87. BARADILA TERDAMPAR
87. BARADILA TERDAMPAR
"Kamu jangan porno ya," teriak Dila menutup mata dengan kedua tangannya.
"Siapa yang porno?" Bara tidak terima dengan tuduhan Dila. Pria itu mendatangi Dila dengan bertelanjang dada dan hanya memakai celana boxer. Sudah kebiasaan Bara jika memakai celana panjang selalu memakai dalaman boxer.
Bara tersenyum evil, tidak ada salahnya mempermainkan Dila.
"Hanya ada kita berdua di pulau ini. Kenapa harus pakai baju? Aku enggak rugi kok liatin tubuh indahku padamu. Kamu jangan ngiler." Bara terkikik tawa setelah mengucapkan kata-kata itu. Lucu saja ibu dari empat orang anak kaget melihatnya melepaskan celana dan pakaian. Atau karena dia bukan suami Dila sehingga wanita itu begitu kaget dan kikuk. Sikap Dila bak perawan yang baru melihat tubuh pria dewasa.
"Bar, please…..Pakai pakaian kamu. Jangan nodai mataku."
"Soal noda rinso ahlinya," kekeh Bara tertawa terbahak-bahak.
"Bar jangan bercanda. Enggak lucu." Dila memberanikan merenggangkan jarinya melihat Bara. Pria itu tidak telanjang. Pria itu menggunakan boxer.
[ Kenapa aku lupa jika dia punya kebiasaan memakai boxer ]
Dila merasa dipermainkan. Ia memukul lengan Meriam Bara. Perut Bara sixpack, dada bidang dan lengan kekar. Bara sangat suka olahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya.
"Awas kamu ya." Dila merajuk kesal. Bara berlari menghindari amukan Dila.
Kedua tertawa riang seperti tak terjadi apa-apa, padahal mereka berada di tempat antah berantah. Entah ini pulau berbahaya apa tidak. Mereka tertawa bak anak kecil yang sedang berlarian. Bara tak pernah tertawa lepas seperti tawanya saat ini. Bara terengah-engah. Ia berhenti lari lalu berdiri. Menghirup napas dan mengeluarkannya.
"Yey…..kamu tertangkap Bar." Dila berlari mendekati Bara. Ingin sekali memukul pria yang tengah mengusilinya. Bara membaliakkan badan sehingga ketika Dila menangkapanya ia malah bertabrakan dengan punggung Bara. Dada Dila terasa sakit kala bersentuhan dengan punggung kekar Bara. Pria itu mengulas senyum penuh misteri.
[ Rejeki Nomplok. Enggak ada doa penolak rejeki ]
Bara terkekeh tawa menyadari kemesumannya. Hilang ingatan boleh saja mesum tetap di jiwa.
Bara mengerjai Dila sekali lagi. Ia gendong Dila dan sengaja memegang pantat Dila.
"Bar, kamu jangan kurang ajar ya." Dila mulai jutek dan galak. Meski masih mencintai Bara namun ia bukan cewek gampangan yang diam saja ketika di grepe-grepe.
Tak ada jawaban. Bara tak menanggapi kemarahan Dila. Siapa yang mulai duluan? Harus siap menerima konsekuensi.
Dila sampai kaget dan mengernyitkan kening kala pria itu menggendong lalu membawanya berkeliling sepanjang pantai.
"I feel free," pekik Bara pada ombak yang berdebur.
"Bar, kamu kok senang banget ya?" Curiga Dila pada sikap Bara.
Bara menurunkan Dila dari gendongan. Gesekan antara dada dan punggung Bara terjeda. Pria itu duduk seraya menulis di atas pasir.
TERSESAT AKIBAT TSUNAMI.
Dila tak dapat menahan tawanya kala membaca tulisan Bara. Mengambil posisi duduk di sebelah Bara. Pria itu masih saja menulis. Dila melihat Bara sedang menulis sebuah puisi.
~Kadang kita tidak tahu kemana jalannya takdir.
~Entah besok kau masih bisa bernapas tidak.
~Selagi nyawa masih ada di badan. Berbuat baiklah.
~Kebaikan nanti akan mengantarkanmu pada surge terindah.
~Kini, esok atau pun nanti.
~Jangan pernah sia-siakan waktu.
~Kita hanya manusia yang bisa berencana
~Namun Tuhan yang menentukan skenarionya
~Jika waktumu masih ada
~Nikmatilah kebersamaan dengan keluargamu
~Hari ini aku merasa hampa dalam kesepian
~Ombak mengganas menunjukkan murkanya.
~Jika alam tak bersahabat akibat ulah manusia
~Bersiaplah akan datang masa itu
~Kau akan menjerit memanggil Tuhanmu
~Padahal selama ini kau jauh dari-NYA
Dila takjub sekaligus kaget membaca tulisan yang Bara tulis di atas pasir. Sejak kapan pria itu menjadi puitis? Bahasanya seperti seorang sastrawan.
[ Kamu sudah banyak berubah Bar. Aku tidak sangka jika kamu so sweet seperti ini. Beruntung sekali istrimu saat ini ]
"Bagus sekali puisi kamu Bar." Dila memuji seraya tersenyum.
Bara mengusap wajahnya kasar. "Terima kasih."
"Sama-sama."
"Kamu belum jawab pertanyaan aku Bar. Bagaimana kita bisa selamat dari tsunami? Kita berada dimana?"
"Kamu bawel banget. Kalo istriku bawel kena cium udah diam dia. Sayang kamu bukan istrimu."
[ Aku istri kamu Bar, tapi itu dulu ]
Hati Dila bak terisis sembilu mendengar ocehan Bara. Sikap jutek Bara bukan seperti suaminya dulu. Waktu telah mengubah segalanya termasuk Bara.
[ Andai kamu bisa mengingat semuanya mungkin kamu tidak akan seketus ini sama aku Bar. Aku kangen bermanja-manja sama kamu Bar. Aku kangen pelukan kamu. Aku rindu semua hal tentang kamu. Kapan aku bisa mengulanginya ]
"Kenapa liat-liat?" Bara mencibirkan bibirnya.
"Aku menunggu jawaban kamu Bar."
"Jawaban apa?" Bara kembali bertanya padahal Dila sudah mengajukan pertanyaan.
Dila memalingkan wajah. Rasa eneg dan muak ia rasakan. Jika Bara tidak mau bicara ya sudalah. Tidak perlu bicara. Dila sudah tak mood mendengar jawaban Bara. Ia bangkit lalu pergi dari hadapan Bara. Meski ia sebal namun ada kelegaan di hatinya. Bara bersamanya di pulau asing ini. Setidaknya Dila punya seseorang yang akan melindunginya.
Bara menarik tangan Dila hingga langkah perempuan itu terhenti.
"Kamu mau kemana?" Bara menaik turunkan alisnya.
"Aku mau kesana," tunjuk Dila ke karang pantai. "Aku mau duduk disana. Lama-lama ngobrol sama kamu bikin aku naik darah. Mending aku tenangin diri."
"Waktu tsunami terjadi kamu pingsan karena kena pilar bangunan. Saat itu aku berada di lokasi dekat kamu. Saat tsunami melanda reflek aku memegang kamu. Aku ikat tubuh kamu di punggungku. Papan kayu menyelamatkan kita. Kita terapung di atas papan itu hingga menepi di pulau ini."
"Terima kasih telah menyelamatkanku. Jujur aku trauma gempa. Jika aku sadar ketika tsunami menerjang mungkin aku akan depresi."
"Kenapa trauma gempa?" Bara menjadi penasaran.
"Kamu ingat jika di Padang pernah dilanda gempa besar tanggal 30 September 2009. Waktu itu aku nyaris jadi korban jika tidak cepat keluar dari paviliun. Sedetik aku keluar dari paviliun bangunan itu rata dengan tanah. Akses listrik dan air mati kala itu. Kota gelap gulita. Aku hampir seminggu tidak mandi. Aku malah mandi di sungai biar enggak gerah."
"Jadi gadis desa dong." Bara tersenyum meledek. "Pake kembem ga kalo mandi di sungai."
"Apaan sih kamu? Kok vulgar gitu?"
"Vulgar apaan? Mana vulgar, jika aku ajak kamu bercinta baru vulgar."
"Bar mulut kamu." Dila marah tak suka dengan pembicaraan Bara. Ia seperti dilecehkan.
"Wajahnya bisa dikondisikan Dila? Kayak guru kimia yang sedang pusing memikirkan formula."