Dokter Jenius: Si Nona Perut Hitam

Kelinci Bertelinga Besar (1)



Kelinci Bertelinga Besar (1)

Kelinci bertelinga besar itu bahkan tidak mampu melawan sedikit pun dan ia terlempar hanya dengan satu kali ayunan tapak kaki sang macan. Cakar tajam sang macan garang meninggalkan empat goresan luka menganga yang cukup dalam hingga menampakkan tulang di dalam tubuh sang kelinci. Tubuh kelinci bertelinga besar yang gemetaran jatuh dan ia berguling ke tepi panggung, darahnya meninggalkan jejak jalur berwarna merah terang.     

Kelinci itu merintih begitu menyayat hati, rasa sakit yang dirasakan tubuhnya membuatnya gemetar hebat. Ia mendaratkan tatapannya yang penuh teror melihat pemuda yang berdiri di sisi arena pertandingan, menatapnya seolah memohon dengan mata bulat yang berkaca-kaca dan rintihan lemah keluar dari mulut mungilnya yang terbuka, seperti memohon pada pemiliknya untuk menyelamatkannya.     

Pemuda itu memandang sang kelinci dengan jijik, menatap kelinci bertelinga besar yang tak mampu mempertahankan diri, tak sedikit pun simpati atau kesedihan terlihat di mata itu, namun malah menunjukkan kekesalan dan jijik. Ia kemudian memunggungi sang kelinci dan mengobrol dengan kawan di sampingnya seperti tak terjadi apa-apa, sepenuhnya tidak terusik dengan Binatang Rohnya yang disiksa tanpa ampun di panggung arena, dan nyawanya berada di ujung tanduk.     

Kelinci bertelinga besar putus asa, tidak mengerti mengapa pemiliknya menolak untuk menyelamatkannya. Ia menangis memelas lagi dan lagi tetapi pemiliknya bahkan tidak berbalik sekali pun.     

Macan garang bagaikan seekor penakluk yang berkuasa, perlahan mengayunkan langkahnya yang berat untuk menghampiri kelinci bertelinga besar, tubuhnya yang raksasa perlahan mendekat membentuk bayangan hitam yang sepenuhnya menaungi sang kelinci bertelinga besar.     

"Auumm!!" Macan garang membuka rahangnya lebar-lebar dan taringnya menggigit kelinci bertelinga besar, mencengkeramnya di dalam mulutnya. Sang macan kemudian mengguncangkan kepalanya keras-keras, hingga kelinci bertelinga besar melayang di udara!     

Darah merah terang tersembur ke segala arah sementara wujud mungil itu melayang melewati panggung arena, seiring dengan suara benturan keras di bawah panggung, percikan berwarna merah terang segera terbentuk ketika tubuh mungilnya tergeletak di tanah. Seluruh tubuhnya berlumuran darah, dan ia pun berhenti gemetar. Gerakan naik turun yang sangat pelan masih terlihat dari dada kecilnya, namun sebagian besar perut, punggung, dan telinganya sudah tercabik dan dirusak oleh taring tajam sang macan garang. Darah terus mengalir keluar membentuk genangan di tanah, dan dari luka yang menganga, tulang dan bagian dalam tubuh kelinci itu dapat terlihat dengan jelas.     

Pemuda itu melemparkan lirikan dingin tak berperasaan melihat sosok mungil itu dan ketika pengumuman yang mendeklarasikan kemenangan sang macan garang dibuat, bibirnya melengkung menyeringai dan ia meludah jijik menatap kelinci bertelinga besar yang semakin lemah dan langsung meninggalkan tempat itu bersama kawan-kawannya.     

Namun ketika ia berbalik, ia tiba-tiba melihat seorang pemuda berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dingin, membuatnya begitu terkejut.     

"Kau masih menginginkan dia?" Jun Wu Xie bertanya dengan nada suara dingin, tatapannya tertuju pada sang kelinci bertelinga besar yang hampir berhenti bernapas.     

Pemuda itu berdecak dan menatap bocah yang terlihat asing baginya kemudian ia berkata, "Menginginkan apa? Itu sudah mati."     

Nada suara yang acuh tak acuh dan tak peduli, seperti sedang membicarakan seonggok sampah yang akan dibuang.     

Mata Jun Wu Xie mengecil. Ketika seekor Binatang Roh mati atau terluka terlalu parah hingga mustahil disembuhkan, pemiliknya boleh meninggalkannya. Luka kelinci bertelinga besar saat ini bagi mata orang yang melihatnya, sama saja dengan mati. Menderita luka begitu parah, tak ada yang percaya bahwa Binatang Roh mungil itu dapat diselamatkan.     

Bahkan ketika pemuda itu mengatakannya dengan cara yang begitu tak berperasaan, tak ada yang akan menegurnya sedikit pun.     

Jun Wu Xie tidak membuang waktunya bersama pemuda itu lebih lama lagi tetapi malah, ia segera bergerak menghampiri sang kelinci bertelinga besar, perlahan dan dengan hati-hati mengangkat sosok mungil itu dari genangan darahnya.     

Pemuda itu menatap heran dengan tindakan Jun Xie. Ia tak memahami mengapa pemuda aneh tiba-tiba menunjukkan minat mendalam terhadap seekor kelinci bertelinga besar yang berada di ambang kematian, sepenuhnya tidak memedulikan darah dan lukanya dan malah mengangkatnya.     

Pemuda itu segera berasumsi Jun Xie gila, atau ia pasti seorang idiot.     

Melirik sekali lagi ke arah Jun Xie, pemuda itu kemudian berbalik dan meninggalkan Arena Binatang Roh dengan kawan-kawannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.