Rame amat sih, kayak posyandu deket sekolah gue. Coba nambah lagi, biar kayak panti asuhan."
~☆~
#Layar hape Heru.
@mybebIrawan
Yang... gue nitip absen ya..
Kenapa? Lu nggak kuliah.
Enggak, tiba-tiba gue di suruh masuk kerja. Ada miliarder boking tempat kerja gue. Kata manajer gue, mau ngasuh cucu.
Oh ya udah.. entar pulang kuliah gue
jemput lu di MEGA mall.