111. TANGISAN RERE
111. TANGISAN RERE
"Dia calon pewaris nomor dua di Kerajaan Kelantan. Dia sangat menyukai Ananya. Dia ingin menjadikan Ananya salah satu istrinya. Pangeran itu psikopat. Dia ingin Ananya bercerai dari suaminya. Dia tergila-gila pada Ananya. Pangeran itu menyukai Ananya sejak lama. Demi melindungi keluarganya makanya Ananya tidak pernah mengekspos kehidupan pribadinya. Publik bahkan tidak tahu siapa suami dan anak Ananya."
"Kamu benar," ucap Dian mengelus perutnya. Ia merasakan gatal di perutnya sehingga sering mengelus si jabang bayi.
Zico mendekati Dian memeluknya dari belakang lalu mengecup leher istrinya. Ia harus menyingkirkan Zico karena sedang bicara serius. Zico tersenyum karena berhasil membuat istrinya tersipu malu. Pria itu tak menyerah, kembali memeluk lalu mengecup leher dan pundak Dian yang terekspos. Zico sangat menggilai Dian, istrinya semakin cantik dan menggoda ketika hamil besar. Dian menatap Zico, memberikan kode untuk berhenti. Melihat wajah serius sang istri, Zico berhenti lalu duduk di atas ranjang, menopang dagu menatap sang istri. Zico sesekali menggoda Dian dengan bersiul.
"Pangeran Ahmed ingin membunuh kalian berdua. Kalian bisa membocorkan rahasia dia. Pangeran itu sedang melakukan perebutan kekuasaan dengan putra mahkota yang sekarang. Reputasinya bisa rusak jika ketahuan membunuh Ananya," lanjut Dian lagi dengan napas terengah. Zico kembali menggodanya.
Dian panas dingin karena Zico tak berhenti menggodanya. Pria itu tengah melancarkan serangan di bagian vital tubuhnya. Dian menutup mulutnya karena tak ingin desahannya didengar.
"Untuk sementara itu informasi dariku. Untuk masalah ayah Leon aku akan membuat perhitungan dengannya karena tidak bertanggungjawab."
"Jangan ikut campur dalam kehidupan pribadi aku teh. Diam saja. Ini urusanku bukan teteh." Rere malah memarahi Dian.
"Baiklah Rere. Selesaikan! Jika kamu tidak menyelesaikannya aku yang akan menyelesaikannya sendiri. Itu pesan bunda Ainil padaku." Dian mematikan telepon lalu mengikuti permainan Zico yang telah menggodanya sejak tadi.
"Sibuk terus mami. Papi dikacangin." Zico protes seraya menurunkan tali tipis gaun tidur Dian. Entah kenapa ia sangat memuja sang istri. Semakin mempesona ketika hamil. "Kangen mami." Zico bermanja-manja mengecup bahu Dian dan meninggalkan bekas merah disana.
"Papi nakal ya." Celetuk Dian tergelak tawa. Ia membalikkan tubuhnya lalu mengecup bibir Zico dengan hasrat yang menggelora. Ia kulum, emut dan gigit bibir pria yang telah memberikan empat orang anak padanya. Dian melepaskan ciumannya ketika kehabisan napas.
"Mami juga nakal." Zico membalas ucapan Dian. Pria itu menuntun Dian berdiri menghadap meja rias. Pantulan tubuh mereka terlihat jelas di cermin. Zico memeluk Dian dari belakang. Ia kecup leher Dian dan menenggelamkan wajahnya disana. Zico menjilati leher lalu turun ke bahu. Setelah dirasa cukup memberikan rangsangan pada sang istri, pria itu mengangkat gaun tidur Dian ke atas. Melucuti pakaian bawahnya dan memasuki istrinya dari belakang. Ketika hamil besar posisi ini sangat bagus untuk bercinta.
Desahan Dian membuat Zico menggila. Sadar jika sang istri sedang hamil besar, pria itu melakukan dengan hati-hati dan pelan. Tak mau jika perbuatannya malah membuat anaknya terluka. Dua insan yang tengah di mabuk asmara menikmati cinta yang tengah membara. Melepaskan gejolak cinta dalam penyatuan.
*****
Bara meminta Gesa, Daniel dan Tia pergi dari kamarnya. Ia ingin bicara berdua dengan sang adik. Bara sudah tahu siapa ayah biologis Leon dari Tia. Bara sedikit kesal karena Dian maju satu langkah darinya. Dian bahkan tahu keberadaan Dila dari dulu. Bungkam karena dia hilang ingatan. Bisa ditebak Dian telah memastikan keadaan Dila dan anak-anaknya selama ini.
"Bang." Cebik Rere menghambur di pelukan Bara.
Bara bersikap tenang. Menepuk pundak Rere. Ia berikan kesempatan sang adik untuk menenangkan diri. Bara paham Rere sangat terguncang. Rahasia yang selama ini ia simpan telah dibongkar Dian.
Dian sangat mengerikan di mata Rere. Hamil tak menjadi penghalang untuknya.
"Bang aku tidak mau ayah kandung Leon terungkap. Aku tidak ingin hidup dengannya," ucap Rere tergugu. Ia lampiaskan semua isi hatinya pada Bara. Dulu Rere bungkam tak mau cerita karena tak ingin membebani Bara, namun kali ini tumpahkan semuanya. Bara sudah sehat dan mendapatkan kembali ingatannya.
"Aku paham apa yang kamu rasakan Re." Bara memahami kondisi psikis sang adik. Bara melepaskan pelukannya lalu membawa Rere duduk. Ia berikan segelas air pada Rere.
"Makasih bang." Rere menaruh gelas kosong di atas meja. Dalam satu kali teguk semuanya habis tak bersisa.
"Bisakah kamu cerita? Kenapa kamu tidak ingin identitas ayah biologis Leon terungkap?"
"Aku tidak mungkin menikah dengan pria itu. Dia sudah menikah dan punya anak. Aku tidak mau menjadi duri dalam pernikahan mereka. Apa kata dunia? Aku tidak mau dicap pelakor. Merusak rumah tangga orang lain. Aku pun tidak mungkin menjilat ludah sendiri. Aku tidak mau apa yang dia pikirkan tentang aku itu benar. Aku hanya mengalami kesialan bang. Niatku waktu itu hanya menolong dia, tak kuduga malah aku yang terjebak. Bodohnya aku, malah mengorbankan diri untuk menyelamatkan pria itu. Aku salah bang." Rere menangis seraya memeluk bantal sofa.
Bara memberikan pundaknya sebagai sandaran. Ia biarkan sang adik menangis, melampiaskan emosi.
"Rere, kamu tidak seharusnya mengorbankan diri kamu. Bagaimana pun masa depan kamu masih panjang. Leon masih kecil."
"Aku harus bagaimana lagi bang? Salahkan saja aku yang terlalu baik pada orang. Menolong orang tapi membahayakan nyawaku sendiri. Aku diburu pembunuh Ananya karena menyelamatkan Gesa waktu itu. Kehormatanku terampas karena menyelamatkan CEO tempatku magang. Aku bodoh." Rere memukul kepalanya sendiri. Bara menahan tangan Rere agar tidak memukul kepalanya lagi.
"Rere." Bentak Bara pada akhirnya. Rere shock dan kaget mendapati kemarahan saudara tirinya. "Kamu adik Aldebaran. Kamu tidak boleh takut dan menyerah. Kamu harus kuat. Tunjukkan pada dunia jika kamu adikku. Kamu dan aku sama. Kuat dan tak terkalahkan."
"Bang..." Getir Rere rasakan ketika Bara membentaknya.
"Kamu adikku." Suara Bara lebih lembut dan penuh kasih sayang. Ia rapikan rambut Rere dengan meletakkan di sudut telinga gadis itu. "Maafkan aku telah membentak kamu. Aku tidak ingin kamu terlihat lemah Rere. Selama ini kamu jadi wanita strong. Tetaplah terlihat strong. Sampai kapan pun kamu harus kuat. Jangan biarkan orang lain melihat kelemahan kamu."
"Apa aku bisa bang?" Rere tak percaya diri.
"Kamu pasti bisa karena kamu adikku."
"Bang..."
"Pria itu harus tahu jika ia punya anak bernama Leon."
"Tidak mungkin bang. Aku tidak mau." Rere menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada yang tidak mungkin. Pikirkan masa depan Leon. Berikan dia status secara hukum."
"Tapi aku tidak ingin apa yang dia pikirkan tentang aku itu benar."
"Karena tidak mau pikiran pria itu benar kamu menggadaikan masa depan kamu dan Leon?"