Aku Mencintaimu
Aku Mencintaimu
"Kau benar-benar ingin berkuasa, ya?" tanya Emma. Ia mengerling pada Xion yang sedang menikmati wine-nya dan tidak mempedulikan interaksi antara Therius dan Emma. Gadis itu ingat bahwa Xion sama sekali tidak menyukai politik dan tidak berambisi untuk mendapatkan jabatan apa pun. "Kenapa kau tidak memilih hidup tenang seperti Xion dan tidak usah memikirkan tentang politik."
Therius menatap Emma lekat-lekat dan kemudian tertawa. Emma baru menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya ia melihat pemuda itu tertawa dan sepasang pipinya menampakkan lesung pipi yang tidak terlalu kentara.
Hmm... ternyata, Therius kalau tertawa bisa terlihat sangat hangat dan terbuka. Benar-benar berbeda dari penampilannya selama ini sebagai pria tanpa ekspresi dan tertutup. Kali ini Therius terlihat... hangat.
"Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?" tanya Emma mulai tersinggung. Ia merasa Therius sedang menertawakannya.
"Hmm.. kau ini lugu ya? Aku mengerti," kata Therius setelah ia berhenti tertawa. Ia kembali menyesap wine-nya. "Aku sebenarnya tidak terlalu ingin berkuasa. Tetapi kalau aku tidak mempertahankan kedudukanku dan nanti menjadi raja, nyawaku akan terancam. Sepupuku yang naik takhta akan selalu melihatku sebagai ancaman dan ia akan berusaha untuk membunuhku dengan satu atau lain cara. Aku tidak punya pilihan."
Xion mengangguk. "Aku pernah bertemu kedua sepupunya. Mereka bukan orang-orang yang menyenangkan."
"Oh, ya?" Emma menoleh kepada Xion. "Jadi menurutmu mereka akan membunuh Therius kalau sampai mereka berhasil naik takhta?"
Xion mengangguk. "Benar. Itu sudah jelas. Therius juga harus membunuh mereka kalau ia naik takhta untuk memastikan tidak akan ada pemberontakan di masa depan yang akan mengancam kedudukannya."
"Astaga.. rumit sekali," komentar Emma. Ia menatap Therius dengan ekspresi keheranan. "Aku tidak mengerti kenapa kalian bisa berbuat seperti itu kepada keluarga sendiri. Bukankah kalian sepupu?"
"Benar. Kami sepupu, tetapi kami sudah bermusuhan sejak kami kecil. Aku tidak pernah menganggap mereka keluargaku," jawab Therius acuh.
"Begitu ya?" Emma kemudian membayangkan bagaimana halnya dengan keluarga penguasa kerajaan Thaesi. Apakah keluarga kerajaan Thaesi juga seperti keluarga Therius yang saling membunuh demi kekuasaan? Emma tak dapat membayangkan bertemu sepupunya dan kemudian berniat untuk saling bunuh.
Ia lalu teringat bahwa Therius jauh-jauh menjemputnya ke bumi untuk membantunya mengamankan kedudukannya sebagai putra mahkota.
Hal ini membuat Emma agak bingung. Seandainya Therius tidak pernah mengetahui tentang keberadaan Emma, apa yang akan dilakukannya untuk mengamankan takhta Akkadia.
"Kau bilang, kau mendapatkan informasi rahasia tentang keberadaanku dari orang-orangmu dan itulah yang membuatmu sengaja pergi ke bumi, ke tempat yang begitu jauh, untuk menjemputku agar dapat membantumu mengamankan kedudukanmu," kata Emma setelah berpikir agak lama. Ia memutuskan untuk menanyakan semua yang ingin ia ketahui, selagi Therius sedang mabuk. "Apakah itu benar?"
"Benar."
"Uhm... lalu, seandainya aku ini tidak ada, sewaktu kau belum tahu bahwa Putri Arreya dan Jenderal Kaoshin Stardust memiliki seorang anak perempuan, bagaimana caramu mengamankan takhta Akkadia?" tanya Emma lagi. "Apakah kau punya rencana lain?"
Therius tampak tercenung sesaat, tetapi ia tidak terkejut oleh pertanyaan Emma. Ia memang selalu memiliki rencana utama dan rencana cadangan.
"Hmm.. tadinya aku sudah berencana menikah dengan putri dari Terren. Itu adalah koloni terbesar kedua Akkadia. Pernikahan dengan putri kerajaan Terren tidak akan menimbulkan dampak sebesar perdamaian dengan Thaesi, tetapi sebelum aku mengetahui tentang keberadaanmu, itu adalah rencana terbaik yang aku miliki," jawab Therius jujur.
Emma mengangguk. "Begitu ya? Apakah kau menyukai putri dari Terren itu?"
"Putri Ydwlyna dari Terren adalah seorang gadis yang baik. Aku rasa dia juga akan dapat menjadi istri yang baik," jawab Therius dengan sungguh-sungguh. Namun demikian, ia menghindari pandangan Emma ketika menjawab pertanyaannya.
"Kau tidak menyukainya?" Emma tanpa sadar menahan napas. "Bagaimana bisa kau menikah dengan orang yang tidak kau cintai? Pernikahan macam apa itu?"
"Bagiku pernikahan politik adalah hal biasa. Ini bukan masalah suka atau cinta. Aku harus memikirkan untung ruginya dalam setiap pengambilan keputusan..."
"Bukanka orang tuamu saling mencintai? Sepertinya pernikahan mereka tidak ada unsur politiknya sama sekali." kata Emma. Ia menatap Therius lekat-lekat. "Bukankah mereka bahagia dengan pernikahannya? Apakah kau tidak ingin seperti orang tuamu?"
"Maksudmu apakah aku menginginkan menjadi orang yang begitu lemah karena cinta sehingga ketika orang yang dicintainya mati ia tidak sanggup lagi bertahan hidup?" tanya Therius sambil menatap Emma dengan sepasang mata topaznya. Ekspresinya lalu berubah menjadi dingin. "Tidak. Aku tidak mau menjadi orang seperti itu."
"Oh..." Emma terdiam mendengar jawaban dingin Therius.
Ia merasa Therius sakit hati karena ibunya memilih bunuh diri setelah ayahnya meninggal, dan meninggalkan dirinya yang masih kecil seorang diri. Karena itulah Therius menolak untuk jatuh cinta dan hidupnya dikendalikan oleh cinta.
Emma teringat pengalamannya sendiri saat pertama kali Haoran jatuh sakit dan dokter mengatakan kemungkinan suaminya sembuh sangat kecil, rasanya Emma begitu sedih dan berduka dan ia tidak ingin hidup lagi.
Semua cita-citanya dan rencananya bersama Haoran sungguh menjadi tidak berarti kalau Haoran benar-benar meninggal. Mungkin Emma juga tidak akan mempunyai keinginan untuk hidup lagi.
Tetapi, sekarang ia membayangkan kalau sampai ia dan Haoran memiliki anak bersama, ia tidak akan tega meninggalkan anak itu menjadi hidup sendirian di dunia sebagai yatim piatu. Mungkin, Emma justru akan bertahan hidup sekuat tenaga demi anak mereka.
Saat ia memikirkan Haoran, Emma merasakan dadanya menjadi sesak. Ia menunduk untuk menyembunyikan kesedihannya dan memfokuskan pandangannya pada gelas di tangannya.
Ah.. mengapa suasana pesta ulang tahun ini menjadi sangat menyedihkan?
"Emma... Aku mencintaimu."
Emma sangat terkejut mendengar kalimat barusan yang tiba-tiba saja diucapkan Therius. Ia mengangkat wajahnya dengan sepasang mata membulat, menatap pria di depannya dengan ekspresi kaget.
"A-apa kau bilang barusan?" tanya Emma tergagap. Ia sungguh kaget ketika tiba-tiba mendapatkan pernyataan cinta yang di luar dugaan, sesaat setelah Therius mengecam ayah dan ibunya yang menikah karena cinta.
"Aku mencintaimu," kata Therius lagi. Suaranya tegas dan tatapannya pada Emma tampak dipenuhi kerinduan. "Tetapi aku tidak akan dikuasai oleh cinta dan bertindak bodoh seperti ibuku. Aku mencintaimu tetapi aku tidak akan membiarkan cintaku kepadamu menguasai hidupku..."
"Jangan bicara sembarangan, Therius. Kau hampir tidak mengenalku... Tidak mungkin kau mencintaiku," tukas Emma. Ia memutar matanya dan tampak bersungut-sungut, tetapi entah kenapa dadanya seketika berdebar keras.
Mengapa ia merasakan pipinya memanas? Apakah pernyataan cinta Therius membuatnya tersanjung?
"Kau terlalu banyak minum.." omel Emma sambil membuang muka. "Bisa-bisanya bilang cinta. Kita ini baru bertemu."