1| Leo\'s Girlfriend?
1| Leo\'s Girlfriend?
"Kira-kira, bagaimana pendapat Tuan?"
Dengan deheman kecil, ia menganggukkan kepalanya. Merasa puas dengan kerja sama yang mereka semua lakukan untuk tetap menjaga perusahaan supaya selalu stabil. Bahkan, mereka semua aktif bertanya dan juga menyatakan pendapat jika ada hal yang tidak sesuai ataupun terdengar sedikit janggal.
Tuxedo hitam dengan dasi berwarna merah menambah kesan sempurna dari seseorang yang dipanggil dengan sebutan 'Tuan' itu. Rahang yang tegas, dengan sedikit brewok tipis membuat penampilannya tidak terlihat seperti laki-laki yang sudah menginjak usia tiga puluhan.
Katanya, usia segitu dengan wajah tampan adalah incaran para wanita-wanita di luar sana.
Dan ya, sepertinya hal itu benar karena sedaritadi sang sekretaris menatap ke arahnya dengan sorot mata yang sangat memuja.
"Sepertinya saya sudah cukup puas dengan presentasi mu hari ini, dan untuk meningkatnya kualitas perusahaan tentu saja saya sangat berterima kasih kepada kalian."
Tepuk tangan terdengar meriah sambil mengatakan 'selamat' untuk satu sama lain, mereka juga berjabat tangan atas keberhasilan kinerja mereka yang ternyata sangat memuaskan sang bos. Menebarkan senyuman satu lama lain, lalu menganggukkan kepalanya seolah-olah mengatakan terimakasih kembali.
"Tepuk tangan kembali untuk Tuan Leo, karena tanpa motivasi dari dirinya kita tidak akan bisa semaju ini."
Sang sekretaris berjalan mendekati Leo, lalu dengan tanpa rasa malunya bergelayut manja di bahu laki-laki tersebut.
Bukan hal yang baru lagi jika bos dekat dengan sekretaris. Seperti layaknya Leonardo Luis dan Azrella Farisha Wallie. Mereka terbilang memiliki hubungan yang terekspos di setiap sudut penjuru, bahkan Leo pun tidak merasa malu jika di dekati seperti ini di hadapan para karyawannya.
Suara tepuk tangan semakin meriah, lalu atas aba-aba Leo yang mengangkat tangannya ke udara untuk menginterupsi suasana pun membuat mereka kembali bergeming. "Baiklah, kita sudahi rapat hari ini. Sepertinya hari sebentar lagi jam makan siang, dan lebih baik kalian istirahat saja dari sekarang." ucapnya yang melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
Ia menyingkirkan tangan Azrell dari bahunya, membuat wanita tersebut langsung berdiri tegak dengan high heels yang menahan bobot tubuhnya dari telapak kaki di bawah sana. Menutup dokumen, lalu beranjak dari duduknya dan sedikit menepuk-nepuk tuxedo miliknya.
"Saya permisi,"
Leo mulai melangkahkan kakinya, ia pergi meninggalkan ruang meeting dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Tidak ada yang namanya CEO dingin atau apalah itu sebutannya. Karena ia adalah laki-laki yang santai dan tidak pernah menganggap orang lain sebagai musuh dengan meluncurkan tatapan yang tajam. Ah iya, dia bukan putranya yang dingin dan tidak tersentuh.
Meninggalkan Azrell yang tampaknya berdecak kesal karena lagi-lagi tidak dipedulikan keberadaannya. Mungkin memang benar Leo itu ramah dan jauh dari kata 'tidak tersentuh' namun bukan berarti hatinya sudah terbuka lebar untuk wanita pengganti dari sang mantan istri.
Menemukan pengganti itu sulit, apalagi yang menurutnya tidak satu frekuensi.
"Sayang, tunggu aku!"
Beruntung lorong di lantai ini tidak banyak orang kecuali para karyawan yang ikut meeting. Jadi, tidak banyak yang melihat aksi Azrell saat ini.
Menghentikan langkahnya, lalu Leo berbalik badan untuk menatap wanita yang tengah berjalan ke arahnya dengan bibir mengerucut.
Namanya Azrella Farisha Wallie, dia bukan pemeran utama yang berada di hatinya, namun semua orang tahu kalau dirinya hanya dekat dengan wanita ini. Padahal, Leo mempertahankan Azrell karena belum menemukan wanita yang tepat. Ya memang terdengar brengsek sih. Namun selagi dirinya bisa memenuhi segala keperluan Azrell dari skincare sampai belanja mingguan yang membeli banyak barang branded, tentu saja nanti hal itu sudah sepadan dengan apa yang nantinya ia akan lakukan untuk wanita itu.
"Astaga maaf, tadi aku buru-buru." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman yang sangat tampan. Mengarahkan tangannya begitu Azrell mendekat, lalu menaruhnya tepat di pinggang wanita itu. Ia memperlakukan setiap wanita dengan manis, jadi jangan salahkan dirinya kalau ada banyak sekali yang mengejar-ngejar dirinya hanya karena terpesona dan meleleh akibat perilaku dan juga tatapannya yang begitu dalam.
Azrell menganggukkan kepalanya, lalu mencium pipi Leo tanpa aba-aba sedikitpun. "Aku cinta kamu," ucapnya sambil menampilkan sebuah senyuman yang nakal.
Memang, wanita satu ini suka sekali merayu dirinya dengan berbagai penggambaran ekspresi yang sangat menggoda. Oh tapi tidak, ia tidak sebodoh itu untuk memberikan 'kenikmatan' untuk wanita yang bukan takdirnya.
"Jangan menggoda ku, sayang. Itu tidak akan pernah berhasil, sampai kapanpun."
"Kenapa seperti itu? Kita sudah berpacaran hampir tiga bulan, tapi kamu belum memberikan apapun untuk diriku."
Leo menaikkan sebelah alisnya, menatap Azrell dengan sorot mata kebingungan. "Barang-barang branded yang ku belikan setiap minggunya saja belum cukup, iya?" tanyanya dengan nada yang lembut. Bahkan dalam umpatan kesal di dalam hati pun ia masih menjadi laki-laki dengan kepribadian yang tak mudah menumpahkan amarah.
"Tentu saja belum," balas Azrell sambil menampilkan sebuah senyuman.
"Coba kamu pikir aku sudah menghabiskan berapa uang saat bersama mu? Belum lagi jika kamu merengek untuk berlibur ke luar negeri setiap akhir pekan, apa itu juga tidak cukup?"
"Cukup sih, tapi kan..."
Leo menggelengkan kepalanya, merasa tidak habis pikir dengan wanita yang berada di dekapannya saat ini.
Ting
Mereka masuk ke dalam lift untuk kembali ke lantai atas, tepat dimana ruangan sang CEO berada. Kenapa Azrell juga ikut? Ya karena ruang kerja mereka satu lorong, namun tidak di buat satu ruangan. Bisa-bisa nanti wanita itu mengambil kesempatan dalam kesempitan, bukan sebaliknya.
"Kalau begitu, sepulang kerja nanti temani aku ke pusat perbelanjaan, bagaimana?"
Azrell mendongakkan kepalanya, bertemu dengan rahang tegas yang dimiliki Leo. Bahkan, laki-laki itu masih saja terlihat sangat gagah dan berwibawa. Menurutnya, usia tiga puluhan itu adalah usia yang sangat matang, bahkan menjadi idaman.
"Belanja apa lagi? Memang yang kemarin masih kurang, atau gimana?"
"Iya, aku bosan dengan model tas-tas ku yang sebelumnya. Jadi, boleh kan beli lagi?"
"Tentu saja, selagi aku sanggup memenuhi semua keinginan mu, akan ku belikan. Cukup katakan saja, Azrell."
"Jangan panggil aku dengan nama, romantis lah dengan ku, Leo."
"Iya, sayang."
Sebenarnya, Leo paham sekali dengan Azrell yang hanya menjadikan dirinya sebagai bank berjalan. Ia pun dari awal sudah mengetahui jika wanita itu menginginkan sesuatu dan berakhir mendekati dirinya. Maka dari itu, ia langsung menyimpulkan jika Azrell bukan takdir yang dikirimkan Tuhan.
Kenapa dirinya masih bertahan? Ya karena seorang Leo itu tidak bisa hidup sendiri. Ya ibaratnya hanya untuk teman di kala belum menemukan seseorang yang cocok dengannya.
Jangan kasih tahu Vrans, ia tidak pernah menceritakan sudah berapa banyak wanita yang dekat dengan dirinya. Tapi Azrell yang paling lama menjalin hubungan bersamanya, ya mungkin karena sudah ketahuan dengan banyak orang. Tunggu Azrell yang berpikiran busuk saja terungkap di depan banyak orang, dirinya cukup diam saja.
"Tapi nanti sepertinya aku lembur,"
Ting
Pintu lift terbuka, lalu mereka berdua mulai memasuki lorong lantai daerah kekuasaan yang tertinggi di Luis Company.
"Kalau begitu, apa aku boleh memakai ATM mu saja?" tanya Azrell sambil mengerjapkan kedua bola matanya dengan sangat lucu.
Mereka terlihat seperti layaknya suami istri, apalagi Azrell yang gemar sekali meminta ini itu kepada Leo. Dan ya, tentu saja laki-laki itu menuruti apa saja kemauan wanitanya.
"Tentu saja, tapi jangan gunakan lebih dari sepuluh juta, ya?"
"Kenapa memangnya? Kurang dong!"
"Kamu baru belanja kemarin, dan ku yakin akhir pekan ini juga kamu meminta barang-barang lagi."
Leo menatap Azrell, menurunkan pandangannya. Memang sih wanita ini sangat cantik bahkan sempurna kayaknya demi Yunani. Namun tetap saja kalau cantik tapi matre, apa gunanya?
Tapi tidak masalah sih, Leo sendiri pun bingung ingin memakai tumpukan uang di ATM-nya itu untuk apa. Ya kebetulan saja ada Azrell.
Mereka berhenti tepat di depan pintu ruangan sang sekretaris, melepaskan tangan yang melingkar di pinggang ramping tersebut.
Cup
Leo mengecup kening Azrell dengan lembut, lalu merogoh saku celananya yang terdapat dompet di sana. Mengambil sebuah kartu ATM yang memang di khususkan untuk menaruh uang supaya bisa memenuhi kebutuhan wanita tanpa menyentuh kartu ATM pribadi miliknya.
"Ini, ingat peraturan?"
"Iya, sayang. Jangan habiskan lebih dari dua puluh juta, iya kan?"
"Cona kamu katakan sekali lagi,"
"Iya iya, tidak akan habis lebih dari sepuluh juta."
Leo tersenyum puas, lalu mengelus puncak kepala Azrell. "Lain kali, beli yang bermanfaat daripada barang-barang branded tidak jelas itu."
"Aku sudah ada hal yang sangat bermanfaat, dan sepertinya tidak memerlukan barang-barang lainnya."
"Dan apa itu?"
"Satu-satunya yang bermanfaat di hidup aku itu adalah kamu, Leo."
Memang benar, tanpa CEO terkaya ini mungkin saja Azrell tidak bisa berfoya-foya layaknya wanita di luaran sana. Dan juga, mungkin saja bisa sih berfoya-foya, tapi menggunakan uang gajian tiap bulannya. Tentu saja ia tidak rela.
Leo hanya mengulas sebuah senyuman, lalu tidak memperpanjang apapun yang dikatakan oleh Azrell. Padahal, masih banyak wanita tulus di luaran sana untuk dirinya, tapi ia belum memiliki keinginan mengganti pasangan.
"Kalau lebih, dua minggu gak ada uang belanja." ucapnya sambil mengelus lembut pipi Azrell. Lalu, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan wanita itu lagi, ia langsung saja melangkahkan kakinya untuk berjalan mendekati pintu ruang kerja kebanggaannya.
Ceklek
Ia memasuki ruangan yang selalu bisa membuat dirinya nyaman. Menutup kembali pintunya, dan segera berjalan untuk berakhir mendaratkan bokongnya di atas kursi putar besar miliknya.
Saatnya bekerja, dan larut dalam tumpukan dokumen yang sangat manja untuk di kerjakan dengan bantuan dirinya.
Lagi dan lagi, lembur. Memang sepertinya keluarga Luis itu memiliki hobi yang sama, si penggila kerja.
...
Next chapter