My Coldest CEO

38| Leo\'s Jealousy



38| Leo\'s Jealousy

"Ekhem, asyik banget ya ngobrolnya."     

Leo menatap wanita yang sangat ia kenal sedang bercengkrama dengan seorang laki-laki yang sudah dapat di tebak pasti baru berkenalan beberapa menit yang lalu. Dengan tatapan datar yang mengarah ke si laki-laki, ia sama sekali tidak menyalahkan Felia.     

"L-leo?"     

Panggilan kecil dengan raut wajah yang terkejut itu mulai menyadarkan dirinya untuk menoleh ke arah Felia, ia menampilkan sebuah senyuman yang sangat terbaik lalu melangkahkan kakinya mendekat ke wanita itu. "Kemana saja? saya mencari diri mu. Kamu tau kan London itu luas? bagaimana nanti kalau kamu hilang?" tanyanya dengan nada tenang, tapi semua orang yang mendengarnya juga tahu kalau dirinya sangat cemas dengan wanita satu ini.     

Sedangkan Rio? ia diam saja, tidak berniat untuk ikut campur dalam hubungan orang lain.     

Toh pada dasarnya, yang humoris akan kalah dengan yang romantis dan memiliki segala akses kekayaan, iya kan? oh, atau Rio salah?     

Felia meneguk salivanya, terasa tenggorokan yang mulai tercekat karena saat ini tatapan Leo begitu intens menghujam tepat sampai mengunci kedua manik matanya. "Euhm, aku... tidak kemana-mana. Makanya aku masuk ke dalam taman, sekalian melihat-lihat suasana damai." ucapnya.     

Kalau boleh mengatakan yang sejujurnya, Felia tidak punya uang lebih... tolong. Makanya memutuskan untuk berbelok ke arah taman yang sudah cukup banyak orang-orang berlalu lalang. Entah untuk lari sore seperti Rio, atau ada juga sang majikan yang mengajak hewan peliharaannya berjalan-jalan sore.     

Leo memicingkan matanya, melihat kilatan kebohongan di dalam mata yang selalu memabukkan itu. Belum lagi, ia juga tahu kalau Felia buta jalan. Yang artiannya wanita tersebut tidak mungkin akan kembali ke mansion kalau bukan dengan dirinya atau kendaraan umum lainnya yang semakin sore penuh sesak. "Jangan berbohong, saya sudah bilang kalau perlu ATM saya selalu ada di meja."     

"Tidak perlu, lagipula aku ada uang."     

Satu kali berbohong, pasti akan menghadirkan kebohongan yang selanjutnya. Bahkan hampir samar dengan kebohongan yang pertama, namanya juga manusia.     

"Kalau begitu, mari pulang." ucap Leo sambil meraih tangan kiri Felia. Ia tidak akan pernah membiarkan tangan mungil itu menangkis kembali punggung tangannya.     

Tidak, ia tidak marah jika wanita yang disayanginya menjadi kasar karena menuntut pembelaan. Leo hanya... takut kehilangan seseorang yang sudah ia anggap sebagai tempat berlabuh.     

"Kenapa pulang? aku masih mengobrol dengan Rio, masa dia di tinggal sendirian?" tanya Felia sambil menunjuk laki-laki yang berada di sampingnya dengan tangan yang bebas dari genggaman jemari besar milik Leo.     

Sedangkan Rio? ia tersentak karena sedaritadi melihat drama romansa yang tersuguh tepat di hadapannya. "E-eh? kenapa dengan ku? silahkan saja kalau mau pergi, Fe." ucapnya dengan nada yang terdengar gelagapan. Apalagi saat melihat kilatan cemburu di manik mata Leo, rasanya laki-laki itu seperti sebelas dua belas dengan seekor singa yang siap menerkam mangsanya.     

Felia mengerjapkan kedua bola matanya, lalu menatap ke arah Leo. "Boleh, kan?"     

Menaikkan sebelah alisnya disusul dengan hembusan napas ringan. "Sebaiknya kita pulang, saya yakin Bara sedang membuatkan menu makan malam untuk kita." ucapnya. Masih berusaha sabar dengan wanita lugu yang keras kepala ini.     

Terlalu baik menimbulkan sifat yang berlebihan layaknya Felia yang tidak enak meninggalkan Rip sendirian, padahal memang sedaritadi laki-laki tersebut sibuk berlari kecil sepanjang taman seorang diri saja.     

Menganggukkan kepalanya, setuju dengan usul yang di berikan oleh Leo. "Iya, Fe. Sebaiknya kamu pulang, aku ingin pulang juga dan oh ya sebentar." ucapnya yang membuat tatapan Felia dan Leo jatuh secara bersamaan menatap dirinya. Ia merogoh saku celananya, lalu mengambil sebuah kartu kecil. "Ini, terima kartu nama ku. Nanti kalau semisalnya ingin berkabar, hubungi saja nomor yang tertera di sana. Sampai jumpa Fe dan.. Leo."     

Setelah itu, Rio beranjak dari duduknya dan langsung kembali berlari kecil. Tujuannya bukan lagi ingin berolahraga, melainkan kabur dari amukan sang singa yang benar-benar ingin mengoyak daging yang berada di tubuhnya.     

"Huh?"     

Felia menelusuri kartu nama yang di berikan oleh Rio tadi, lalu membaca informasi yang tertera di sana dengan sorot lekat.     

"Buang saja, tidak penting." ucap Leo sambil melepas tautan tangan mereka. Entah apa hubungannya dengan semua ini, tapi perasaan tidak suka itu langsung saja hadir memenuhi benaknya. Mengalihkan pandangan supaya Felia tidak melihat urat-urat yang berada di wajahnya mulai menegang karena menahan rasa kesal.     

Kalau saja tidak ada seorang wanita yang ia sayang di sisinya, sudah pasti laki-laki bernama Rio tadi sudah ia habisi hanya dengan tangan kosong.     

"Kenapa? kamu marah? kan Rio hanya memberi aku Kartini nama saja, bukan buku pernikahan."     

"Lalu maksud mu, kamu mau kalau di ajak nikah dengan laki-laki yang hanya kenal beberapa menit saja, iya?"     

"Hah? Apa sih kamu, Tuan? aku sama sekali tidak ada niatan untuk menikah dalam waktu dekat ini."     

"Jadi, kapan pernikahan mu dengan Rio? biar saya persiapkan peti mati untuk laki-laki itu."     

Leo sama sekali tidak menatap sang lawan bicara. Ia masih membelakangi Felia sehingga tidak tahu bagaimana raut wajah kebingungan dari wanita itu.     

Sifatnya kini sama seperti layaknya kekasih yang cemburu karena wanitanya seperti ingin di ambil alih oleh laki-laki lain. Ya tentu saja ia tidak suka, jangankan untuk menjadikan Felia istri, bersamping-sampingan seperti tadi saja sudah membuat kepalanya keluar tanduk iblis kasat mata. Tidak, ia tidak cemburu kok! Hanya saja... ah yasudah lah sangat tidak penting.     

"Tuan, kamu cemburu?" tanya Felia. Kedua tangannya meraih lengan kekar Leo, menariknya dengan sekuat tenaga supaya laki-laki itu berbicara dengannya melalui dua pasang mata. Masa ia berbicara dengan punggung yang tampak menggiurkan untuk dielus itu sih?     

Leo memilih untuk menyerah dan menuruti kemauan Felia, kembali membalikkan tubuhnya ke arah wanita tesebut. "Apa? siapa yang cemburu? saya tidak pernah cemburu dengan wanita yang sudah menjadi milik saya berdekatan dengan laki-laki lain." ucapnya dengan raut wajah yang sangat datar. Ia menyembunyikan seluruh perasaan yang membuat dirinya terlihat seperti laki-laki yang lemah.     

Hei, lemah karena cinta itu bukanlah masalah yang besar. Justru, dengan laki-laki yang merasa takut kehilangan wanitanya adalah hal yang wajar.     

Bukan karena memiliki tingkat seperti layaknya budak cinta yang akut, penunjukkan kasih sayang seseorang tentu saja sangat berbeda-beda. Tapi ya kembali lagi, Leo memang sedang meninggikan diri dari perasaannya.     

"Kalau begitu, kenapa terlihat tidak suka dengan apa yang di berikan Rio kepada ku?" tanya Felia dengan kedua alis yang terangkat sebelah.     

Leo menahan benteng pendirian yang tercipta jelas di dalam tubuhnya yang terdalam. "Siapa yang tidak suka? saya hanya mengatakan untuk membuang itu karena tidak penting." ucapnya. Lagipula, apa yang ia katakan itu sebuah kebenaran untuk kali ini.     

"Tapi itu sama saja dengan cemburu, Tuan."     

"Tidak, Fe."     

"Kalau iya, bagaimana?"     

"Kalau iya saya akan mencumbu mu nanti malam,"     

Mendengar ucapan Leo yang sangat vulgar membuat Felia membelalakkan kedua bola matanya. Ia tidak habis pikir kalau laki-laki ini akan mengatakan hal itu pada dirinya, astaga mesum!     

"Sebaiknya kita pulang dan jangan bahas ini lagi, Tuan." ucapnya yang lebih memilih mengalah. Namun tak ayal kartu nama pemberian Rio, di masukkan ke dalam tas selempang miliknya. Memangnya salah yan kalau menyimpan kartu nama laki-laki lain? toh dirinya tidak pernah ada apa-apa dengan Leo.     

Melihat Felia yang memasukkan kartu nama itu kedalam tasnya, ia hanya mendengus kasar. Rasanya ingin merobek-robek kartu tersebut sampai bagian kecil tak terlihat cetakan huruf di kertasnya. Kalau perlu, ia ingin merobek ujung bibir Rio supaya tidak lagi mengajak sang kepemilikannya berbincang.     

"Kalau begitu, mari pulang." ucapnya yang sudah mulai berdamai dengan suasana hati yang sedaritadi meluap-luap. Tangannya mulai meraih pinggang ramping milik wanita yang berada di sampingnya, seolah-olah mengatakan pada semua orang yang melihat ke arah mereka kalau saat ini wanitanya bukan lagi seorang Azrell tapi seorang Felia Azruela Wallson.     

"Jangan berdekatan dengan ku, Tuan. Kita jadi terlihat seperti seorang gembel yang berjalan dengan pangeran dari kerajaan ternama,"     

"Siapa yang bilang kamu seperti gembel? ada-ada saja pemikiran kamu yang sangat aneh."     

"Iya, memang. Dan sekarang aku tidak akan pernah merasa percaya diri dengan penampilan ku lagi."     

"Kenapa begitu?"     

Leo memusatkan pandangannya ke arah Felia, menurunkan kepala karena tinggi wanitanya tidak lebih pendek dari pada tubuhnya sendiri. Ia merasa heran dengan wanita yang tidak percaya diri, menahan seberapa besar standar kecantikan di muka bumi ini sampai-sampai merasa penampilannya selalu kurang.     

"Iya, aku tidak bisa menjadi Azrell. Tidak secantik wanita itu, tidak memiliki tubuh semampai, bahkan aku tidak memiliki banyak fans di akun instagram ku yang dominan hanya orang-orang nyasar yang mengikuti akun ku."     

Mendengar ucapan Felia yang begitu lugu, Leo terkekeh kecil. Mereka mulai menyusuri tepi taman untuk keluar dari taman ini. "Loh, memangnya saya menatap semua itu dari kamu?"     

"Iya, karena pada dasarnya, laki-laki selalu tertarik pada wanita yang sempurna fisiknya. Kalau yang jelek seperti itu mah udah deh ketendang, mungkin jodoh ku masih tersesat pada wanita cantik."     

"Sempurna atau tidak di mata kamu, menurut saya kamu wanita yang paling sempurna karena masih mau memegang pekerjaan rumah tanpa keluhan sama sekali. Kamu, wanita terhebat yang tidak pernah memberikan dukungan untuk diri sendiri."     

Leo menghentikan langkahnya, membuat langkah Felia juga terhenti sama seperti dirinya. Ia menurunkan tangannya dati pinggang wanita tersebut, mengunci tatapan mereka.     

Semburat jingga yang sudah muncul di langit pertanda dalam pergantian waktu, menjadi saksi bagaimana romantisnya seorang Leo pada wanita.     

"Kalau kamu sibuk mencari keburukan yang ada di tubuh kamu, maka aku akan mencari kesempurnaan yang selalu kamu abaikan karena hadirnya perasaan insecure. Semua wanita cantik, tanpa terkecuali."     

Felia bergeming, mengerjapkan kedua bola matanya. Ia merasa jika pemikiran Leo benar-benar berjalan sesuai dengan usia kedewasaannya. "Jadi intinya, Tuan cemburu kan?"     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.