90. KEMESUMAN BARA
90. KEMESUMAN BARA
Bara melepaskan dahaganya dengan ciuman panas yang menggelora. Ia perdalam ciumannya hingga memasukkan lidahnya dalam mulut Dila. Awalnya Dila membalas ciumannya namun tiba-tiba mendorong Bara. Sadar jika mereka tak boleh melakukan. Tak boleh terbawa suasana hingga mereka melakukan perbuatan maksiat.
"Ini salah Bar." Dila menghapus jejak bibir Bara di bibirnya. Dila menjauh dari Bara. Menjaga jarak dan menormalkan detak jantungnya.
Bara menoleh. Menatap Dila penuh tanya. Kenapa wanita itu menolaknya jika menginginkannya.
"Maafkan aku," kata Dila tak mau menatap Bara.
Bara semakin bingung dengan sikap Dila. Apa yang salah hingga Dila meminta maaf?
Dila kembali menoleh pada Bara setelah menetralkan perasaan, menormalkan detak jantungya.
"Kita tidak seharusnya melakukan ini. Ingat siapa kita? Kita sudah memiliki keluarga masing-masing. Jangan hancurkan perasaan keluarga kita dengan perbuatan kita. Maaf aku telah menjadi wanita murahan membalas ciuman kamu."
"Kamu tidak murahan Dil."
Dila melayangkan telapak tangannya tepat di depan wajah Bara.
"Jangan bicara lagi. Ganti topik. Kita harus cari cara agar bisa keluar dari pulau ini dan bertemu keluarga kita."
Bara diam tak setuju dengan pendapat Dila. Dia yang memulainya, seharusnya ia yang minta maaf karena telah bersikap kurang ajar.
"Aku yang harusnya minta maaf," ucap Bara benar-benar menyesal. Mengepalkan tangannya lalu menonjok sebuah pohon. Saking kuatnya pukulan Bara. Air hujan yang ditampung daun pohon, turun membasahi keduanya. Mereka berdua basah.
"Bar kita basah ini," kata Dila tergelak tawa. Dila tertawa pelan seakan mengejek.
Melihat tawa Dila, Bara juga ikutan tertawa. Entah apa yang lucu hingga mereka tertawa terbahak-bahak.
"Kamu tahu tidak kenapa aku suka berendam di air laut?" Bara melirik Dila yang berdiri disampingnya.
Dila menoleh lalu tersenyum, "Kenapa?"
"Air laut hangat. Jika kamu tidak percaya kita bisa buktikan. " Bara berjalan menuju pantai. Melepaskan pakaian atasnya lalu berendam di dalam sana. Meski hujan namun ia merasa hangat dan tak kedinginan.
"Bar tidak dingin?" Dila berteriak memanggil Bara. Aneh melihat sikapnya Bara. Dulu ketika mereka masih bersama tak pernah mendapati Bara suka berendam dalam air laut.
"Tidak." Bara menggeleng lalu memercikkan air hingga mengenai wajah Dila. "Ayuk berendam agar tidak kedinginan." Bara mengulurkan tangannya.
"Tidak mau," tolak Dila secara halus. Aneh baginya berendam di dalam laut untuk menghangatkan badan. Tubuhnya menggigil dan gemetar karena kehujanan.
"Coba dulu. Jika tidak hangat kamu bisa keluar. Beres." Bara berusaha membujuk Dila.
Dila menggaruk kepalanya. Masih mengganjal dihatinya menghangatkan badan di dalam laut.
"Jika ragu tidak usah Dil." Bara seolah tahu keengganan Dila.
"Aku akan coba." Dila melengkungkan senyum. Ia masuk ke dalam laut. Takjub dan tak percaya jika airnya sangat hangat. Malah tak terasa dingin sama sekali. Dila menyelam ke dalam laut.
"Bagaimana?" Tanya Bara ketika Dila kembali muncul.
"Diluar ekspektasi. Kamu benar. Airnya hangat. Aku tidak kedinginan lagi. Terima kasih." Dila menatap bulan purnama. Sangat indah. Bulannya penuh dan cahaya memendar. Bahagia melihat pemandangan sebagus ini. "Bar," panggilnya pelan.
"Ada apa?" Bara mendekat pada Dila.
"Kapan kita keluar dari sini?" Dila menahan tangis.
"Kenapa kamu menangis?" Bara merengkuh wajah Dila.
"Aku kangen anak-anak. Mereka tidak pernah pisah sama aku. Mereka selalu mengekoriku kemana pun pergi. Ada yang hilang dari sini." Dila menyentuh dadanya. "Anak-anak sangat bergantung padaku. Tak bisa aku bayangkan jika mereka menganggap aku meninggal. Aku tidak ingin anak-anakku sedih."
"Kamu seorang ibu makanya memikirkan anak-anak." Bara mengerti perasaan Dila sebagai seorang ibu. "Anak kamu banyak ya Dil."
"Banyak anak banyak rezeki Bar. Coba tebak aku melahirkan triplets SC atau normal?"
"SC pasti. Mana mungkin normal."
"Salah." Dila menggeleng. "Mereka lahir normal."
"Robek dong Dil," kekeh Bara mulai mesum. Sudah lumrah sifat Bara mesumnya ke DNA.
"Robek maksudnya?" Dila tak mengerti arah pembicaraan Bara.
"Itu-nya." Bara sungkan menyebutkan dengan jelas.
Dila mencoba berpikir. Setelah mengerti ia malah memukul lengan Bara.
"Dasar kamu ya."
"Ya dirobekkan?"
"Kan dijahit lagi Bara," ucap Dila tanpa sadar.
"Masih disisakan?" Canda Bara mendapatkan pelototan dari Dila. "Maaf Dil. Hanya bercanda." Jari Bara membentuk huruf V.
"Kamu bisa enggak mesum Bar? Dari dulu mesumnya enggak berubah." Dila keceplosan.
"Apa maksud kamu." Bara mendekati Dila lalu mengguncang tubuh wanita itu.
"Gapapa. Aku salah bicara." Dila membuang muka.
"Katakan sebenarnya siapa kamu?"
"Aku Dila."
"Bukan itu maksudku. Kamu seperti mengenalku dari dulu. Siapa kamu." Bara marah lalu memarahi Dila.
"Aku tidak kenal kamu. Kita baru bertemu disini."
"Terlihat sekali kamu berbohong. Katakan siapa kamu? Jika tidak?" Bara menebarkan ancaman.
"Jika tidak apa?" Dila keluar dari laut. Tubuhnya gemetar jika Bara ingat semuanya. Lebih baik Bara lupa daripada ingat jika ia meninggalkan pria itu.
"Jangan menantang aku Dil."
"Aku tidak menantang Bar. Aku hanya..." Dila menggantung kata-katanya beberapa saat. "Aku hanya tidak ingin kita bertengkar. Kita hanya orang asing yang dipertemukan di pesta sangeet putri Tuan Irfan Khan. Tidak lebih. Meski kita berasal dari negara yang sama belum tentu kita saling mengenal."
"Tatap mataku. Katakan semua!" Titah Bara meminta Dila menatap matanya namun perempuan itu membuang muka.
"Tatap aku Dila," hardik Bara dengan suara bariton.
Dila terhenyak. Untuk pertama kalinya ia dihardik Bara. Sakit ia rasakan ketika pria yang telah memberikannya tiga orang anak menghardiknya. Dila menangis.
"Kenapa kamu menangis?"
"Tidak apa-apa." Dila menghapus air matanya.
"Katakan jika kamu tahu sesuatu. Jika kamu bohong. Aku jamin tidak akan kembali pada keluargamu. Aku hilang ingatan karena aku ditembak orang tidak dikenal. Peluru yang ia tembakkan menembus kepalaku."
"Apa?" Dila kaget hingga mulutnya menganga. Bara ditembak di kepala?
"Aku koma hingga tiga bulan. Dirawat di Singapura. Ketika bangun dari koma, malah tidak tahu dengan diriku sendiri. Namaku saja tidak ingat." Bara bercerita dengan wajah muram.
Ada rasa bersalah menghantuinya. Dila menyentuh dadanya yang berdebar.
"Kapan kejadiannya?" Bara menyebutkan tanggal kejadian penembakan.
[ Ya Tuhan. Itu tepat saat aku meninggalkan kamu dan aku baru tahu sedang hamil triplets. Apa yang telah terjadi sebenarnya Bar. Aku pikir kamu tidak akan apa-apa ketika aku tinggalkan. Apakah kamu mengalami penembakan ketika mencariku ]
"Kenapa kamu diam?" Bara menatap Dila penuh selidik. Hati kecilnya berkata jika Dila orang yang penting dalam hidupnya.