100. RENCANA BARA
100. RENCANA BARA
"Pak, demi Tuhan jangan katakan pada Rere jika Bapak tahu dari saya." Tanpa sadar Tia memegang lengan sang bos.
Bara mendelik, menatap dingin pada Tia. Gadis itu sadar lalu melepaskan tangannya dari lengan kekar Bara.
"Maafkan saya Pak. Tidak sengaja," cicit Tia mengangguk.
"Saya pahami perasaan kamu. Apa mata kanan saya menghubungi kamu?"
"Mata kanan?" Kening Tia berkerut tak mengerti maksud Bara.
"Ya ampun Tia. Kenapa kamu lemot begini? Bukankah kamu regenerasi Dian? Dia yang memilih dan melatih kamu agar cekatan seperti dia." Bara memijit pelipisnya.
"Maaf Pak. Saya memang bodoh." Tia merutuki dirinya. Kenapa tidak bisa berpikir jernih dalam situasi penting seperti ini. Sudah jelas mata kanan yang dimaksud sang bos adalah Dian.
"Sudahlah tidak perlu memaki diri sendiri. Saya paham kondisimu. Satu sisi kamu ingin melindungi sahabatmu, satu sisi kamu harus menjalankan perintah atasanmu."
"Terima kasih Bapak mengerti dengan kondisi saya."
"Kamu jangan anggap saya baik karena tugas yang akan kamu jalankan amat berat."
"Apa?" Dada Tia bergemuruh. Takut mendapatkan tugas yang tak bisa ia kerjakan.
"Rahasiakan dari Dian. Kamu tentu pintar memanipulasi."
"Pak."
"Sudahlah jangan sok lugu. Saya tahu siapa kamu Nur Fristia Hayati," ledek Bara menyebut nama lengkap Tia. "Jangan sampai bilang jika Hayati lelah. Saya tidak suka." Bara menggoda sang sekretaris. Pria itu melengkungkan senyum. Sudah lama Tia tidak melihat Bara tersenyum seperti hari ini.
"Itu mukanya bisa dikondisikan? Saya tidak akan memukul atau mencekik kamu." Bara menunjuk Tia.
"Hehehehe." Kekeh Tia dengan senyum yang dipaksakan. "Nada bicara Bapak bikin saya ketakutan."
"Oh begitu?" Sarkas Bara mentertawai Tia. "Tia," panggil Bara dalam mode serius.
"Iya Pak." Tia cepat tanggap.
"Berikan hasil penyelidikanmu tentang Dila dan anak-anakku." Bara mengadahkan tangan.
"Maksud Bapak?"
"Salinan kartu keluarga dan akte kelahiran triplets."
"Baik Pak. Nanti saya minta lagi pada detektif yang saya sewa. Filenya sudah hilang sama saya ketika diterjang tsunami. Filenya ada dalam ponsel saya. Ponsel saya hilang. Bapak selama sepuluh hari terdampar dimana? Kok bisa sama Ibu Dila?" Jiwa kepo Tia meronta-ronta, memberanikan diri bertanya.
"Penting buat kamu?" Balas Bara dingin.
"Kalo Bapak mau cerita," kilah Tia tersenyum lucu. Kelihatan sekali bosnya sangat bucin dengan Dila. Banyak orang yang gila dan bodoh karena cinta termasuk sang bos.
"Minta belikan handphone baru sama Rere! Carikan cepat untuk saya."
"Buat saya Pak? iPhone ya Pak." Tia tersenyum sumringah.
"Bukan, buat bayi. Sudah tahu masih bertanya. Kadang kamu pintar dan bloon di waktu bersamaan. Terserah mau beli iPhone atau sejenisnya. Anggap saja fee atas kerja kamu."
"Ishhh Bapak gitu," cicit Tia manja.
"Nur cepat kerjakan apa yang saya suruh. Handphone buat saya jangan lupa. Perbarui nomor lama saya."
"Bapak jangan panggil saya Nur." Tia tidak terima dipanggil Nur. Namanya sering jadi bahan olokan. Nur dan Hayati. Nama yang sering diplesetkan orang buat bercanda.
"Kenapa?" Bara angkat bahu."Bukannya Nur nama kamu. Nur, Tia, Hayati. Suka-suka saya panggil. Kamu jangan malu pakai nama itu. Orang tua sudah potong kambing buat kasih kamu nama."
"Bapak," gerutu Tia menghentakkan kakinya ke lantai.
"Kenapa dengan saya?" Bara berpangku tangan. Ia tertawa melihat sekretarisnya marah-marah. Kapan lagi mengusili Tia. Bara bahagia Rere menemukan teman yang tepat.
"Kapan kamu menikah dengan Daniel?"
"Apa?" Tia melongo. "Kok Bapak tahu?"
"Saya cenayang," ucap Bara sekenanya.
"Bapak enggak seru." Sungut Tia mencibirkan bibirnya.
"Pergilah dari kamar saya. Nanti Daniel marah-marah jika saya menahan kamu lama-lama di kamar saya. Saya butuh cepat salinan akta kelahiran dan kartu keluarga itu. Masalah Rere, kamu diam saja. Saya yang akan urus."
"Janji ya Pak. Jangan sakiti ayah Leon. Dia tidak tahu jika Rere hamil." Tia mengingatkan Bara sekali.
"Sudah jangan bawel. Pergi sana." Bara mengibaskan tangannya.
Tia pergi dari kamar Bara dengan perasaan campur aduk. Takut jika Bara bertindak kejam pada ayah biologis Leon.
Selepas Tia pergi. Bara mandi. Pria itu bersenandung dibawah guyuran air. Bahagia, ingatannya telah kembali.
"Sayang tunggu aku. Aku akan menjemput kalian. Tidak pernah aku sia-siakan kesempatan yang telah diberikan Tuhan."
Bara menyudahi sesi mandinya. Pria itu langsung sholat ketika selesai berpakaian.
Bara mengadahkan tangan pada Sang Pencipta. Meminta ampunan dan petunjuk tentang rumah tangganya.
"Ya Allah, Ya Tuhanku. Hari ini hamba bersujud menghadap Engkau. Puji syukur hamba dan Dila masih diberikan kesempatan umur panjang. Puji syukur Engkau telah mengembalikan ingatan hamba. Sangat bahagia Ya Allah, ketika hamba tahu jika anak-anak yang hamba impikan telah terlahir ke dunia ini meski hamba tidak ada di saat mereka lahir. Dila merawat anak kami dengan baik. Shaka, Shakel dan Salsa tumbuh menjadi anak yang sehat dan juga pintar. Hamba lemah tak berdaya kala itu. Hamba sadari jika ini ujian dari Engkau. Berikan hamba kesempatan dan kemudahan untuk menyatukan keluarga hamba lagi. Berkumpul dengan Dila dan anak-anak. Sudah saatnya anak-anak tahu siapa ayah mereka. Tak bisa hamba biarkan anak-anak memanggil pria lain sebagai ayah mereka. Aku tidak pernah meninggalkan mereka. Aku menginginkan anak-anakku."
Doa Bara terganggu karena mendengar suara ribut-ribut. Pria itu menyudahi doanya. Bara melepas peci, lalu pergi keluar. Ia sangat kenal dengan suara wanita yang marah tersebut.
"Lepaskan aku Angga." Rere berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Angga.
"Rere kita harus bicara. Ijinkan aku mempertanggungjawabkan perbuatanku."
"Aku tidak ingin menikah. Berapa kali aku bilang. Aku dan Leon sudah bahagia." Rere teguh dengan pendiriannya. Meski Angga memaksa untuk bertangga jawab, ia tak mau melakukannya karena anak. Rasa cinta Rere telah pudar di malam Angga melecehkannya.
"Ada apa ini?" Suara bariton Bara terdengar menakutkan. Rere bergidik ngeri melihat kemarahan di mata sang kakak
"Kamu jangan ikut campur." Angga malah menghardik Bara.
Bara mendekati Angga lalu menarik kerah baju pria itu. Angga bahkan sampai terangkat ke atas. Ia berdiri di awang-awang. Wajah Angga pucat melihat kemarahan dan kebencian di mata Bara.
"Siapa kamu?" Angga bicara meski terbata-bata.
"Aku yang harus tanya siapa kamu?" Bara menurunkan Angga dan menghempaskan tubuh pria itu. "Berani sekali kami memaksa adikku. Singkirkan tanganmu dari tubuh adikku jika tidak mau aku patahkan."
"Adik?" Angga kebingungan. Setahunya Rere anak tunggal. Kakak darimana?"
"Bang please.…" Rere menggeleng agar Bara tidak menyakiti Angga.
"Pergilah." Rere meminta Angga pergi sebelum mendapat murka Bara
"Aku enggak akan pergi Rere sebelum urusan kita selesai."
"Apa urusanmu dengan Rere?" Bara menatap tajam pada Angga.
"Aku pria yang menghamili Rere."
Ucapan Angga mendapatkan bogem mentah dari Bara. Rere menjerit-jerit melihat Angga dipukul Bara. Darah segar mengalir dari hidung dan bibir Angga.
"Bajingan kamu."