Jodoh Tak Pernah Salah

91. KECURIGAAN BARA



91. KECURIGAAN BARA

"Katakan siapa kamu sebenarnya?" Bara menarik lengan Dila.     

"Katakan apa? Apa maksud kamu?" Dila mengelak, tak berani menatap mata elang Bara. Mata pria itu berkilat-kilat.     

"Jangan pura-pura tidak mengerti."     

"Apa yang harus aku mengerti Bar?" Dila masih tak mau menatap wajah Bara. Takut kebohongannya terbongkar.     

"Aku hilang ingatan. Sepertinya kamu salah satu orang yang ada di masa laluku."     

"Jangan becanda Bar. Kita baru bertemu di Parkour Laut Resort. Kenal darimana?"     

"Kenapa kamu kaget ketika pertama kali kita bertemu."     

"Apa lagi ini?" Dila membelakangi Bara. Mengepalkan tangan dengan kuat. Tubuhnya gemetar karena telah berbohong. Bagaimana pun Bara tidak boleh tahu. Dila tahu diri dengan kondisi Bara. Pria itu bukan lagi suaminya, tapi suami orang. Dila tak ingin merusak kebahagiaan Bara dengan istri barunya.     

Bara menarik tangan Dila, memutar tubuh wanita itu agar menatapnya.     

"Jika kamu membelakangiku berarti ada yang kamu sembunyikan." Mata Bara memerah menahan amarah. Pria itu tidak suka dibohongi. Pantang bagi Bara ditipu seseorang apalagi seorang wanita.     

"Tidak ada."     

"Jika kamu masih berbohong jangan salahkan aku menghukummu."     

"Hukum bagaimana?" Dila terlihat cemas. Masih ingat dalam ingatannya jika Bara selalu menghukumnya tidak wajar.     

"Jika kamu bohong, aku akan memakanmu Dila."     

Dila berjalan mundur. 'Aku akan memakanmu'. Dila tahu maksud kata-kata Bara. Raut wajahnya terlihat cemas dan ketakutan. Kondisinya tidak menguntungkan, mereka terdampar di pulau yang tidak ada penghuni.     

"Kita hanya berdua di pulau ini Dila. Bisa jadi kita tidak akan pernah kembali pada keluarga masing-masing. Bagaimana kita menikah dan menjadi penghuni tetap di pulau ini?"     

"Apa maksudnya?" Bibir Dila bergetar. Meski ada rasa bahagia menyergap hatinya namun rasa khawatir ikut menderanya.     

[ Kita pernah menikah Bara. Kamu ayah dari ketiga anak-anakku ]     

"Jangan pura-pura bodoh. Kamu tahu apa maksudku." Bara melangkah mendekati Dila, namun ibu tiga anak itu mundur.     

"Please….Jangan dekati aku," pinta Dila memelas. Ia memasang wajah sedih agar dikasihani.     

"Kalo aku tidak mau bagaimana?" Bara menahan tubuh Dila. Wajah mereka berdekatan. Jaraknya tak sampai centi. Dila bisa merasakan deru napas Bara begitu juga sebaliknya.     

"Dari mataku aku melihat sebuah kebohongan Dila. Kamu tahu sesuatu namun tak mau mengatakannya padaku. Tidak mungkin ini suatu kebetulan. Jelaskan padaku kenapa aku harus menyelamatkan kamu ketika tsunami terjadi. Bahkan aku mempertaruhkan nyawa demi kamu. Katakan kenapa?" Bara berteriak di telinga Dila, membuat wanita itu ketakutan.     

[ Kamu memang hilang ingatan Bar, tapi hati kamu tidak pernah lupa jika akulah pemiliknya. Alam bawah sadarmu menuntun kamu untuk menolong ibu dari ketiga anakmu ]     

"Mungkin rasa kemanusiaan yang membuat kamu ingin menyelamatkanku." Dila kembali berbohong. Tak sanggup melihat mata Bara. Dila terintimidasi ketika menatap pria itu.     

"Kemanusiaan?" Sarkas Bara melepaskan Dila. "Berarti aku relawan kemanusiaan?"     

"Anggap saja begitu."     

Ada rasa lega dalam hati Dila ketika Bara percaya dengan ucapannya. Bara harus percaya agar ia tidak kebingungan menjawab pertanyaan dari pria.     

"Kamu membuatku takut." Dila menjauhi Bara. Malam semakin larut. Dila ingin tidur. Ia menggunakan daun pisang sebagai alas tidur. Bara mengambil daun pisang ketika masuk hutan tadi. Dila berbaring dengan nyaman. Ia tidur menatap bintang-bintang di langit.     

[ Sampai kapan aku terjebak di pulau ini? Aku ingin pulang memeluk Shaka, Shakel dan Salsa. Kangen mereka Tuhan. Semoga kami segera ditemukan. Ada rasa nyaman ketika aku terjebak disini bersama Bara. Aku tak khawatir sedikit pun. Aku percaya Bara akan melindungi aku seperti dulu. Tak akan dia biarkan aku lecet sedikit pun. Boleh saja ingatannya hilang tentang aku, namun hatinya tidak pernah lupa siapa aku di hatinya ]     

Bara menatap Dila dari jauh. Tahu jika Dila tengah membohongi. Hati kecil Bara berkata jika Dila orang yang ada di masa lalunya. Meski Dila berusaha menutupinya namun firasat Bara tidak akan pernah salah. Andai saja mereka tidak terdampar di pulau tak berpenghuni ini, mungkin Bara bisa memerintahkan anak buahnya menyelidiki masa lalu Dila. Keterbatasan ini membuat Bara harus gigit jari. Hanya menunggu waktu semuanya akan jelas. Siapakah Dila?"     

Bara mengambil posisi tidur di sebelah Dila. Reflek wanita itu menghindar dan menjauh kala Bara mendekatinya.     

"Jangan dekati aku."     

"Kenapa?"     

"Kita orang asing Bar. Tidak baik tidur dalam satu ranjang," ucap Dila mendramatisir.     

"Mana ranjangnya?" Bara menoleh sekitarnya namun tak menemukan ranjang yang dimaksud Dila.     

"Ini." Dila menunjuk daun pisang.     

Bara tersenyum, melengkungkan bibirnya. "Ini daun pisang Dila bukan ranjang."     

"Daun pisang ini jadi ranjang sekarang. Keadaan darurat, anggap saja ini ranjang," balas Dila sekenanya. Menarik daun pisang lalu menjauh dari Bara.     

"Kamu seperti istri yang sedang ngambek dengan suami." Bara terkekeh tawa.     

"Aku dulu memang is...." Buru-buru Dila menutup mulutnya takut kelepasan bicara.     

"Apa yang ingin kamu katakana?" Bara penasaran dengan kata-kata Dila.     

"Lupakan saja. Anggap saja aku tidak bicara apa-apa." Dila membuang. Berbaring membelakangi Bara.     

Pria itu geleng-geleng kepala menghadapi sikap aneh dan konyol Dila. Aneh bin ajaib. Menyebalkan tetapi ia tak bisa marah. Ada magnet dalam diri Dila hingga pria itu tidak bisa marah.     

Bara memposisikan diri tidur membelakangi Dila. Hari sudah malah, waktunya mereka beristirahat. Berharap esok hari mereka sudah di temukan nelayan setempat. Bara juga tidak tahan berlama-lama berada disini. Mereka hanya makan seadanya dan tidur di bawah sinar rembulan beralaskan daun pisang bukan tidur di ranjang yang nyaman.     

________________________________________________________________________________________________     

Dino memijit pelipisnya. Sudah tujuh hari peristiwa gempa bumi dan tsunami melanda namun keberadaan Dila belum ditemukan. Pria itu menyesal telah meninggalkan Dila pagi itu. Andai saja ia tak egois dan marah mungkin Dila tidak akan menjadi korban dalam bencana alam itu. Hanin dan triplets sudah menangis karena tidak bertemu dengan Ama. Setiap hari anak-anak menanyakan keberadaan Dila. Sampai sekarang baik Dino mau pun Lusi belum mengatakan pada anak-anak apa yang terjadi pada Dila. Masih menyembunyikannya. Dino tak mau menceritakannya karena tak ingin mental anak-anak down. Bagaimana pun anak-anak bergantung pada Dila.     

Lusi mengetuk pintu kamar. Tak ada sahutan mau pun balasan dari Dino. Pengusaha cantik itu masuk begitu saja. Lusi menyentuh pundak Dino, pria itu kaget seperti orang melihat hantu.     

"Mama sejak kapan disitu?"     

"Just now. Mama ketuk pintu but you not respond. Mama masuk saja. What do you think?"     

"Aku kepikiran Dila mama. Sudah seminggu belum ada berita tentang dia. Apakah dia selamat atau tidak." Dino malah menangis di paha Lala. Hanya sang ibu yang dapat memahami perasaannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.